Ayaan Hirsi Ali, seorang pseudo intelektual muslim, beberapa waktu lalu menulis artikel provokatif yang berjudul Islam Is a Religion of Violence. Tulisan yang dimuat di Foreign Policy itu mendapatkan banyak tentangan. Kebanyakan dari umat muslim yang merasa disudutkan dan tersudutkan atas tulisan Ayaan itu. Ini tentu bukan pertama kali ia melakukan provokasi tidak perlu, beberapa kali Ayaan kerap mencemooh atau bahkan merendahkan Islam dengan berbagai label seperti agama yang misoginis atau yang merendahkan kemanusiaan.
Perdebatan macam ini melelahkan. Saya selalu percaya Islam adalah sebuah ajaran yang multitafsir. Ia tidak monolit, ada berbagai mazhab yang bisa kita gunakan untuk membaca ajaran agama ini. Seperti juga ideologi, Islam juga bisa menjadi damai atau kejam tergantung kepada siapa yang menerjemahkan ajaran itu. Bagasi kepala tiap-tiap manusia tentu berbeda, saya sebagai umat islam mengakui itu. Pertanyaannya kemudian bagaimana dengan yang lain?
Jumat, 13 Nopember, ISIS melakukan serangan sistematis yang menjagal lebih dari 100 nyawa di Paris, Prancis. Para pendukungnya bersuka cita, para pemujanya menyebut penjagal itu sebagai mujahidin. Meski akhirnya para pembunuh itu mati bunuh diri dengan beberapa meledakkan diri, perdebatan mulai muncul. Apakah pelaku kejahatan itu muslim atau tidak? Dan apakah Islam mengajarkan kekerasan? Lantas, bagaimana sikap umat muslim dalam hal ini?
Saya pribadi pernah dengan naif menyebut bahwa ISIS bukan Islam. Mereka adalah para pembajak yang mengatasnamakan Islam untuk kekejian mereka. Tapi belakangan saya berpikir kika para fanboys ISIS Itu bersyahadat, salat lima waktu, menghadap kiblat ke Ka’bah, menggunakan Al-Quran sebagai kitab suci atau secara sederhana memenuhi kriteria standar rukun Iman, siapa saya berhak menyebut mereka sebagai bukan muslim dan bukan Islam?
Jangan salah. Ini bukan simpati. Saya mengutuk keberadaan ISIS. Mengutuk segala perilaku mereka. Saya mengutuk tindakan yang mereka lakukan di Lebanon, Prancis, dan di mana pun di belahan bumi ini. Tapi jika saya ngotot Syiah dan Ahmadiyah adalah muslim dengan standar keimanan dasar, mengapa saya menolak ISIS bukan Islam dengan standar yang sama? Tapi cukup soal itu.
Saya percaya Islam adalah ajaran yang damai. Kitab suci kita memiliki banyak kata damai seperti cintailah, sayangilah dan sejenisnya. Namun perlu diakui juga ada banyak kata negatif seperti perangilah dan bunuhlah. Tafsir, saya kira, tergantung bagaimana kita memandang sebuah teks dan juga tendensi yang ada di baliknya.
Bagi orang yang toleran dan damai ia akan mencari seribu alasan untuk perdamaian dan menyingkirkan ayat-ayat negatif. Sementara bagi yang memang memiliki kebencian, ia akan mencari satu saja pembenaran dan menihilkan seribu alasan kebaikan untuk menjustifikasi kekerasan. Apakah dengan ini Islam menjadi ajaran ambivalen? Apakah Islam plinplan?
Kekerasan yang dilakukan oleh umat beragama saya kira lahir dari ketidakmampuan membedakan wahyu sebagai kebenaran mutlak dan interpertasi terhadap teks kitab suci sebagai kebenaran yang terbatas. Jika melulu menyalahkan Islam sebagai ajaran kebencian dan memisahkan penafsirnya, saya kira adalah kebebalan. Islam tidak tunggal dalam hal interpertasi, sebagaimana juga ideologi.
Mereka yang menyerukan Islam sebagai ajaran yang damai mungkin lupa. Bahwa dalam sejarah umat Islam pernah melakukan pembantaian bani Qurayza, pembantaian Imam Husain di Karbala, dan yang paling dekat yang dilakukan ISIS atas nama Islam. Mengakui bahwa ada catatan kelam atas nama Islam tidak menjustifikasi bahwa Islam itu salah, saya kira. Ini membuktikan bahwa umat bisa saja salah.
