Akhirnya ada presiden Indonesia yang mengunjungi orang-orang Suku Anak Dalam. Joko Widodo jadi Presiden pertama yang melakukan hal tersebut.
Tidak cukup sekadar berkunjung, Jokowi menelurkan rencana untuk membangun rumah. Rencana pembangunan kawasan tinggal permanen tersebut adalah bentuk perhatian pemerintah atas beragam kondisi buruk yang tengah dihadapi Anak Suku Dalam. Presiden juga berdialog dengan para tetua kelompok, membagikan bahan kebutuhan pokok, dan Kartu Indonesia Sehat.
Foto-foto kunjungan yang disebar oleh Tim Komunikasi Presiden tak kalah haru. Ada adegan di mana Jokowi berjongkok saat berdiskusi dengan Suku Anak Dalam. Adegan lain menggambarkan Presiden yang tampil sederhana dengan kemeja putih dikerubuti perempuan dan anak-anak kecil. Semua lakon dalam foto-foto tersebut berlatar pohon-pohon kelapa sawit.
Agribisnis sawit adalah satu dari dua jenis monokultur populer selain karet di Jambi dengan luas perkebunan mencapai angka 574.514 hektare. Hampir 40% dari luas tersebut daerah jelajah ulayat yang dialihkan secara sepihak oleh negara melalui izin konsesi lahan. Akibat perampasan tersebut, Suku Anak Dalam kehilangan tulang punggung ekonomi, sosial, dan budaya sekaligus.
Mereka kehilangan hutan dan tanah yang menjadi sumber pangan yang berimbas pada buruknya kualitas gizi dan rentannya kesehatan ibu dan anak. Januari hingga Maret lalu, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya ada sebelas orang Suku Anak Dalam yang ditemukan tewas kelaparan karena tersesat di dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI). Ini belum termasuk soal wabah penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang datang setiap tahun karena pembakaran hutan untuk pembukaan perkebunan sawit.
Karena serangan agribisnis, orang-orang Suku Anak Dalam dipaksa untuk beradaptasi secepat mungkin dengan modernisasi kalau tidak ingin punah. Mereka diharuskan segera memeluk keyakinan sosial serta tata nilai yang baru dan meninggalkan keyakinan leluhur mereka yang menghormati alam. Sejak awal dekade 1970-an, banyak kelompok Suku Anak Dalam yang mulai hidup menetap, meski masih ada sebagian kecil lain yang bertahan dengan pola nomaden. Sebabnya?
Terbitnya proyek bernama Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PMKT) yang resmi berlaku sejak tahun 1969 yang dilandaskan pada UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Aturan hukum tersebut melarang siapa pun untuk memasuki, mengambil atau bermukim di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan negara.
Namun memutuskan mengubah pola hidup untuk tinggal menetap tidak berhasil menjauhkan Suku Anak Dalam dari konflik dan pengusiran paksa. Komisi Nasional HAM mencatat bahwa intensitas kasus kekerasan terkait tanah yang menimpa Suku Anak Dalam terus berlangsung dan cenderung meningkat sejak pertama kali muncul di pertengahan tahun 1986. Mereka berkali-kali dijauhkan dari lokasi-lokasi yang bernilai religius dalam kosmologi mereka karena dianggap mendiami tanah secara ilegal.
Pada Desember 2013, misalnya, Mongabay Indonesia memberitakan tentang penggusuran massal yang dilakukan PT Asiatic Persada terhadap Suku Anak Dalam yang membuat lebih dari 2.000 jiwa kehilangan tempat tinggal dan pindah, dituding karena berdiam di dalam area hak guna usaha (HGU) perusahaan. Banyak dari mereka yang akhirnya mengungsi dan mendirikan tenda-tenda tidak layak huni di area perkebunan milik sanak keluarga.
Sebagian lain memilih melakukan aksi okupasi di ibukota provinsi, sebagian lain bahkan hingga ke Jakarta. Suku Anak Dalam menggalang dukungan dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan bersama-sama meminta negara mengambil sikap tegas. Mereka menginginkan tanah ulayat mereka kembali dan perusahaan diberi sanksi tegas karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Hasilnya? Anda tentu paham bahwa ini bukan kisah kepahlawanan yang tayang di televisi dan berakhir bahagia.
Kedatangan Jokowi ke lokasi pengungsian Suku Anak Dalam, menyediakan waktu untuk berbicara dan mendengar langsung dari mulut kelompok yang terus-menerus dimarjinalkan, memang layak diapresiasi. Namun Presiden tentu juga paham dan tahu bahwa akar dari gelombang masalah yang menerpa Suku Anak Dalam bukan soal mereka punya rumah layak atau tidak. Problem mendasar komunitas ini juga bukan punya kartu ini atau kartu itu. Inti dari lingkar kekerasan yang mendera Suku Anak Dalam bukanlah mereka bisa belajar matematika atau tidak.
Alpa dari catatan panjang represi yang dihadapi oleh Suku Anak Dalam adalah kejahatan korporasi, terutama perusahaan-perusahaan agribisnis. Inilah penyebab utama terusirnya Suku Anak Dalam dari tanah sendiri, dipaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian, menderita kekurangan gizi, penyusutan populasi, dihadapkan pada bahaya wabah penyakit serta tergerusnya identitas kultural mereka.
Kalau berani, Jokowi seharusnya memilih untuk menjadi Presiden pertama yang mengambil keputusan untuk menyerahkan tanah ulayat kembali ke pemiliknya untuk dijadikan lahan konservasi masyarakat adat. Kalau Jokowi berani, ia mestinya mengambil sikap untuk mencabut izin perusahaan agribisnis yang terbukti berkali-kali membakar hutan, melakukan kekerasan kepada kelompok masyarakat adat, dan secara ilegal mengambil tanah ulayat. Kalau Jokowi berani, ia dapat memutuskan untuk menjadi Presiden pertama yang menghentikan perampasan tanah masyarakat sekaligus memotong lingkaran setan kekerasan agraria di Indonesia.
Tapi, apa itu mungkin itu terjadi? Sayangnya, presiden kita adalah orang yang sama yang pada Mei lalu berjanji menyerahkan 1.2 juta hektare tanah adat orang Malind di Merauke kepada investor.