Sore, 17 April 2014, saya mengunjungi kediaman Drs. Suyadi atau yang lebih dikenal sebagai Pak Raden di Jalan Petamburan III, Jakarta. Rumah Pak Raden berada di kawasan padat penduduk, di salah satu jalan kecil. Sore itu, rumah mungil dan jauh sekali dari kesan mewah tersebut disesaki para pemburu berita. Saat itu, saya menghadiri konferensi pers terkait perjanjian baru antara Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan pihak Pak Raden soal hak ekonomi “Si Unyil”.
Di usianya yang sudah senja, Pak Raden harus berjuang memenuhi segala kebutuhan ekonominya. “Saya menjual lukisan untuk memenuhi kebutuhan,” kata dia saat itu. Hebatnya, tak ada keluh-kesah dari wajahnya. Pak Raden tetap berkisah dengan jenaka.
Pak Raden adalah pencipta boneka tangan Si Unyil dan karakter lainnya yang tayang di layar TVRI pada 1981 hingga 1993 setiap Minggu pagi. Sayangnya, hak cipta boneka Si Unyil ada di tangan PPFN.
Awalnya, Desember 1995, Pak Raden menandatangani perjanjian dengan PPFN, yang berisi menyerahkan kepada PPFN untuk mengurus hak cipta atas Unyil. Perjanjian tadi berlaku selama lima tahun. Selang beberapa hari, perjanjian serupa dengan tanggal yang sama muncul. Namun, perjanjian itu tak mencantumkan masa berlakunya.
Kemudian, 23 Desember 1998, Pak Raden menandatangani surat penyerahan hak cipta atas 11 lukisan boneka, termasuk si Unyil, Pak Raden, Pak Ogah, dan lain-lain. Pada 15 Januari 1999, PFN mendapat surat penerimaan permohonan pendaftaran hak cipta dari Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Departemen Kehakiman atas 11 tokoh itu.
Malang tak dapat ditolak. Akibat berbagai perjanjian tadi, Pak Raden tak dapat royalti.
17 April 2014 lalu, wajah Pak Raden terlihat sumringah. Sebab, dua hari sebelumnya, perjanjian baru antara PPFN dan pihak Pak Raden ditandatangani. Perjanjian itu disebut-sebut menguntungkan kedua pihak.
Saat itu, Direktur Utama PPFN Shelvy Arifin mengatakan, kesepakatan baru ini berlangsung selama 10 tahun.
“Saya lega, karena sudah tidak dihantui dengan, kapan ya sidangnya? Kapan ya saya harus berhadapan dengan hakim, dan sebagainya. Itu saudara-saudara saya, sahabat saya. Tersiksanya kamu harus menghadapi sebuah instansi yang bukan musuh. Dan, selama waktu berlalu bertahun-tahun anak-anak dikasih apa?” katanya.
Saat dirinya sedang kesusahan, ternyata Pak Raden masih ingat dengan anak-anak.
“Bapak, sehat?” tanya seorang wartawan saat itu kepada Pak Raden.
“Alhamdulillah, ya cuma sering encok dan asam urat aja,” jawabnya, diikuti tawa khasnya.
Ketika saya berkunjung ke rumahnya di April 2014 itu, Pak Raden sudah harus menopang dirinya di atas kursi roda. Masalah asam urat di kakinya, tak bisa dia atasi.
Begitulah Pak Raden. Selalu jenaka dan tak pernah mengeluh.
Bagi mereka yang pernah merasakan masa kanak-kanak di tahun 1980-an dan awal 1990-an, siapa yang tak mengenal serial televisi Si Unyil. Tontonan berupa adegan boneka tangan, dengan karakter tokoh utama bernama Unyil yang memakai peci dan sarung diselempangkan di badannya, itu merupakan tontonan favorit anak-anak masa itu.
Selain si Unyil, pasti yang pernah menonton Si Unyil tahu juga sosok Usro, Pak Ogah, dan Pak Raden. Pak Raden memiliki ciri khas berkumis tebal, mengenakan blankon, pakaian khas Jawa, dan memakai tongkat. Uniknya, karakter-karakter yang dia ciptakan benar-benar ada di dunia nyata.
Hebatnya lagi, salah satu karakternya, yakni Pak Ogah, menjadi istilah untuk menyebut sebuah profesi. Pak Ogah memiliki ciri khas berkata “Cepe’ dulu dong…” saat dimintai bantuan. Saat ini, Pak Ogah menjadi sebutan pula untuk profesi seseorang yang berada di jalan besar (pertigaan, perempatan, tikungan, lampu merah), mengatur lalu lintas seadanya, dan meminta uang jasa dari mengatur lalu lintas tadi.
“Unyil itu sudah didesain bahwa dia kalau dilihat sepintas akan mengatakan oh Indonesia. Hidungnya tidak mancung. Rambutnya tidak pirang, pokoknya karakteristik orang Indonesia,” kata Pak Raden.
Pria jebolan Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dikenal sebagai seniman tanpa pamrih. Dia pendongeng ulung dan pelukis berbakat. Di kediamannya, setelah konferensi pers, Pak Raden masih sempat mendongeng dan mengajari para wartawan bernyanyi lagu anak.
Pada 30 Oktober 2015 malam saya mendapatkan informasi dari media online bahwa Pak Raden meninggal dunia. Lalu, saya konfirmasi kepada seorang kawan yang kebetulan dekat dengan manajemen Pak Raden.
“Jam 3 pagi [30 Oktober 2015] sakit panas tinggi. Terus subuh masuk Rumah Sakit Pelni. Jam 22.20 tadi meninggal, Bang,” kata seorang kawan, yang belakangan sibuk menjadi awak dokumentasi khusus Pak Raden. Belakangan tersiar kabar Pak Raden wafat lantaran infeksi paru-paru.
Si Unyil mungkin akan menjadi karya monumental Pak Raden. Karyanya ini akan terus hidup dan menjadi legenda. Pak Raden memang sudah senja. Usianya sudah 82 tahun. Tapi, saat Pak Raden masih ada, semangatnya tak lekang dimakan tubuhnya yang semakin ringkih. Dia juga memilih untuk melajang. Tak memiliki istri dan anak.
Karena rasa empati dan balas budi, sebab sudah membuat masa kecil saya bahagia dengan Si Unyil, saya sengaja pergi ke Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Makamnya siang itu [31/10] tak banyak orang yang datang. Hanya beberapa keluarga dan sahabat dekatnya. Lagi-lagi, tak ada kesan mewah di sini. Semua orang muncul dengan kesederhanaan.
Selamat jalan, Pak Raden. Karya ciptamu akan selalu kami kenang. Dari kasus “penelantaran” royalti, saya hanya berharap negeri ini menghargai karya-karya anak bangsanya sendiri, apa pun bentuknya.
Terima kasih, sudah membuat masa kecil saya bahagia.