Menjelang akhir tahun 2016, sebuah hajatan diselenggarakan di hotel terkemuka sudut paling strategis Jakarta. Anda tak akan mengatakannya sebagai hajatan kecil atau biasa-biasa saja.
Para ahli yang menyandang reputasi di bidangnya dihimpun dalam enam panel diskusi terpumpun. Masing-masing panel diskusi diisi puluhan peserta yang dianggap mumpuni menyuarakan isu tertentu. Masing-masing panel, lantas, menghasilkan evaluasi dan masukan terhadap pemerintahan Joko Widodo yang rencananya diterima secara pribadi oleh presiden pada malam harinya di atas sebuah panggung megah.
Hajatan ini bernama “rembuk nasional.” Ia diselenggarakan bertepatan dengan dua tahun pemerintahan Joko Widodo. Tujuannya? Menurut konsep acara ini, “mendengarkan.” Joko Widodo, katanya, sejak menjabat sebagai wali kota Solo selalu menekankan pentingnya “mendengarkan.” Ia blusukan untuk mendengar. Ia bersilaturahmi dengan warga untuk mendengar. Dan kini, dengan kesibukan luar biasanya sebagai presiden, orang-orang dekatnya ingin membantunya mendengar.
Presiden Joko Widodo akhirnya berhalangan hadir pada malam itu. Ia harus pergi ke Thailand untuk melayat kematian Raja Bhumibol yang begitu mendadak. Namun, beberapa menteri diutusnya untuk hadir. Hasil perumusannya sendiri diserahkan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Wiranto, yang mengakui, seumur-umur ia mengisi kursi-kursi menteri ia tak pernah sesibuk menjadi menteri untuk pemerintahan Joko Widodo.
Saya bukan pembenci akut Presiden Joko Widodo yang sebentar-sebentar menuding apa-apa yang dilakukannya pencitraan. Jadi, saya tak akan berasumsi macam-macam. Katakan saja, presiden benar-benar tulus ingin mendengar. Sayangnya, dalam sejarah Indonesia, tak pernah ada “corong mendengar” yang netral—apalagi “corong mendengar” untuk orang nomor satunya. Dan, sayangnya lagi, apa yang mendistorsi pesan yang akan didengar sang presiden bukan sekadar bias ideologis.
Pesan yang didengarnya akan didistorsi bias posisi. Posisi beliau dan pemberi masukannya yang berada di Jawa dan, lebih tepat lagi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Rembuk nasional, contoh kita, mengemban predikat “nasional.” Akan tetapi, kita dapat meragukan sejumlah saran yang mengemuka berlaku secara “nasional.”
Anda mungkin ingat dengan idiom “proxy war” yang sempat dirubungi media-media pada tahun 2016. Proxy war, yang berarti perang antara kekuatan besar melalui perpanjangan tangan, menjadi perbincangan serius dalam satu panelnya, dan presiden diminta untuk memperhatikan ini. Namun, kalau Anda ingat dengan cermat bagaimana isu ini muncul, ia tak lain digelontorkan Menteri Pertahanan yang ingin ikut merundung kelompok preferensi seksual minoritas yang waktu itu tengah ramai-ramainya diusik para pejabat lain.
Apakah kelompok preferensi seksual minoritas, yang sudah ada di Indonesia sejak lama, merupakan balatentara rahasia Barat untuk menguasai negeri ini? Kita dapat meragukan ini—sangat dapat meragukan ini.
Tapi, yang paling menggelitik, pernyataan tak berdasar yang nampaknya digulirkan karena menteri membutuhkan idiom canggih, kompleks, dan menunjukkan kapasitasnya ini menjadi wacana nasional. Panglima TNI pun mengutipnya. Narkoba, konflik antarkelompok, terorisme pun, yang akar permasalahannya jauh lebih ruwet, dianggap sesederhana konspirasi asing menguasai Indonesia.
Dengan cara demikian, proxy war tiba-tiba menjadi isu yang harus didengar presiden.
