Selasa siang (13/10) beberapa gereja dibakar di Singkil, Aceh. Tahun lalu Indonesia masuk daftar negara dengan kekerasan sektarian tertinggi selama 5 tahun terakhir.
Ketika Joko Widodo berkampanye untuk maju sebagai presiden, salah satu poin yang ia tawarkan adalah penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Namun sejak menjadi Presiden (20 Oktober 2014), banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi justru tanpa penyelesaian. Agaknya Jokowi meniru pendahulunya dalam masalah HAM.
Saat terpilih sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen menyelesaikan dan mengawal kasus pelanggaran hak asasi manusia. Mengambil contoh pembunuhan aktivis HAM Munir, Yudhoyono menyebut kasus pelanggaran kemanusiaan di Indonesia sebagai test of our history.
Hingga usai masa jabatannya, Yudhoyono dirundung berbagai permasalahan berkaitan dengan HAM. Diskriminasi terhadap minoritas Syiah di Sampang, Madura, dan Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, serta Cikeusik, Jawa Barat, adalah beberapa di antaranya.
15 Mei 2014, Masjid Al Misbah yang digunakan Jamaah Ahmadiyah di Jatibening, Bekasi, kembali disegel oleh kelompok intoleran. Anehnya, satuan polisi pamong praja yang seharusnya menjadi penengah ikut menyegel.
Bahkan, masjid ini sebenarnya telah ditutup oleh pemerintah setempat pada 14 Februari 2013. Meskipun demikian, Jamaah Ahmadiyah Jatibening tetap beribadah di tempat ibadah ini. Hingga pada 8 Maret 2013 pemerintah menutup dan menyegel masjid ini. Jamaah Ahmadiyah yang ingin beribadah terpaksa menggunakan tangga untuk keluar karena dikurung.
Iman Rahmat Rahmadijaya, perwakilan Jamaah Ahmadiyah Bekasi, mengatakan pemerintah setempat merujuk Peraturan Gubenur, Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, dan fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai dasar untuk menyegel masjid itu. Iman memprotes, karena peraturan tersebut hanya melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah, tidak melarang proses peribadatan.
Sebelumnya, pada Mei 2013, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan beberapa organisasi keagamaan mendorong Presiden Yudhoyono untuk menandatangani petisi pelarangan keberadaan Ahmadiyah secara nasional.
Masjid Al Misbah didirikan pada 1998. Ada sekitar 400 pengikut Ahamadiyah di sana dan keberadaan mereka tidak pernah ada masalah hingga pada 2011 mereka diprotes karena dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Ahmad Maulana, perwakilan Ahmadiyah Bekasi, menyayangkan tindakan pemerintah setempat. Pasalnya sebelum terpilih menjadi gubenur, Rahmat Effendi pernah salat di masjid Ahmadiyah ini, namun setelah ia terpilih semuanya berubah.
Tren kekerasan terhadap keyakinan semakin meningkat selama lima tahun terakhir. Kenyataan itu diperkuat temuan Setara Institute dan Wahid Institute. Mereka menilai ada tren berbeda dalam kekerasan berdasarkan agama. Laporan pemantauan Setara Institute tentang kondisi diskriminasi terhadap kaum minoritas keyakinan di Indonesia menunjukkan kondisi kebebasan beragama belum terjamin.
Terdapat banyak pelanggaran dari negara dan praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kaum minoritas. Padahal, secara normatif negara telah meneguhkan komitmen melalui Pasal 28E Ayat (1 dan 2), dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.
Meskipun demikian, politik pembatasan terhadap hak masih terus terjadi, baik menggunakan Pasal 28J (2) UUD 1945 maupun melalui peraturan perundang-undangan lain yang diskriminatif.
