Jumat, Maret 29, 2024

18 Tahun Tragedi Mei

Hamzah Hasballah
Hamzah Hasballah
Petani dari ujung Sumatera. Jurnalis lepas.

tragedi-mei2Maria Catarina Sumarsih dan foto putranya, Bernadinus Realino Norma Irmawan. Dok. pizna.com

Keluarga korban Tragedi Mei 1998 gigih menuntut keadilan. Juga Aksi Kamisan ke-442 di seberang Istana Presiden, Jakarta.

Eten Karyana telah 18 tahun meninggal. Tewas tak berbekas. Hanya kartu tanda pengenal menjadi penanda. Identitas yang tersisa sebagai identifikasi bahwa Eten terkurung dalam kebakaran dahsyat di Plaza Sentral Klender atau dikenal sebagai Yogya Plaza, Jakarta Timur.

Sang ibu, Ruyati Darwin, senantiasa setia menuntut keadilan. Tewasnya Eten, alumnus Sastra Prancis Universitas Indonesia, bersama ratusan orang lain merupakan capaian buruk pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Bagi Ruyati dan keluarga korban, mereka dibunuh.

“Ada sekelompok orang yang membakar plaza itu,” kata Ruyati, 68 tahun. “Eten terbakar di dalam plaza. Dompetnya ditemukan, namun jenazahnya telah menjadi abu.”

Saat itu kerusuhan terjadi dan menjalar di berbagai kota di Indonesia. Krisis keuangan yang terjadi di Asia berefek ke Indonesia. Nilai tukar dolar Amerika yang begitu tinggi, hingga Rp 17.000 per US dolar, membuat harga melambung amat tinggi.

Perusahaan banyak memberhentikan pegawai. Perekonomian Indonesia oleng. Demonstrasi terhadap pemerintah terjadi di mana-mana. Puncaknya, kerusuhan di berbagai kota pada 13 Mei 1998. Pusat perbelanjaan dijarah. Bank dirampok. Etnis Tionghoa banyak menjadi korban.

Penjarahan juga terjadi di Klender. Sekelompok orang dikabarkan memprovokasi massa untuk masuk ikut menjarah. Pintu Yogya Plaza kemudian ditutup dari luar, saat ratusan orang masih di dalam. Sekelompok orang itu kemudian menyiramkan minyak dan membakar tempat perbelanjaan lima lantai itu. Semua orang yang terkurung tewas. Sebagian menjadi abu. Eten salah satunya.

Dua tahun lalu bekas kebakaran itu masih tampak di Klender. Sebuah toko di deretan pertokoan sebelah Mal Ramayana Klender [dulu Yogya Plaza] yang sekarang sudah direnovasi. Toko itu dulu kantor bank swasta yang dijarah dan dibakar. Toko itu berwana hitam kusam. Disulap menjadi warung kopi. Beberapa orang bermain kartu di sana.

18 tahun lalu semua pertokoan di kompleks itu tak luput dari penjarahan massa.

Oor Rukmana salah satu saksi pembakaran Mal Yogya. Saat itu pusat perbelanjaan baru saja dibuka. Namun melihat kondisi keamanan yang kacau, Mal Yogya meliburkan karyawan. “Mereka disuruh pulang,” kata Oor.

Mal ditutup, namun tiba-tiba muncul ratusan orang dari jalan layang penyeberangan Klender. “Mereka menyerang masuk ke sini,” kata Oor. Ia saat itu belum bekerja di sana dan sedang nongkrong bersama teman-temannya, tak jauh dari mal.

Keadaan semakin kacau. Massa, kata Oor, juga turun dari kereta api yang berhenti di sana. Mereka mendobrak pagar yang tingginya hanya semeter. Mereka juga mendobrak pintu mal. Menerobos hingga ke lantai dua, tiga, dan empat. Di sana ditemukan banyak korban, karena di lantai itu supermarket berada. Banyak toko baju di sana. Lantai satu Mal Yogya berisi toko-toko emas dan elektronik. Sedangkan lantai empat diskotek.

Oor tak berniat masuk. Banyak orang yang menerobos masuk tak ia kenal. Menjelang pukul 11 siang, kata Oor, api berkobar dari lantai satu. Massa terkurung di lantai atas. Oor melihat beberapa orang berpakaian hitam, berambut cepak berkeliling di luar. Kemudian mereka pergi saat kobaran api kian membesar dan membakar semuanya.