Lantas, isu generasi muda yang kurang kreatif. Pada panel lain Rembuk Nasional, seorang pakar bisnis ternama menyampaikan bahwa jumlah pengangguran anak muda menunjukkan angka yang cukup memprihatinkan. Penyebabnya, menurutnya, generasi muda kita kurang kreatif. Solusinya, lantas, mereka harus dibekali dengan kompetensi untuk kreatif.
Apabila saya seorang pengambil kebijakan di pusat kekuasaan—dan saya tahu saya bukan—saya akan kontan mengangguk mendengar saran tersebut. Saran tersebut dalam sekejap dapat saya akomodasi. Ia akan menjadi bagian dari kurikulum baru, buku teks baru, program penyuluhan baru, dan lain sebagainya. Namun, apakah ia benar-benar merupakan akar dari persoalan yang ada? Apakah kita harus menampik kenyataan masukan serupa sudah terus-menerus disampaikan sejak bertahun-tahun silam dan tak akan efektif kita tak melihat kepelikan yang ada di lapangan?
Instansi pemerintahan acapkali membuat acara-acara evaluasi kebijakan. Saya tak sering melihat acara semewah Rembuk Nasional, memang. Akan tetapi, setiap organ pemerintahan mempunyai program untuk mendulang masukan dan di tempat-tempat lain situasi tak berbeda terjadi. Masukan-masukan yang ada senantiasa berwawasan Jakarta, disusun dengan kepicikan pandang orang Jakarta, dan mempertimbangkan keterlaksanaannya oleh orang Jakarta.
Apa saja watak pengetahuan berorientasi Jakarta ini kalau mau kita runut satu-persatu?
Pertama, buah bibir pejabat pusat dengan sendirinya dipersepsikan isu genting nasional. Kedua, isu media nasional—yang sejatinya adalah media Jakarta—dianggap gambaran Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ketiga, kata-kata pakar, praktisi di media nasional, meski banyak bercermin dari pengalaman pribadi, kita anggap sebagai teori yang menjelaskan Indonesia hingga ke pelosok-pelosoknya.
Artinya? Artinya, terlepas presiden kini mengarahkan pandangan ke daerah-daerah yang sebelumnya tak diperhatikan—dan hal ini bagaimanapun perlu diapresiasi—ia dan jajarannya dikepung gelembung tak terlihat. Pandangan mereka akan selalu terhalau. Ini adalah satu situasi yang tak mudah diubah karena kita tak bisa mengatakannya sebagai semata tanggung jawab pemerintahan sekarang. Ia adalah beban sejarah sekaligus ongkos dari penyatuan Indonesia yang dilakukan paling gencar semasa Orde Baru.
Dan, ongkosnya pula, sentimen “dijajah Jawa” bukanlah hal yang mengada-ngada berkembang di daerah-daerah. Tujuh puluh satu tahun merdeka, saya yakin, tak ada satu kebijakan pemerintah pun yang dengan sengaja disusun dengan motif mengkolonisasi daerah-daerah di luar Jawa. Akan tetapi, menyusun kebijakan dalam bekapan pikiran yang picik adalah satu hal yang sudah cukup untuk melahirkan kebijakan yang membenarkan perasaan terjajah tersebut.
Setiap akhir September semasa Orde Baru, kita biasa diperdengarkan dengan kata-kata yang sampai saat ini pastinya masih terngiang-ngiang di benak Anda. “Jawa adalah kunci.” Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang pria dengan mulut berasap yang tengah menyusun rencana licik menggulingkan pemerintahan—Aidit, sebagaimana diperankan Syubah Asa dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI.
Saya tak tahu dari mana pembesut naskah atau sejarawannya mendapatkan kata-kata ini. Namun, kalaupun ia tak pernah benar-benar dicetuskan oleh Aidit, kata-kata ini tetap ada benarnya. Untuk menguasai Indonesia, Anda tak perlu menguasai tempat lain. Anda hanya perlu menguasai Jawa.
Jadi, selamat datang 2017. Jawa tetaplah kunci.