Rabu, Oktober 9, 2024

Darah Tumpah Di Paris

Zen RS
Zen RS
Penulis. Editor dan pendiri Panditfootball.
ATTENTION EDITORS - VISUAL COVERAGE OF SCENES OF INJURY OR DEATH French fire brigade members aid an injured individual near the Bataclan concert hall following fatal shootings in Paris, France, November 13, 2015. At least 30 people were killed in attacks in Paris and a hostage situation was under way at a concert hall in the French capital, French media reported on Friday. REUTERS/Christian Hartmann TPX IMAGES OF THE DAY *** Local Caption *** Anggota pemadam kebakaran memberikan pertolongan kepada warga yang terluka dekat gedung konser Bataclan setelah penembakan di Paris, Prancis, Jumat (13/11). Setidaknya 30 orang tewas dalam penyerangan tersebut dan situasi penyanderaan berlangsung di gedung konser di ibukota Prancis, menurut laporan media Prancis pada hari Jumat. ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Hartmann/cfo/15
Anggota pemadam kebakaran memberikan pertolongan kepada warga yang terluka dekat gedung konser Bataclan setelah penembakan di Paris, Prancis, Jumat (13/11). Setidaknya 30 orang tewas dalam penyerangan tersebut dan situasi penyanderaan berlangsung di gedung konser di ibukota Prancis, menurut laporan media Prancis pada hari Jumat. ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Hartmann.

Pekan lalu saya menyantap buku Paris: The Secret History karya Andrew Hussey dengan lahap. Buku yang luar biasa mengasyikkan. Buku yang melengkapi imajinasi saya tentang Paris yang banyak dibentuk oleh buku Francois Furet, Revolusi Prancis, yang saya baca edisi Indonesia-nya berkat mahasiswi sastra Prancis yang sangat sering menenteng buku itu (terima kasih, Adessita Viani).

Karya Hussey mengisahkan sejarah Paris dari perspektif kelompok alternatif: para anarkis, komunis, pembangkang, pemberontak, kriminil, bajingan, lonte, hingga para seniman, penulis dan pemikir yang karya-karyanya serupa “teroris moral” – dari Montaigne yang sinis hingga Montesqieu yang berdarah dingin kala melihat istrinya mati terpanggang api, dari Balzac yang langgam politiknya konservatif hingga Racine yang progresif, dari Sade yang menghancurkan hingga Houellebecq yang “amoral”, dari Ferdinand Celine yang anti Yahudi namun tangguh berargumen hingga Andre Malraux yang menjadi menteri kebudayaan, dari Juliette Greco yang lirik-lirik lagunya meledek para pemikir hingga Herve Huibert yang memfilmkan dirinya sendiri yang sedang sekarat karena AIDS, dari Ravachoal yang memalu kepala korbannya sembari meneriakkan kredo anarko hingga Julles Bannot yang merampok dan melawan pengepungan polisi dengan gagah berani…

Paris tampil dalam wajahnya yang berdarah-darah. Penuh tembak menembak, saling hancur menghancurkan, bunuh membunuh,  teror demi teror, pengkhianatan yang dibalas pengkhianatan: dari kekerasan era monarki, hingga teror dan kekerasan di zaman modern yang merentang sejak Revolusi 1789, rezim teror kaum Jacobin pada awal dekade terakhir abad ke-18, pendudukan Prussia, Komune Paris dan penghancuran kaum Communard, hingga pendudukan NAZI dan pemberontakan mahasiswa 1968.

Membaca Paris dari perspektif ini membuat imajinasi tentang Paris sebagai kota yang romantis layak dicoret dengan setegas-tegasnya. Imajinasi itu hanyalah brosur turisme yang tak berakar dalam sejarah Paris. Saya sudah meragukan imajinasi romantik itu sejak menekuri halaman-halaman buku Furet di awal tahun 2000-an.