“Banyak yang terbakar. Orang-orang pada mateng,” kata Oor. Polisi dan tentara kemudian mengevakuasi korban. “Saya nggak tahan lihatnya. Diambil pake sekop. Lengket di keramik. Bau amis.”

Karnedi juga saksi saat itu. Dari rel kereta ia melihat kobaran api. Ia hanya bergerak hingga ke jalan raya. Mendengar teriakan orang-orang meminta tolong. Sebagian mencoba melompat dari atas atau bergelantungan pada tambang yang akhirnya juga putus.

“Korbannya dijejer. Hangus dan masih mengeluarkan asap. Kayak ikan dibakar,” katanya.

Hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 menyebutkan para korban tewas karena ikut menjarah. Para pelaku adalah massa pendatang yang diprovokasi menjadi massa aktif, kemudian ikut menjarah. Pelaku lain adalah provokator yang tidak ikut menjarah. Mereka secara fisik tampak terlatih, mengenakan seragam sekolah, dan segera meninggalkan lokasi begitu gedung terbakar.

Provokator itu juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk merusak dan membakar. Di antaranya logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, dam bom molotov. “Ditemukan fakta keterlibatan anggota aparat keamanan,” tulis laporan tersebut. Namun, hingga kini belum seorang pun yang dituntut pengadilan sebagai tersangka kerusuhan itu.

Ruyati, ibu Eten Karyana, mengatakan anaknya terjebak saat hendak menolong anak kecil di dalam Yogya Plaza. Ruyati bertemu Eten terakhir kali saat Eten hendak mandi sebelum berangkat mengajar bahasa Inggris di sebuah SMA di Bekasi. Pertemuan sekilas, sebelum tanda pengenal lelaki 32 tahun itu terekam gambar sebuah stasiun televisi, sebagai korban kebakaran Mal Yogya Klender.

Ruyati gigih menuntut keadilan lewat aksi Kamisan di depan Istana Negara. Setiap Kamis ia menuju Istana Negara dari rumahnya di Cakung, Jakarta Timur, dengan naik kereta api. Ia rutin menabur bunga bersama keluarga korban lain setiap tanggal 13 Mei, dari tahun ke tahun.

Maria Catarina Sumarsih masih tampak segar. Usianya 64 tahun. Ia mempersilakan masuk. Menghidangkan brownies dan segelas air hangat. Sumarsih adalah ibu yang juga masih setia menuntut keadilan atas kematian anaknya, Bernadinus Realino Norma Irmawan.

Wawan, panggilan akrab Bernadinus Realino, adalah mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang tertembak dalam kerusuhan November 1998, dikenal sebagai Tragedi Semanggi 1. Berat bagi Sumarsih melepas Wawan. “Tahun-tahun pertama rasanya berat sekali. Kosong. Hampa,” katanya.

Rumah tak terlalu besar itu bercat putih. Berada di kompleks DPR IV, Meruya Selatan, Jakarta Barat. Sebuah lemari buku diletakkan di ruang tamu. Dijadikan pembatas dengan ruang keluarga. Tak ada foto-foto dipajang di dinding. Hanya ada jam dinding di tembok. Foto-foto kenangan diletakkan di lemari kaca beserta sertifikat mendiang Wawan. Di bawah tangga rumah dua lantai itu terdapat kolam ikan dengan lima ekor koi berenang-renang.

Sumarsih juga rutin saban Kamis mengikuti aksi Kamisan di depan Istana Negara. Aktivitas perempuan beruban itu kini diisi dengan meditasi, berdoa, dan membaca buku.

Ia juga aktif bermedia sosial. Dari pagi hingga siang Sumarsih membaca buku, mengecek e-mail, dan berkomunikasi di Facebook dan Twitter. Tepat pukul 12 siang, doa Rosario dipanjatkan. Lalu meditasi sore hingga doa Angelus petang. Sumarsih pemeluk Katolik taat.

“Sejak mempraktikkan meditasi, hati saya merasa lebih damai,” kata Sumarsih. Putrinya, Benecdicta Rosalia Irma Normaningsih, telah bekerja. Sang suami juga masih berdinas di sebuah badan penelitian di Jakarta. Dulu setiap hari dia berziarah ke makam Wawan di Pemakaman Umum Joglo, Blok II. “Sejak tujuh tahun lalu saya hanya mengunjungi tiap Sabtu atau Minggu.”

Sumarsih pensiunan pegawai negeri sipil di Sekretariat Jenderal DPR. “Saya di Sekretariat Fraksi Golkar,” katanya. Upayanya menuntut peradilan bagi aparat yang memerintahkan menembak anaknya tidak didukung Golkar.

