Kontroversi pembalap Rio Haryanto yang mau ikut balapan Formula 1 tapi membutuhkan biaya besar (Rp 100 miliar) sebenarnya bukan sesuatu yang mengherankan. Di luar negeri, olahraga F1 memang membutuhkan bujet sangat besar, sehingga selalu didukung oleh sponsor-sponsor yang kuat.
Namun, kasus di Indonesia sangat berbeda. Menurut praktisi komunikasi Ermiel H. Thabrani, sponsor pengusaha dalam negeri enggan memberikan investasi karena pemerintah tidak memiliki perencanaan jangka panjang yang jelas terkait pengembangan olahraga F1. Sampai kini sangat jelas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terkesan kurang gesit dan masih menggunakan kacamata politik dalam membina dunia olahraga.
Kasus pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), yang sangat kuat nuansa Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih, masih terngiang-ngiang dan melekat pada ingatan kolektif publik kita. Belum lagi prestasi olahraga kita di olimpiade, yang selama ini sangat tergantung pada Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia/PBSI. “Brain Drain” sekian banyak mantan atlet dan pelatih kita ke negeri jiran, untuk mengais rezeki di sana, merupakan fakta yang tidak dapat ditutup-tutupi.
Terakhir, ada wacana menggunakan Rp 100 miliar untuk pendaftaran F1 Rio Haryanto dari Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN). Namun, konon, ada juga informasi kekurangan Rp 100 miliar tersebut itu mau ditalangi pengusaha RI. Menurut kabar terakhir, Pertamina sudah menalangi Rp 78 miliar.
Sampai detik ini, Kementerian Pemuda dan Olah Raga masih berjuang untuk mendapatkan pembiayaan penuh. Perjuangan Kemenpora yang habis-habisan mencari pendanaan untuk F1 ini menjadi pertanyaan besar. Apakah pendanaan F1 ini program kemenpora yang sudah diinisiasi dari awal di Kementrian, atau dieksekusi secara mendadak tanpa perencanaan sama sekali?
Walaupun semua ini ada nuansa politiknya, politik yang paling “licin” sekalipun membutuhkan perencanaan yang sangat matang sebelum dieksekusi.
Apakah berprestasi harus memakan biaya besar dan memakai uang negara? Hal ini seyogyanya dipertimbangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, sebab mereka harus fokus untuk membangun infrastruktur. Jika pemerintahan Jokowi-JK menyetujui pembiayaan yang sangat besar untuk event yang tidak urgen dalam program pemerintah, dapat dipastikan hal ini bisa mengganggu popularitas mereka, terutama dalam menghadapi Pemilu 2019.
Sebaiknya pemerintah bertugas sebagai fasilitator antara dunia usaha dengan tim pembalap, bukan secara aktif mencarikan dana. Jokowi-JK adalah pengusaha yang sukses. Maka, jika keduanya menggunakan jaringannya, penggunaan dana dari APBN maupun BUMN untuk keperluan ini dapat dihindari. Dari sini memang terkesan harmonisasi antara dunia bisnis dan pemerintah belum sepenuhnya berjalan baik.
Yang menarik, banyak orang kita yang sukses di luar negri tapi tidak menggunakan dana negara maupun BUMN sama sekali. Misalnya pianis Joey Alexander yang tampil di Grammy Award 2016 pekan lalu. Juga penyanyi Anggun C. Sasmi, duo musisi Endah N Rhesa, dan banyak lagi. Kita seyogyanya menghargai mereka yang berprestasi dunia tanpa banyak mencari sensasi.
Dulu, Presiden Soekano membangun banyak proyek skala sangat besar. Di tengah krisis ekonomi yang mendera bangsa kita pada tahun 1950-1960an, Bung Karno menginisiasi pembangunan Hotel Indonesia, Gelora Bung Karno, Patung Selamat Datang, Patung Tani, Masjid Istiqal, Jembatan Semanggi, Ganefo, dan lain-lain. Jelas sekali, bahkan dengan ukuran sekarang, dana yang dibutuhkan untuk proyek tersebut sama sekali tak terbayangkan.
Namun, proyek besar Bung Karno bukanlah penghamburan anggaran. Bung Karno memiliki visi yang sangat jauh ke depan. Sang Proklamator menginginkan supaya kita memiliki kebanggaan terhadap jerih-payah bangsa sendiri. Semua proyek tersebut diinisiasi Bung Karno supaya pembangunan karakter bangsa kita menjadi lengkap.
Awalnya, banyak kritikus mencibir habis-habisan proyek-proyek tersebut, karena tidak dapat melihat manfaatnya dalam jangka pendek. Namun, akhirnya sekarang terbukti bahwa visi Soekarno sangat tepat. Semua proyek tersebut masih bisa dirasakan manfaatnya oleh publik sampai detik ini.
Berbeda dengan Presiden Soekarno, pemerintahan Jokowi-JK sama sekali tidak mampu menjelaskan apa sesungguhnya visi dan misi dari mendukung pendanaan balapan F1 Rio Haryanto. Hal ini berbeda dengan berbagai proyek infrastruktur yang digagas keduanya, seperti kereta cepat dan tol trans-Sumatera, yang berhasil mereka jabarkan dengan baik kegunaannya ke depan, meski pendanaannya juga sarat kontroversi.
Sekali lagi, belajarlah dari Presiden Soekarno. Ini tantangan untuk pemerintahan ke depan. Jokowi-JK harus bisa menjelaskan visi jauh ke depan terkait pengembangan F1 maupun cabang olahraga lain.