Jumat, November 8, 2024

Bara di Lahan Sawit (2)

Viriya Paramita
Viriya Paramita
Wartawan, pegiat teater, dan penggemar sepakbola. Tinggal di Jakarta.
- Advertisement -

Konflik Tak Kunjung Padam

Belakangan ekspansi perkebunan kelapa sawit memang berlangsung pesat. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhannya mencapai 35 persen. Kini total luas lahan sawit di Indonesia telah menyentuh 10 juta hektare. Padahal, pada 2008 baru ada 7,4 juta hektare. Menurut Direktur Profundo Jan Willem van Gelder, rata-rata setahun pertambahan kebun sawit mencapai 520 ribu hektare atau seluas Pulau Bali.

Ironisnya, ekspansi perkebunan kelapa sawit dinilai kerap berbanding lurus dengan mencuatnya konflik agraria di berbagai daerah Indonesia. “Hampir di semua daerah konsentrasi sawit, muncul pula konsentrasi konflik,” kata Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Menurut Dianto, ekspansi sawit berawal di Sumatera pada 1970-an hingga 1980-an. Lalu pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an mulai menyebar ke pulau-pulau lain, khususnya Kalimantan dan Sulawesi. Ekspansi perkebunan sawit ini diikuti pula dengan konflik.

Mengapa bisa terjadi begitu? Jawabannya begitu pelik, karena semua terjadi secara sistematis dan lintas sektoral. Pertama, pemerintah dituding berperan penting karena kerap “mengobral” izin pengelolaan tanah pada para pemilik modal, entah lahan non-kehutanan dari Badan Pertanahan Nasional ataupun lahan kehutanan dari Kementerian Kehutanan (kini dilebur dengan Kementerian Lingkungan Hidup). Kondisi itu tak hanya melibatkan pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah. Izin usaha perkebunan dan izin lokasi dengan mudah diterbitkan karena berbagai kepentingan.

“Pemerintah daerah seperti berlomba-lomba ‘menjual tanah’ untuk mengejar investasi, pendapatan, atau menutup biaya politik pilkada,” kata Dianto.

Hal senada dikatakan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan. Menurut pengamatan AMAN, izin lokasi perkebunan selama ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah tanpa data yang akurat. “Misalnya, pemerintah daerah tidak punya data sosial tentang keberadaan masyarakat adat di daerahnya, atau tentang kawasan hutan yang masih ditunjuk atau ditetapkan. Jadi, banyak izin yang keluar bisa salah tempat,” kata Abdon.

Akibatnya, kata Abdon, banyak izin yang masuk ke wilayah adat dan menimbulkan konflik dengan penduduk setempat. Padahal, selama ini masyarakat adat di berbagai daerah hidup bergantung pada hutan. Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan sawit pun mendorong timbulnya pergeseran budaya dan gesekan sosial.

Konflik tak hanya terjadi secara vertikal antara rakyat dan perusahaan. Dalam prosesnya, konflik pun berkembang menjadi konflik horizontal yang terjadi di tengah masyarakat. Menurut Abdon, ini terjadi salah satunya karena perusahaan kerap menyuap elite yang dekat dengan kekuasaan.

Hamparan tanaman kelapa sawit terlihat dari udara di Provinsi Riau. ANTARA FOTO/ FB Anggoro
Hamparan tanaman kelapa sawit terlihat dari udara di Provinsi Riau. ANTARA FOTO/ FB Anggoro

Selain menghancurkan lingkungan, ekspansi masif perkebunan kelapa sawit juga berdampak pada tercerabutnya akar budaya dan kehidupan suku-suku asli yang bergantung hidup dari hasil hutan. Tragedi anak bangsa ini menimpa kehidupan Suku Anak Dalam Orang Rimbo yang menyebar di kawasan sempit di Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi.

- Advertisement -

Selama ini mereka hidup secara nomaden dan bergantung hidup dari hasil hutan. Namun sejak beberapa tahun belakangan, mereka kian sulit mencari makan karena hewan dan umbi-umbian semakin langka. Hutan kian gundul karena perambahan oleh perusahaan untuk kepentingan bisnis sawit.

