Minggu, November 24, 2024

Bencana Asap dan Balada Negeri Sawit

Surya Kusuma
Surya Kusuma
Jurnalis dan pegiat lingkungan.
- Advertisement -
Sebuah kapal melaju di tengah kabut asap yang menyelimuti pesisir Singapura. Jumat (28/8). Pemerintah Indonesia terus berusaha memadamkan kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan dan Sumatera, karena polusi asap kebakaran sudah terbawa angin hingga mencapai Singapura dan berisiko mengganggu hubungan bilateral kedua negara. ANTARA FOTO/FB Anggoro/foc/15.
Sebuah kapal melaju di tengah kabut asap yang menyelimuti pesisir Singapura. ANTARA FOTO/ FB Anggoro

Pengantar:

Presiden Joko Widodo harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan mengkaji perizinan atas perusahaan besar yang diduga terlibat dalam bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Selama ini pemerintah masih cenderung menyalahkan masyarakat kecil ketika bencana kebakaran hutan dan lahan terjadi.

Demikian penegasan Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia wilayah Sumatera Selatan, terkait kebakaran lahan yang memicu bencana asap di Sumatera hari-hari ini.

“Jika serius mau membebaskan rakyat dari serangan bencana asap dan kebakaran hutan rutin, Presiden harus memantau langsung upaya penegakan hukum yang absen dilakukan pejabat di bawahnya dan di daerah,” kata Hadi.

Hingga Senin pagi, berdasarkan satelit Aqua/Terra Modis, jumlah titik panas di Sumatera terdeteksi 1.036 titik. Dari jumlah itu, paling banyak di Sumatera Selatan (599 titik), yakni di Musi Banyuasin (244 titik) dan di Ogan Komering Ilir (209 titik).

Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti tak menepis adanya unsur kesengajaan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Indonesia bagian barat. “Ada indikasi kesengajaan,” kata Badrodin di Jakarta (7/9).

Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki menegaskan Presiden memang mempertanyakan mengapa kebakaran hutan seperti dibiarkan terus berlangsung. “Presiden akan segera menghentikan para pemilik lahan yang sengaja membakar lahan untuk mengurangi biaya,” kata Teten. Presiden bahkan mencurigai ada persekongkolan karena ada indikasi bahwa lahan yang terbakar dibiarkan begitu lama dan aparat pemerintah daerah tidak bergerak.

“Jadi, Presiden menegaskan sekali lagi, perlu ada tindakan tegas terhadap pelakunya. Kalau itu indikasi (pelakunya) pemilik lahan untuk perkebunan, izin usahanya kalau perlu dicabut, selain dipidanakan. Ini tidak main-main,” ujar Teten.

 

Simak Laporan Utama The GeoTimes Magazine Vol. 2 No. 10 (18-24 Mei 2015)

- Advertisement -

Balada Negeri Sawit

info grafik sawit-47-2015-1

Lingkaran dalam pemerintahan Jokowi telah menyalakan lampu hijau. Para taipan siap berlomba menggarap seluruh pulau besar Indonesia untuk bisnis sawit.

Ekspansi perkebunan sawit skala besar yang dikuasai para taipan dan pemodal besar di Indonesia tampaknya tak terbendung lagi. Apalagi, lingkaran dalam di pemerintahan Presiden Joko Widodo terang-terangan mendorong ekspansi perkebunan monokultur ini. Itu artinya Pulau Sumatera dan Kalimantan yang sebagian hutannya sudah ludes menjadi perkebunan sawit belum memuaskan dahaga para pemodal kelas kakap.

Bagi mereka, bentangan hutan luas di Pulau Sulawesi dan Papua jelas terlalu menggiurkan untuk dilewatkan.
Saat ini Indonesia menempati posisi puncak sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya di dunia (31,5 juta ton pada 2014). Sumbangan devisa ekspor produk minyak sawit mentah dan turunannya pada 2014 mencapai sekitar US$ 21 miliar. Angka yang sangat fantastis tentu saja. Meski demikian, besarnya devisa ekspor tersebut sepertinya tak bersentuhan dengan banyaknya masalah yang ditimbulkan dari industri sawit.

Walhasil, peringatan tentang deforestasi, kerusakan lingkungan, tradisi perusahaan membakar lahan hutan, terganggunya hubungan dengan negara tetangga, merebaknya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, terus berlanjut konflik lahan antara pengusaha dan petani atau masyarakat adat, dan hancurnya infrastruktur jalan akibat gelombang transportasi hasil panen sawit, pastinya kalah gaung dengan iming-iming besarnya profit dari primadona ekspor yang sudah terbayang di depan mata.

info grafik sawit-47-2015-5Lampu hijau untuk ekspansi perkebunan sawit ini secara lantang disuarakan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir April lalu. Luhut mengaitkan sawit dengan kemandirian ekonomi sebagai alasan. Karena itu, kata dia, pemerintah harus melindungi industri sawit nasional sebagai salah satu kunci kemandirian ekonomi bangsa.

“Industri sawit nasional harus berkembang dan harus menjadi lebih baik lagi. Ini menjadi tugas pemerintah,” kata Luhut dalam sambutan di depan pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta. Bahkan, Luhut melontarkan peringatan keras. “Kalau ada kementerian yang menghambat perkembangan industri sawit nasional, kita buldoser saja,” katanya.

