Hari-hari terakhir ruang publik dan ruang sosial media kita dipenuhi oleh diskusi soal hate speech terkait dengan Surat Edaran Kepolisian terkait soal ujaran kebencian. Duduk perkara yang diperdebatkan dalam isu hate speech dalam arus utama perbincangan, baik oleh para netizen dan citizen, adalah apakah ujaran kebencian ini akan diperuntukkan untuk membela identitas yang termarjinalkan seperti pemeluk keyakinan tertentu, LGBT, ras-ras yang terpinggirkan, kaum difabel ataukah surat edaran ini hanya akan menjadi senjata dari elite politik berkuasa untuk membungkam rakyatnya.
Dalam perdebatan yang bergulir terkait isu di atas, satu hal yang agaknya dilupakan baik oleh yang pro maupun yang kontra terhadap surat edaran tersebut. Seiring berhembusnya isu hate speech, kita menyaksikan bersama betapa kaum buruh yang akhir-akhir ini tengah berjuang turun ke jalan untuk mempertahankan haknya secara politis tidak saja kita abaikan. Lebih dari itu kita bersama-sama menistakan mereka sebagai biang rusuh, pengganggu pembangunan, dan orang-orang yang bisanya menuntut tapi tidak bisa berhemat.
Banyak kalangan kelas menengah kita yang merasa menjadi kaum progresif bisa saja ikut mendukung pembelaan terhadap identitas marjinal (agama, suku, gender, ras, orientasi seksual tertentu) dengan sepenuh hati. Namun tak sedikit pula dari mereka yang akan ikut-ikutan untuk me-like meme atau status yang meledek buruh-buruh yang sedang berdemo, dengan cibiran “maunya ngredit motor Ninja, tidak mau berhemat, dan berdemo di depan istana” tanpa merasa bahwa mereka tengah mempraktikkan ujaran kebencian bahkan perendahan akal sehat bagi kaum buruh yang tengah memperjuangkan haknya.
Boleh saja orang bicara bahwa tidak ada yang sarkastik dalam ujaran-ujaran seperti meme di atas. Namun, dalam bingkai yang lebih tajam, ujaran seperti itu mengajak audiens untuk memahami kaum buruh yang berdemo sebagai mereka yang tak memiliki akal sehat, hidup boros, dan hanya bisa menuntut. Kebencian menjadi efek bagi audiens setelah membaca meme, posting-an, maupun sebaran diskursus di atas.
Bagi banyak kalangan seperti kaum kelas menengah di negeri kita, buruh yang memperjuangkan hak-haknya secara politis hadir sebagai kaum yang malas, egois, perusuh, dan biang persoalan-persoalan di kota seperti kemacetan. Agaknya mereka lupa bahwa ketika mereka tengah mengecam buruh, kenaikan kesejahteraan mereka juga tergantung oleh keberhasilan saudara-saudara mereka yang tengah berjuang penuh keringat. Mereka melupakan bahwa pada hakekatnya mereka berasal dari kelas sosial yang sama!
Dalam konteks penelaahan secara historis, bentuk-bentuk penistaan dan ujaran kebencian terhadap kaum buruh bukanlah bersumber dari problem kultural. Asal-muasal peminggiran atas mereka memiliki akar sejarah yang dalam. Titik persimpangan terjadi pada tahun 1965. Sebelum tahun 1965 di era pemerintahan Presiden Soekarno, kekuatan buruh, petani, seniman, dan kaum pendidik seperti guru dan akademisi setapak demi setapak membangun kekuatan politik yang solid dalam serikat-serikat buruh dan petani serta asosiasi-asosiasi kerja lainnya untuk memajukan kepentingan mereka melalui partai politik.
Setelah tahun 1965, pergantian pemerintahan dan kudeta Jenderal Soeharto berjalan melalui pembantaian dan genangan darah ratusan ribu sampai jutaan jiwa manusia diikuti dengan penghancuran basis-basis sosial dari politik akar rumput.
Kekuasaan rezime Soeharto bekerja tidak saja melalui koersi dan penghancuran serikat-serikat buruh, petani maupun pembersihan tenaga akademik yang memiliki komitmen kerakyatan. Tapi lebih dari itu rezime Soeharto bekerja melalui praktik hegemoni. Buruh, petani, dan asosiasi-asosiasi profesi dalam kajian ilmu sosial maupun penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tidak lagi dianggap menjadi kekuatan politik, namun dipandang sebagai sekrup, mesin, dan perangkat pembangunan oleh rezime Soeharto.
Analisis politik kelas dan perbincangan tentang relasi kuasa (power relation) serta pertarungan sosial (social struggle) hilang dan hanya menjadi bagian pinggiran dalam pengajaran ilmu sosial di Indonesia di tengah hiruk pikuk marketisasi kurikulum yang mengabdi pada penguatan kepentingan-kepentingan oligarkhi bisnis-politik. Tidak saja pada wilayah fakultas ekonomi dan bisnis, tapi juga di dalam ilmu sosial dan politik.
Akibatnya adalah kedangkalan memahami persoalan tidak saja berlangsung di kalangan lapisan kelas menengah yang merasakan kenyaman, tapi juga diperkuat oleh komentar-komentar pada akademisi ilmu sosial dan politik yang tidak pernah membaca realitas melalui pemahaman relasi kuasa, jantung dari ilmu politik itu sendiri!
Ketika para cerdik pandai dan sebagian kelas menengah merendahkan perjuangan kaum buruh, mereka tidak saja abai pada betapa beratnya kaum buruh hidup dan memenuhi kebutuhan dasar, sosial, dan intelektualnya. Lebih dari itu para cerdik cendekia yang memproduksi wacana kerap mengabaikan betapa ekstraksi keuntungan yang didapat dari menekan upah buruh itu kerapkali dialokasikan untuk kemakmuran tidak saja pengusaha tapi juga krooni-kroni politik mereka melalui suap dan penyogokan.
Seperti diutarakan oleh penulis muda prolifik, rock star, dan hero bagi kelas pekerja di Inggris Owen Jones (2012) dalam karyanya Chavs: The Demonization of The Working Class. Saat ini seiring dengan limbungnya globalisasi neoliberal seperti di Inggris, kaum buruh yang dianggap sebagai biang krisis sosial hina sebagai kaum kriminal, jembel, dan sampah masyarakat dengan sebutan Chavz! Para politisi maupun borjuasi dengan instrumen-instrumen ekonominya melalui media massa membangun pembentukan persetujuan (construction of consent) untuk melumpuhkan politik kelas pekerja.
Manuver politik tersebut dilakukan untuk menghancurkan capaian-capaian welfare state, anggaran publik negara untuk wilayah pendidikan dan kesehatan dan kepentingan bagi kelas borjuasi untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak yang lebih besar. Dengan membendung dan melumpuhkan kekuatan kelas pekerja dalam arena politik, memiliki risiko penghancuran terhadap capaian-capaian politik progresif dalam tatanan kehidupan bersama yang bertahun-tahun diperjuangkan oleh kelas pekerja.
Dalam konteks ruang publik dan politik di Indonesia, nyala obor pencerahan harus dinyalakan bersama. Sebuah perubahan ekonomi-politik yang menyejahterakan lapisan terbesar rakyat Indonesia beserta penuntasan persoalan-persoalan ketimpangan sosial, ketika artikulasi politik akar-rumput seperti buruh, petani, beserta perjuangan multikultural menjadi soko guru politik. Bagi kelas menengah Indonesia, pertimbangkan ketika Anda mencibir kaum buruh, karena itu sama saja artinya dengan Anda merendahkan diri Anda sendiri!