Arief Priyadi, suami Sumarsih, lebih bisa menerima kematian Wawan. “Bapak memberi ucapan terima kasih kepada semua yang hadir di misa arwah. Sedangkan saya saat itu cuma bisa mengurung diri,” katanya.

November nanti tepat 18 tahun Wawan tewas, tanpa peradilan.

Sumarsih mengurung diri. Tidak makan dan tidak minum setelah pemakaman Wawan, 14 November 1998. “Herannya kenapa saya tidak mati. Itu bertahan selama 3 minggu. Begitu terasa lapar saya mengadu kepada Tuhan. Yesus, saya lapar. Bunda Maria, saya lapar,” tuturnya. Setelah itu minum secangkir air hangat. Ajaib. Sumarsih langsung kenyang.  “Bagi saya, itu keajaiban.”

Sumarsih selalu ikut aksi Kamisan bersama korban dan keluarga korban yang lain. Dia menuntut digelar pengadilan ad hoc. “Tolong dicatat, saya tidak pernah menerima santunan sepeser pun dari negara untuk pribadi,” kata perempuan kelahiran Rogomulyo, Semarang, Jawa Tengah, itu, dua tahun lalu.

Pada 30 November 1998 ada utusan dari Menteri Sosial (saat itu Yustika Baharsyah) ke rumah Sumarsih membawa surat ucapan belasungkawa. Ia diberi selembar cek senilai Rp 5 juta. “Saya minta semua uang itu diberikan kepada prajurit yang hari itu bertugas di kampus Atmajaya,” katanya.

Tagih Janji Tiap Kamis

Di tengah lalu lintas Jakarta yang bising dan macet, mereka berdiri, membentangkan spanduk. Aksi itu mereka lakukan di depan Istana Presiden. Mereka meminta ketegasan Presiden mengusut tuntas pelanggaran hak asasi manusia.

Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan payung hitam bertulis berbagai kasus pelanggarah HAM di Indonesia. “Hitam artinya merasa prihatin terhadap keadilan hukum di Indonesia,” kata Putri Kanesia, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.

Aksi Kamisan akan terus dilakukan setiap Kamis hingga tuntutan mereka dikabulkan.

Mereka adalah korban dan keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia. Di antaranya korban tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, penembakan misterius, Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998, Tragedi Trisakti Semanggi 1 dan 2, pembunuhan Munir, Wasior Wamena, pembunuhan Marsinah, dan pembunuhan wartawan Udin. Sebuah solidaritas korban untuk keadilan.

Aksi Kamisan terinspirasi gerakan di Argentina tahun 1977 di  Plaza de Mayo, depan Istana Kepresidenan Argentina di Buenos Aires. Sekelompok ibu-ibu dengan kerudung putih menggelar aksi damai. Mereka memprotes penghilangan dan pembunuhan anak-anak mereka oleh junta militer Argentina.

Aksi di Plaza de Mayo dilakukan setiap Jumat. “Kamis dipilih karena mendekati hari Jumat, saat ibu-ibu di Plaza de Mayo Argentina melakukan aksi,” kata Putri. Hingga Kamis lalu, Aksi Kamisan yang dilakukan sejak 2007 itu telah dilakukan hingga 442 kali. Berlangsung hampir dua tahun jika dihitung per hari.

Setiap aksi, mereka hampir selalu mengirimkankan surat kepada Presiden. Telah dikirim lebih dari ratusan surat, namun tidak sampai 30 surat yang dibalas. “Balasan surat yang diterima bukan balasan resmi dari Presiden, melainkan surat tembusan dari Sekretariat Negara bahwa surat yang dikirimkan telah diterima Presiden,” kata Putri.

Upaya pengaduan dan tuntutan mereka ke Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, DPR, dan Kejaksaan Agung belum juga membuahkan hasil. Padahal, Presiden Yudhoyono telah memerintahkan Kejaksaan Agung segera memproses. Faktanya Kejaksaan Agung berdalih bahwa bukti-bukti yang diserahkan belum lengkap.

“Kami minta Presiden Joko Widodo berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi serta cenderung ada pembiaran berlarut-larut tanpa ada kepastian untuk diselesaikan,” kata salah satu Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Maria Catarina Sumarsih di seberang Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/5).

Sampai kapan Aksi Kamisan terus berjalan?

Hamzah Hasballah
Hamzah Hasballah
Petani dari ujung Sumatera. Jurnalis lepas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.