Jumat, April 19, 2024

Satu Dekade YouTube: Dari Urusan Ekspresi sampai Demokrasi

Damar Juniarto
Damar Juniarto
Pegiat Forum Demokrasi Digital, Regional Coordinator SAFENET
282784-youtube-youtube-on-tablet-kindle
ilustrasi.

Saat video pertama YouTube berjudul “Me at The Zoo” diunggah 23 April 2005 oleh co-founder YouTube Jawed Karim, tak ada seorang pun menyangka YouTube akan menjadi website berbagi video terbesar di dunia. Satu dekade lalu sebelum YouTube ada, rasanya sulit melihat penyanyi muda berbakat mempromosikan suara kerennya untuk pertama kali dan langsung mendapat dukungan dari banyak orang di dunia, sekalipun dia muncul di stasiun TV yang terkenal.

Tapi lihatlah sekarang; media-media mainstream memberi julukan “artis YouTube”, sebutan untuk mereka yang punya banyak fans di YouTube. Lebih jauh lagi, mereka ini tak hanya datang dari Amerika Serikat, di mana teknologi ini pertama kali dikembangkan, dari Indonesia, sebuah negara yang berjarak 14.960 kilometer jauhnya dari garasi kecil di Silicon Valley. Dan julukan ini bukan hanya untuk penyanyi, tapi juga melahirkan bakat-bakat baru para standup-komedian, pelukis, chef, animator, aktor, dan lainnya.

Satu dekade lalu, tidak ada seorang pun juga yang menyangka YouTube akan memiliki dampak hebat pada industri musik, hiburan, pendidikan, kesehatan di seluruh dunia, bahkan di negara di mana kebebasan bicara bukan hal yang umum.

Satu dekade lalu, sulit untuk menemukan orang Singapura yang berani mengkritik PM Singapura Lee Kuan Yew. Tapi belakangan ini, ada remaja usia 16 tahun bernaam Amos Yee yang menggunakan YouTube untuk membagikan video tentang kehidupan sehari-hari di Singapura dan terkadang ia menggunakan untuk mengkritik pemerintah agar memberi kemerdekaan bagi warga dan juga pekerjaan yang lebih baik. Orang banyak suka kejujuran dan bagaimana suaranya yang lugu mencoba menjelaskan dengan caranya sendiri yang digabung dengan humor, parodi, dan satir.

Amos Yee tidak sendiri. Banyak orang percaya bahwa mereka bisa mengekspresikan opini, kritik, dan bahkan memulai gerakan digital seperti Amos Yee. Mereka mulai membagi gagasan ke sebanyak mungkin orang, mendistribusikan opini bagaimana ekonomi bisa bekerja bagi banyak orang, mentransfer pengetahuan ke penduduk desa bagaimana menggunakan panel surya untuk mengoperasikan raspberry pi dan lain sebagainya.

Sebulan lalu, seorang mahasiswa Adlun Fiqri mengunggah sebuah video dengan smartphonenya. Video itu menunjukkan seorang polisi yang diduga meminta uang terlalu banyak karena kesalahan sepele. Video itu kemudian menyebar luas dan mendapat banyak perhatian dari netizen Indonesia. Dalam waktu kurang dari 24 jam, polisi mencokoknya dan memenjarakan karena alasan pencemaran nama baik karena menyebarkan video itu ke YouTube. Tapi kemudian netizen membalas dengan membuat petisi online menuntut pembebasan Fiqri.

Bahkan yang menarik, gerakan digital ini melahirkan aksi YouTubers lain seperti Elanto Wijoyono yang terinspirasi aksi Fiqri dan kemudian mengajak orang untuk menangkap basah polisi yang meminta uang rakyat secara ilegal dengan merekam, dan menyebarkannya di YouTube.

Tentu ada banyak hal yang bisa ditunjukkan.  Tapi paling tidak contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana transformasi video YouTube, yang awalnya jalan untuk mengekspresikan kebolehan bakat, lalu menjadi cara untuk mengubah lingkungan menjadi lebih baik.

Satu dekade setelah YouTube ada, tiba saatnya saat seseorang mengunggah video dan menyebarkannya secara viral, telah menjadi suatu alat politik yang mampu mendorong perubahan regulasi, atau mengimbangi suara hegemoni parlemen, atau bahkan mampu mendorong perubahan untuk meyakinkan orang mendukung kandidat presiden berikutnya.

Namun harus diakui, keberadaan YouTuber politis seperti ini memiliki tantangan hukum di negerinya. Amos Yee telah dituntut oleh PM Singapura sekaligus anak dari Lee Kuan Yew, sementara Fiqri dan Wijoyono berada dalam bayang-bayang ancaman UU ITE oleh kepolisian Indonesia. Tidak seperti di Amerika Serikat yang melindungi kebebasan berbicara, di banyak negara Asia Tenggara kemerdekaan ekspresi ini masih jarang dan justru pemerintah lebih banyak mengeluarkan peraturan melarang netizen untuk mengunggah video untuk mengontrol kebenaran.

Yakinlah seiring dengan waktu, tantangan hukum ini semakin lama semakin lenyap karena lama-lama masyarakat akan mengerti: kebenaran tak bisa dibungkam. Sensor seperti apa pun tidak akan menutupi kebenaran. Negara yang membuka dirinya pada informasi justru akan mendapat lebih banyak kepercayaan dari rakyat dan malah bisa semakin cepat mencapai tujuannya dibanding mereka yang menutup informasi.

Lupakan sekarang satu dekade sebelum YouTube. Ini saatnya untuk berpikir dan bertindak, apa yang akan dilakukan satu dekade setelah YouTube. Yang jelas, YouTube telah mendorong orang untuk berbicara bebas, tinggal bagaimana menyikapi situasi ini.

Damar Juniarto
Damar Juniarto
Pegiat Forum Demokrasi Digital, Regional Coordinator SAFENET
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.