Saya kira umat Islam tidak perlu minta maaf pada dunia atas apa yang dilakukan ISIS. Seperti juga tidak mengakui bahwa mereka bukan Islam. Tawaran saya adalah mengakui bahwa ada orang-orang yang kepalang brengsek dan kacau menerjemahkan ajaran Islam sehingga menjadi keji dan radikal. Lantas setelah itu, umat muslim yang moderat dan mencintai perdamaian perlu merebut klaim-klaim Islam dari orang keji tadi.
Saya kira Islam mesti memiliki juru bicara baru. Mereka yang toleran, berkemajuan, dan tetap menjaga identitasnya sebagai muslim. Sudah terlalu lama Islam diklaim oleh kelompok intoleran yang buruk hati, penuh permusuhan, dan menggemari kekerasan. Mereka yang menolak kemajuan, menolak ilmu pengetahuan, dan asik santai di dalam masa kegelapan.
Tentu tidak bisa serta merta menyalahkan mereka yang bergabung pada ISIS. Perlu pemahaman dan analisa sosial mengapa hal itu terjadi. Apakah ketimpangan ekonomi, kondisi geopolitik yang dikonstruksi, atau juga karena permasalahan identitas yang tak selesai. Murni mengemas ISIS dalam bingkai agama, bagi saya, agaknya abai pada masalah.
Kondisi geopolitik Timur Tengah paska Arab Springs memang kacau balau. Menjelaskan siapa mendukung siapa dan siapa berkawan dengan siapa bisa jadi mustahil. Terlalu banyak silang sengketa kepentingan yang membuat peta politik yang ada menjadi hitam putih, alih-alih abu-abu. Kondisi politik di Timur Tengah serupa lukisan pollock yang abstrak dan berantakan. Mengurai masalah ini butuh waktu lama dan tentu saja tidak mudah, tapi apakah ini prioritas?
Ini adalah krisis kemanusiaan. Kita dipaksa memilih prioritas, menyelesaikan masalah politik, atau membantu korban kejahatan kemanusiaan. Para pengungsi perang yang berjumlah jutaan itu butuh dibantu. Mereka butuh makan, butuh tidur, butuh tempat tinggal, dan yang paling penting butuh jaminan keamanan. Siapa yang akan menjamin mereka besok akan tetap selamat sementara kebencian akan pengungsi sudah demikian hebatnya?
Dalam konteks Indonesia, sudah saatnya saya tidak lagi hanya menulis dan menyerukan perdamaian antarmazhab. Mungkin saya perlu menumbuhkan keberanian untuk melawan para penyebar kebencian. Tidak, ia tidak harus dilawan dengan kekerasan fisik, saya musti aktif turun dan menyerukan perdamaian. Tidak lagi hanya kata-kata, petisi online, gerakan hastag atau sekadar berdoa. Saya perlu mengajak mereka yang membenci untuk menemui yang mereka benci dan bicara baik-baik.
Saya sudah lelah berharap pada pemerintah. Menunggu pemerintah bertindak tegas kepada penyeru kebencian seperti menunggu Godot datang membawa martabak Nutella. Kemustahilan yang mungkin hanya bisa dibandingkan dengan kemungkinan saya balikan dan menikahi mantan. Penyebar kebencian, pendukung ISIS, dan pemuja radikalisme toh terang-terangan beraksi di depan otoritas pemerintah kita, dan para aparatnya diam saja. Masih mau berharap?
Para benalu yang memanfaatkan kebebasan berekspresi produk demokrasi itu semestinya ditindak. Ia tidak harus dibunuh atau dibungkam, tapi ditindak. Mereka yang menyebarkan ajakan bergabung dengan ISIS, mereka yang memuja kekerasan dan menyebarkan kebencian. Apakah akan dibiarkan terus? Sampai kapan? Sampai salah satu dari saudara atau ibu atau kakak atau pacar kita mati dibunuh karena dianggap sesat?
Ada banyak yang ingin saya utarakan kemudian tentang ini. Tapi saya telanjur lemas. Telanjur marah dan bersedih. Saya berpikir bagaimana nasib ratusan ribu para pengungsi perang Timur Tengah yang ada di Eropa hari ini. Akibat pekerjaan jahil beberapa orang, mereka akan menanggung kebencian dari banyak kelompok. Ini mungkin berlebihan, tapi bolehkan sesekali kita peduli?
Atau mungkin sudah waktunya kita berkata, “Ah sudahlah.”