Pramoedya Ananta Toer, dalam satu fragmen karyanya pernah menulis, seorang terpelajar semestinya bisa adil sejak dalam pikiran. Barangkali adil adalah kata yang terlalu berat bagi mereka yang terbiasa menghakimi. Dalam banyak hal, adil berarti menyerahkan segala kenyamanan yang kita miliki, untuk kemudian ditukarkan dengan hal lain yang lebih menyusahkan.
Pengantar ini memang kepanjangan dan tidak jelas apa maksudnya, tapi sebelum saya membahas Bima Arya yang menjadi judul artikel ini, saya ingin Anda bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita bersikap adil sebelum menghakimi?
Bima Arya beberapa hari terakhir banyak disorot secara negatif karena membubarkan peringatan Asyura yang diselenggarakan oleh kelompok muslim Syiah. Sebagai Wali Kota Bogor, ia dikritik karena dianggap inkonstitusional. Peringatan Asyura, yang merupakan peristiwa penting bagi kelompok Syiah dalam merenungi kesyahidan Imam Hussain, dianggap salah satu ekspresi ibadah yang semestinya dijaga dan dijamin keamanannya. Bima, selaku Wali Kota, malah membubarkan peringatan yang dianggap suci oleh kelompok Islam Syiah itu.
Sebelum memaki kita sebaiknya menahan diri dulu. Siapa tahu sebenarnya niat Bung Bima itu baik. Seperti dikabarkan imbauan larangan peringatan Asyura merupakan keputusan rapat Musyawarah Pimpinan Daerah dan Majelis Ulama Indonesia Kota Bogor. Perkara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ikut serta atau tidak itu urusan lain, karena bukankah MUI itu lembaga tanpa cela.
MUI Bogor, misalnya, mana pernah ada anggotanya yang ketahuan melakukan hubungan badan threesome, apalagi sampe direkam. Dengan pertimbangan moral yang terjaga patutlah kita berbaik sangka kepada Bung Bima Arya yang telah tepat meminta pendapat dari MUI Bogor.
Bung Bima juga berkata bahwa penerbitan surat imbauan yang melarang masyarakat Kota Bogor memperingati Asyura ini sebagai bentuk tanggung jawab Pemerintah Kota Bogor dan Muspida atas situasi keamanan dan ketertiban di Kota Bogor. Ini bukan sikap pertama Bung Bima melarang satu kelompok keyakinan melakukan ibadah. Sebelumnya ia dengan tegas menutup GKI Yasmin. Ketika pemimpin pemimpin daerah lain menyerukan toleransi, rekonsiliasi, dan perdamian. Bima Arya ngotot menyegel gereja itu.
Padahal, seperti kita tahu, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan membatalkan pembekuan izin terhadap pembangunan GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat. Hasilnya? Tentu saja dengan tegas dan tanpa kompromi Bima Arya menolak. Dia bilang bahwa GKI Yasmin itu tidak ada. Seperti yang dikutip Tempo, peribadatan jemaat GKI Yasmin “… mengganggu ketertiban umum dengan beribadah di jalan.” Hebat, bukan?
Janganlah Bima ini dibandingkan dengan orang-orang di Tolikara, Papua, yang rela tanahnya dibangun untuk kepentingan umat Islam. Jangan paksa Bung Bima belajar dari Fiktor Kogoya, putra Tolikara penerus salah satu suku terbesar daerahnya dari marga Yikwa dan Kogoya. Fiktor pernah berkisah bahwa kala ia kecil para tetua adat kerap bercerita soal umat Islam yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri di daerah itu. Fiktor menegaskan bahwa kerabatnya memberikan sebidang tanah guna dibangun musala sebagai tempat ibadah muslim Tolikara.
Pemberian tanah guna pembangunan umat muslim Tolikara itu menjadi istimewa pada saat itu. Sebab, gereja-gereja Advent dan Baptis belum bisa berdiri di Tolikara. Padahal, Kristen merupakan keyakinan utama warga Papua. Itu kan di Papua, ini Bogor, Bung. Tanah di mana, mengutip Bima, “Pemerintah Kota Bogor terus berjuang dan bergerak untuk melawan kemaksiatan dan kebatilan. Di sini peran alim ulama dan umaro untuk bergerak bersama-sama. Kita harus kompak dan solid untuk bersama-sama memeranginya.”
Nah, GKI Yasmin dan kelompok Syiah itu mengganggu seluruh warga masyarakat Kota Bogor. Masyarakat yang mana saya tak tahu, pokoknya GKI Yasmin dan Syiah itu sesat dan mengganggu. Untuk itu marilah kita kembali menjadi pribadi yang adil. Jangan menyalahkan Bung Bima karena ia ingin menegakan syariat atau menjaga umat. Bung Bima ini kan pemimpin yang dipilih secara demokratis untuk melayani seluruh warga Kota Bogor, bukan sebagian Kota Bogor. Saya yakin, seyakin-yakinnya, kebijakan yang ia buat merupakan keinginan warga Kota Bogor.
Saya kira, selain jadi Wali Kota, Bung Bima ini cocok menjadi ustad. Misalnya ketika terjadi kekeringan hebat yang melanda kotanya, ia pernah berkata, “Tapi di atas itu semua, bagi kita ini adalah momentum introspeksi diri. Jangan-jangan ini peringatan, jangan-jangan ini ujian bagi kita kalau selama ini kita banyak melakukan dosa. Kita tidak sayang kepada alam, sehingga Allah memberikan peringatan dengan dikeringkan wilayah kita. Mungkin juga kita tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan selama ini.”
Hebat, kan, Bung Bima ini? Kekeringan terjadi karena kita banyak melakukan dosa. Pernyataan itu dikeluarkan oleh Bung Bima pada 25 Juli lalu. Sampai hari ini, jika kita masih mengalami kekeringan, jangan-jangan kita masih banyak maksiat. Menurut Bung Bima, dosa-dosa yang harus dibersihkan adalah penyakit masyarakat berupa kemaksiatan. “Saya mengajak ke semua kalangan, tokoh agama dan umat, untuk merapatkan barisan memerangi kemaksiatan. Di bulan puasa lalu, kita tegas menindak semua yang menyimpang, kita tutup tempat hiburan dan sebagainya,” ungkap Bima.
Yang menarik, Majelis Ulama Indonesia menyatakan tidak pernah melarang ajaran Syiah di Indonesia kecuali mengimbau umat Islam agar meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan beredarnya kelompok Syiah yang ekstrim. Melalui Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, disebutkan bahwa sesungguhnya MUI tidak punya posisi untuk mengatakan bahwa Syiah itu sesat. Lantas, jika MUI Pusat saja mengatakan Syiah tidak sesat, mengapa Bung Bima ngotot melarang peringatan Asyura?