Minggu, November 24, 2024

Saat Tiran Bersekongkol

Hendra Try Ardianto
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologi-agraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA).
- Advertisement -
Karya Komunal Stensil.
Karya Komunal Stensil.

“Kami hidup di zaman tirani telah tumbang, dan ketika kami menulis, tentara (mungkin) tidak menculik kami. Kami hidup digerogoti hedonisme dan perilaku konsumtif. Kami hidup dalam buta sejarah.”

Paragraf di atas adalah pembuka Editorial Majalah Lentera, pers mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi UKSW Salatiga, yang dibredel oleh kepolisian. Dalam kalimat itu, ada kesan optimisme para pemuda ini. Mereka menatap masa depan Indonesia yang lebih cerah (tanpa tirani). Memang selalu begitu kaum muda, bergairah, dan optimis, meski di tengah kondisi bangsa yang kian hari kian porak-poranda.

Pembredelan pers–tak perlu ada konsep rigid yang harus saya jelaskan–adalah satu indikator bahwa suatu negara sedang dikuasai para tiran. Silakan cek, negara mana yang suka membredel pers pasti di sana sedang bercokol para tiran. Indonesia, di bawah rezim otoritarian-birokratik-militeristik Soeharto, adalah satu contoh valid sebuah masa di mana negara dikuasai para tiran.

Di rezim Soeharto, tak terhitung deretan catatan pers yang dibredel, mulai dari majalah Tempo, tabloid Detik, Monitor, Pedoman, Sinar Harapan, Indonesia Raya, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, dan banyak lagi yang lain. Ya, selalu demikian sifat para tiran. Dia akan gelisah ketika ada suara-suara kebenaran mulai tumbuh untuk mengoreksi kejahatan-kejahatannya. Dan suara ini, tak ada kata lain bagi tiran: Harus Dibungkam! Selalu begitu.

Di era pasca Soeharto ini, memang nyaris tak terdengar ada korporasi pers yang dibredel. Namun, sasaran tembak pembredelan ini sekarang adalah para pers mahasiswa. Mereka adalah para pemuda yang mengelola pers dengan modal seadanya, namun memiliki dedikasi belajar dan keberanian yang lebih, terkadang lebih maju dibanding dengan para dosennya sendiri.

Saya setia menggunakan istilah pembredelan, bukan dalam  terminologi hukum atau legalistik. Namun, “pembredelan” ini bisa hadir dalam bentuk dan intensitas yang berbeda, yang maksud utamanya adalah: Membungkam!

Saya masih ingat persis bagaimana saya dan kawan-kawan di Yogyakarta pada Mei lalu menginisiasi “Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta”. Dalam solidaritas itu, puluhan organisasi dan LSM di Yogya menegur pihak Universitas Brawijaya, Malang, yang melarang pers mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, LPM Dianns, hanya karena mereka ingin belajar dengan nonton film “Samin Versus Semen” dan “Alkinemokiye” di kampus.

Dan ketika pelarangan itu terjadi, seorang dosen dari salah satu kampus di Malang mengatakan, pelarangan itu karena film-film tersebut mengandung pesan komunisme. Lagi-lagi, kambing hitam itu adalah komunis, sama persis dengan alasan pembredelan majalah Lentera di Salatiga.

Ada apa sesungguhnya dengan komunis. Begitu muliakah dia sehingga nyaris seluruh suara yang ingin menegakkan kebenaran selalu dicap komunis. Saya sungguh terheran dan terkesima dengan kenyataan ini.

Saya melihat kenyataan ini sebagai pertanda bahwa para tiran sedang berkonsolidasi. Mereka sedang menyiapkan langkah merebut kekuasaan dan kembali menghidupkan tirani di Indonesia. Sebab, bagi mereka, tanpa tirani tak akan ada akumulasi kekayaan dan kemewahan yang mereka peroleh. Karena suara kebenaran akan selalu menggerogoti kebusukan yang mereka lakukan. Satu-satunya cara yang sudah pernah berhasil dan mereka yakini akan berhasil pula adalah: jalan mengkambing-hitamkan komunis!

- Advertisement -

Jika mereka berhasil merebut kekuasaan, yang terjadi bukan Indonesia tanpa korupsi, tapi “Indonesia Tanpa KPK”. Yang terjadi bukan Indonesia dengan penegakan HAM, tapi Indonesia dengan “Sejuta Pelanggaran HAM”.  Bukan pula kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia, namun “kemakmuran untuk segelintir korporasi tiran”. Indonesia semacam itu hanya bisa ditegakkan jika “Indonesia Anti-Komunisme”, sebuah gagal pemahaman yang tak saya mengerti sampai sekarang, mungkin juga para pembaca.

Di titik ini saya merasa sedih dan malu. Sedih karena begitu jumudnya isi otak para tiran. Mereka lupa bahwa hidup mewahnya ditopang dari gelimang jutaan darah rakyatnya sendiri. Malu karena komunis seolah mendapat kemuliaan dengan dijadikan opisisi biner dari kezaliman. Saya (kami) sebagai Front NahdliyinNahdliyin itu berarti “orang-orang yang bangkit” –merasa kalah progresif dengan kalangan komunis, demikian pikiran naif saya. Sayang sungguh sayang, kami juga dibenturkan para tiran sebagai “pembasmi” kaum komunis. Padahal kami (Nahdliyin) juga korban: korban tipu daya, fitnah, dan hasutan para tiran.

Dan ingat, para pemuda yang mengelola majalah Lentera menerbitkan judul “Salatiga Kota Merah” bukan karena mereka anak-anak komunis, bukan pula mereka misionaris komunisme. Mereka adalah para pemuda yang resah akan sejarah sosialnya, dan optimistis bahwa kejahatan dan pembantaian tak akan terulang kembali di masa depan. Bagaimanapun mereka adalah produk Orde Baru, sama seperti saya, yang merupakan generasi anti-komunis semasa sekolah, dan melek sejarah ketika menginjak kuliah.

Jadi, saya ingatkan kepada para tiran, untuk berkuasa kembali tak usah berkonsolidasi dengan jalan anti-komunis. Sebab, jalan ini pasti akan gagal. Komunisme (PKI) sudah habis, orang-orang komunis sudah terlalu tua untuk membangun kekuatan. Singkatnya, generasi komunis telah terpotong, tak perlu kalian takutkan lagi. Kalian seharusnya mempertimbangkan generasi Muhammadiyah, yang membawa spirit “Jalan Muhammad”. Juga generasi Nahdliyin yang meresapi “Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari” sebagai jalan perjuangan. Juga teologi pembebasan dan spirit-spirit lain dari berbagai kelompok yang siap untuk mengoreksi kebusukan-kebusukan yang telah, sedang, dan akan kalian lakukan.

Di luar itu semua, sesungguhnya saya menaruh kasihan dengan para tiran. Sebab, kelihatannya mereka sudah tak memiliki ahli strategi dan taktik lagi. Karena rasa kasihan itu, saya merelakan memberi satu tips yang sangat berguna, yakni: “Jangan gunakan cara pembredelan lagi, sebab ini tak akan berhasil membungkam, sebaliknya malah meluas dan berlipat ganda”. Bagi para tiran yang cerdas (hanya yang cerdas), pasti kalian akan mengerti apa yang saya maksudkan. Benar, kan!

Hendra Try Ardianto
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologi-agraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.