Pernyataan keras Luhut itu bergaung hingga sekarang. Kalangan aktivis lingkungan mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan kembali ekspansi perkebunan sawit yang terbukti memicu banyak dampak negatif. “Selama ini korporasi memilih melakukan ekspansi karena biayanya lebih murah daripada melakukan peremajaan dan revitalisasi, sedangkan dampak negatifnya diabaikan,” kata Ratri Kusumohartono, Relations Officer Sawit Watch.

Menurut Ratri, selama ini korporasi hanya mengedepankan produksi dan mengabaikan kesejahteraan petani dan tak melibatkan mereka dalam kerja sama yang berimbang. Terlalu fokus pada kepentingan ekonomi tanpa memperbaiki manajemen dan operasi industri sawit akan terus berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial.

Hal ini bisa dilihat dari berlanjutnya kebakaran hutan di sejumlah lahan konsesi yang dikuasai perusahaan sawit di Riau. Selama bertahun-tahun asap kebakaran itu mengganggu negara-negara tetangga. “Bahkan, sebagian pelakunya justru diduga perusahaan dari Malaysia dan Singapura.”

Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, memprediksi tren ekspansi perkebunan sawit akan berpindah ke Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut dia, pemerintah tidak belajar dari banyaknya permasalahan yang timbul di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Menyitir pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan tentang industri sawit sebagai salah satu kunci kemandirian bangsa, menurut Zenzi, pemerintah tak terlihat melakukan konsolidasi dengan para petani sawit. Ekspansi industri sawit tampaknya justru akan menghambat upaya Indonesia untuk mencapai kemandirian pangan. Posisi Luhut terang-terangan berdiri di pihak korporasi, tidak berdiri di pihak rakyat yang telah memilih presiden di mana ia menjadi staf.

“Dalam konteks kemandirian, kita menyadari berdirinya bangsa dipengaruhi tiga hal, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah,” kata Zenzi. “Sekarang yang mana dari tiga hal tersebut yang tidak dikendalikan oleh korporasi? Bahkan, jutaan hektare lahan sudah dikuasai oleh para pengusaha.”

Keprihatinan terhadap penguasaan lahan ini beralasan. Studi yang dilakukan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo pada Februari 2015 menunjukkan betapa dahsyat penguasaan lahan di Indonesia oleh para taipan. Setidaknya ada 29 taipan pemilik 25 kelompok bisnis sawit menguasai 5,1 juta hektare lahan, dan 3,1 juta hektare di antaranya telah ditanami. Sisanya yang seluas 2 juta hektare terbuka luas untuk dikembangkan lagi berkat dukungan lembaga keuangan yang sangat kuat.

Lahan sawit yang maha-luas itu antara lain dikuasai Sinar Mas Group, Triputra Group, Musim Mas Group, Wilmar Group, Surya Dumai Group, dan Jardine Matheson Group. Lahan-lahan sawit itu tersebar di beberapa provinsi seperti Riau, Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Kondisi ini berpotensi memicu kerusakan lingkungan dan konflik sosial (baca Bara di Lahan Sawit).

Bicara soal kekuatan kapital, total kekayaan 29 taipan itu diperkirakan mencapai US$ 69,1 miliar. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto 2012 yang US$ 878 miliar, jelas para taipan ini mengontrol kekayaan luar biasa besar. Apabila dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 Rp 1.800 triliun, kekayaan segelintir orang ini setara dengan 45 persen APBN Indonesia.

Hasil penelitian itu juga menyebutkan, selama 2008-2013 terjadi kenaikan lahan perkebunan sawit dari 7,4 juta hektare menjadi 10 juta hektare. Artinya, terjadi peningkatan 520 ribu hektare atau setara luas Pulau Bali, lahan yang berubah menjadi perkebunan sawit per tahun.

Peluang ekspansi sawit ke depan pasti sangat besar. Apalagi ditambah dukungan pemerintah. Dengan kata lain, tak ada hambatan apa pun di dalam negeri untuk menggempur lahan-lahan hutan di banyak provinsi di Indonesia untuk diganti menjadi perkebunan sawit. Isyarat kuat yang disampaikan Luhut Binsar Pandjaitan menjadi lisensi bagi perbankan dan lembaga keuangan lainnya untuk tak ragu lagi memberikan dukungan pada para pengusaha sawit besar.

Bahkan, seperti dikutip Mongabay, hasil riset TuK sebelumnya saja sudah menunjukkan kencangnya aliran dana untuk suntikan modal bagi kelompok bisnis sawit. Sepanjang periode 2009-2013 teridentifikasi bank memberikan pinjaman total hingga mencapai US$ 11,3 miliar kepada 25 kelompok sawit milik para taipan itu.

Bank-bank utama yang mengucurkan pinjaman kepada taipan sawit adalah HSBC (United Kingdom), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia). Selain itu, bank investasi juga menjadi penjamin (underwriter) penerbitan saham dan obligasi dari 25 grup bisnis sawit ini senilai US$ 2,3 miliar. Underwriter penting yang getol berpartisipasi adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).

Dari sisi ini tampak jelas bagaimana konsentrasi kepemilikan lahan sektor sawit difasilitasi lembaga keuangan domestik dan asing. Kesimpulannya, bank menyediakan pinjaman, bank investasi menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi, lalu dana pensiun dan investor lain membeli obligasi dan saham.

Dengan kondisi seperti ini, tak heran bila ekspansi bisnis sawit di seluruh Indonesia akan sulit dibendung. Intinya, hutan boleh hilang dan konflik sosial boleh berlanjut, asal profit untuk para pemilik kapital besar tetap dalam genggaman.

Surya Kusuma
Surya Kusuma
Jurnalis dan pegiat lingkungan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.