Paris telah akrab dengan teror sejak awal milenium kedua Masehi. Dalam nomenklatur sejarah Paris, kata “teror” bukan berasal dari abad ke-21 melainkan dari abad ke-18. Kata “teror” menyelinap dalam sejarah Paris bukan melalui orang-orang Islam, katakanlah gerilyawan Aljazair yang melawan pendudukan Prancis, melainkan melalui kelompok Jacobin yang mengambil-alih Paris pasca Revolusi 1789.

Pasca Revolusi 1789 yang menghancurkan Bastille dan melengserkan Louis XVI, muncullah “rezim teror” yang dipimpin Robespierre dengan para hulubalangnya seperti Danton, Marat, dan Desmoulins. Merekalah para Jacobin yang ditakuti karena kebrutalannya dalam mengeksekusi siapa pun yang dianggap kontra-revolusioner. 20 ribuan nyawa melayang di masa kepemimpinan inkuisitor bernama Robespierre ini. Termasuk Raja Louis XVI dan Ratu Antoinette.

Di tengah revolusi, kata Robespierre, “Kebajikan tanpa teror adalah fatal dan teror tanpa kebajikan ialah impoten. Menghukum para penindas kemanusiaan (dengan cara kekerasan) adalah hal yang bisa diampuni, sementara memaafkan mereka adalah barbar.”

Yang tak bisa disangkal: tanpa kekerasan tak akan ada Republik Prancis. Atau, jika kalimat itu dirasa terlalu pretensius, bisalah dikatakan Republik lahir dari rangkaian kekerasan yang berdarah dan mematikan. Dari Republik Kesatu (hasil Revolusi 1789), Republik Kedua (kala Louis Bonaparte menghidupkan lagi monarki) hingga Republik Ketiga (pasca pendudukan Prussia dan sempat dihadang Komune Paris), dalam sejarah Prancis, selalu diawali dan diakhiri dengan teror dan darah, pembantaian dan kematian.

Slavoj Zizek, yang menulis buku khusus menggali relevansi teror Robespierre untuk politik kontemporer, Robespierre: Virtue and Terror, mencoba mengangkat kekerasan Jacobin-ian sebagai sebuah kemungkinan yang patut didiskusikan kembali untuk kehidupan politik hari ini.

Zizek menganggap, kekerasan dan politik tidak bisa dipisahkan. Pasifisme yang menjauhkan politik dari kekerasan, kata Zizek yang menggali dan membaca ulang semua pidato-pidato Robespierre (juga Marat dan Danton), membuat politik menjadi membosankan.

Saya belum pernah menginjakkan kaki di Paris. Menurut istri saya, Galuh Pangestri Larashati, yang sempat mencicipi Paris pada 2014, di tengah imajinasi romantik dan sentimentil tentang Paris, ia dengan sangat mudah merasakan aroma kecurigaan, tatapan rasialis, dan gelagat kriminalitas kala menelusuri jalan-jalan Paris. Paris memang kaya warna, tempat para “pengkhianat” di negara-negara Islam atau Timur Tengah bisa mendapatkan sanctuary yang nyaman dan aman sembari merancang perlawanan dari kejauhan, dari Jamaluddin al-Afghani, Hasan Hanafi hingga Khomeini. Namun, katanya lagi, Paris menyimpan sekam yang gampang dicium bahkan oleh pendatang dengan indra sensitif yang belum terlalu lama menginjakkan kakinya di sana sekali pun.

Lalu meledaklah penembakan berdarah di kantor Charlie Hebdo. Lalu pagi ini, kembali terjadi teror yang lebih mematikan lagi.

Paris kembali berdarah. Sebab, darah yang tumpah memang menjadi bagian penting dari sejarah kota ini. Paris akrab dengan tusukan demi tusukan.

Seperti yang ditulis Arthur Rimbaud dalam sajak berjudul The Parisian Orgy, or Paris Repeopled, sajak yang ditulis di hari-hari Komune Paris:

When your feet danced with such intense anger,
Paris! When you knew so many cuts of the knife….

Zen RS
Zen RS
Penulis. Editor dan pendiri Panditfootball.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.