“Mereka tidak punya kebun sawit. Jadi, kalau mengambil hasil dari kebun punya orang desa atau perusahaan, mereka bisa digebuki. Mereka juga sering jadi bulan-bulanan saat mempertahankan lahannya,” kata Robert Aritonang, antropolog dari Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi. “Akhirnya karena lapar, buah sawit yang jatuh ke tanah mereka rebus dan makan.”

Sepanjang 2014 Warsi membantu memindahkan 15 keluarga Orang Rimbo ke lahan penghidupan baru. Tahun ini Warsi menargetkan jumlah sama. Keluarga yang dipilih adalah yang paling miskin dan termarginalkan hidupnya. “Sebenarnya, yang sangat membutuhkan itu ada 60 keluarga, tapi Warsi tidak punya dana untuk memindahkan semuanya,” kata Robert.

Tak hanya di Taman Nasional Bukit Duabelas, masih ada sekitar 1.400 orang dari Suku Anak Dalam yang membutuhkan bantuan tersebar di Jambi, baik di Kabupaten Sarolangun, Merangin, maupun Bungo. Salah satu yang terparah adalah kehidupan lebih dari 100 keluarga Suku Anak Dalam di Merangin. Mereka tinggal di wilayah konsesi PT Kresna Duta Agroindo, anak perusahaan Grup Sinar Mas.

Robert menyatakan khawatir, bila pemerintah terus membiarkan kondisi ini terjadi, maka budaya Suku Anak Dalam pelan-pelan akan punah. “Hutan yang menjadi kunci budaya mereka sudah habis. Budaya mereka pun bisa punah,” kata Robert.

Menanggapi tudingan dan kekhawatiran banyak pihak terkait ekspansi perkebunan sawit, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Fadhil Hasan, buka suara. Fadhil secara tegas membantah anggapan bahwa perusahaan sawit telah menyalahi aturan dalam membuka lahan. Menurut dia, tiap perusahaan telah mendapat izin lokasi dan mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Dia bahkan balik menuding peran lembaga swadaya masyarakat yang giat membuat situasi semakin panas sehingga berpotensi memicu konflik. Meski Fadhil tak membantah bahwa kemungkinan memang ada perusahaan sawit yang kurang melakukan sosialisasi terkait pemanfaatan lahan konsesi mereka.

“Konflik itu, kan, macam-macam pemicunya. Mungkin memang ada perusahaan yang kurang sosialisasi,” kata Fadhil. “Tapi ada pula masyarakat yang punya kepentingan berbeda yang tidak mau lahannya ditanami kelapa sawit. Selain itu, ada pula LSM yang suka memanas-manasi.”

Menyikapi konflik terkait lingkungan hidup dan kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk tim penanganan pengaduan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan pada pertengahan Januari lalu. Namun, langkah ini dinilai belum menyentuh akar persoalan, kata Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Hak Ekonomi dan Sosial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Apalagi, pengesahan Rancangan Undang-undang Perkebunan pada September 2014 masih menyisakan persoalan. Di sana terdapat dua pasal baru tentang penanaman modal dan ketentuan peralihan izin usaha yang justru dianggap memperkuat kedudukan pelaku usaha di industri perkebunan.

Meski sudah ada respons positif dari pemerintah, sepertinya belum efektif dan masih makan waktu lama. Persoalannya, masalah laten dan konflik terbuka yang ada saat ini tidak bisa menunggu. Pengusaha juga berpantang surut dalam melakukan ekspansi mereka. Di sisi lain, hak masyarakat lokal dan masyarakat adat kemungkinan tetap terabaikan. Situasi ini jelas menjadi bahan bakar konflik. Padahal, biaya penyelesaian konflik agraria di seluruh daerah Indonesia bisa jadi lebih besar daripada pendapatan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.

“Pemerintah kerap membuat masalah sendiri, lalu kebingungan pula menyelesaikannya,” kata Dianto Bachriadi.

Viriya Paramita
Viriya Paramita
Wartawan, pegiat teater, dan penggemar sepakbola. Tinggal di Jakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.