Laporan pemantauan terdahulu sejak tahun 2007 menunjukkan kondisi kaum minoritas beragama di Indonesia semakin memburuk. Absennya negara dalam hampir seluruh peristiwa pelanggaran, impunitas atas pelaku pelanggaran, pembiaran tindakan-tindakan pelanggaran, dan penelantaran para korban pelanggaran adalah alasannya. Pew Forum, lembaga riset yang berbasis di Washington DC, menaruh Indonesia dalam kategori “sangat tinggi” perihal social hostilities index (indeks bahaya sosial) yang melibatkan agama. Berdasarkan hasil riset 2010, Indonesia berada di peringkat 15 dari 197 negara.
Selain Ahmadiyah, kaum minoritas lain yang sering mendapat diskriminasi dan kekerasan adalah kelompok Islam mazhab Syiah. Pengadilan Negeri Sampang pada September 2013 menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara terhadap Tajul Muluk, pemimpin komunitas muslim Syiah Jawa Timur, atas dakwaan penodaan agama. Hukuman ditingkatkan hingga 4 tahun saat dia mengajukan banding karena tak puas atas putusan hakim sebelumnya.
Amnesty International, melalui situs Human Right Watch, secara khusus menyebutkan kelompok agama minoritas, termasuk Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen di Indonesia menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan serangan secara terus-menerus. Dalam banyak kasus, pihak berwenang gagal memberikan perlindungan memadai bagi korban atau membawa pelaku ke hadapan hukum.
Human Right Watch juga menurunkan laporan sepanjang 120 halaman “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia”. Laporan ini merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan yang mengintimidasi dan menyerang rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama. Kian hari mereka makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, dan muslim Syiah.
Direktur Human Rights Watch Asia Brad Adams menyebut kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan merupakan hal menggelikan. Sebab, Indonesia telah mengklaim sebagai negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia. Kepemimpinan nasional sangat esensial.
Presiden Yudhoyono dinilai perlu berkeras bahwa hukum harus ditegakkan, harus menegaskan bahwa semua pelaku kekerasan akan diadili, serta menjelaskan strategi untuk memerangi kekerasan atas nama agama.
Human Rights Watch melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Sumatera, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Mereka termasuk 71 korban kekerasan dan pelanggaran, ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara, dan aktivis masyarakat sipil. Hasilnya sungguh mengejutkan, beberapa pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan menyalahkan korban minoritas.
Wahid Institute dan Setara Institute menemukan kebanyakan pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas adalah aparatur negara. Pada lanskap yang lebih luas Human Rights Watch menemukan kebanyakan pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum.
Dalam dua kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada dua jamaah minoritas untuk membangun rumah ibadah. Bahkan pejabat setingkat menteri justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.
Dalam pidato pada Maret 2011, Menteri Agama Suryadhama Ali menyatakan memilih Ahmadiyah dibubarkan. Alasannya, Ahmadiyah menentang Islam. Pada September 2012, dia mengusulkan warga Syiah pindah ke Islam Sunni. Suryadharma tak menerima sanksi apa pun atas pernyataan tersebut. Sementara itu organisasi militan berbasis agama seperti Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah ataupun rumah pribadi.
Kelompok intoleran ini diberikan pembenaran untuk melakukan kekerasan dengan memakai tafsir Islam Sunni, yang memberi label “kafir” pada kalangan non-muslim serta “sesat” pada kalangan muslim yang tak sama dengan mereka.
Human Rights Watch, Setara Institute, dan Wahid Institute menilai tindakan kekerasan itu sebagian didasarkan aturan diskriminatif, termasuk Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama yang hanya melindungi enam agama serta surat keputusan bersama yang berisi tentang penistaan agama.
Meningkatnya kekerasan terhadap minoritas agama dan diskriminasi dalam berkeyakinan merupakan cermin kegagalan pemerintah bersikap tegas dalam melindungi warga negara. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama.
Lebih jauh ini telah menodai hak-hak sipil dan politik yang diratifikasi Indonesia pada 2005. Kesepakatan internasional itu menetapkan setiap orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama anggota kelompok lain, untuk menikmati budaya serta menjalankan dan mengamalkan agamanya.