Polemik antara Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan DPRD Kota Bekasi terkait Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menjadi perhatian publik akhir-akhir ini.
Perseteruan antara Ahok dan DPRD Kota Bekasi bermula dari rencana pemanggilan Ahok oleh DPRD Kota Bekasi perihal pelanggaran Perjanjian Kerja Sama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Lahan TPST Bantargebang, yang ditandatangani bersama Pemerintah Kota Bekasi.
DPRD Kota Bekasi menilai Pemprov DKI Jakarta melakukan pelanggaran, seperti standardisasi truk sampah tak sesuai perjanjian, rute dan jam operasional truk pengangkut sampah, pembuatan sumur pantau di sekitar TPST Bantargebang dan perjanjian kerja sama yang melibatkan perusahaan PT Godang Tua Jaya dalam pembayaran kompensasi pada Pemkot Bekasi.
Sedangkan Ahok menilai, polemik pengelolaan sampah ini merupakan buntut pengiriman Surat Peringatan (SP) 1 kepada pengelola TPST Bantargebang, yaitu PT Godang Tua Jaya. Terlepas dari perseteruan antara Ahok, DPRD Kota Bekasi, dan PT Godang Tua Jaya, saya menilai bahwa persoalan pengelolaan sampah merupakan pekerjaan rumah yang tak kunjung usai diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Melihat tingginya tingkat kepadatan penduduk, DKI Jakarta memproduksi 6.000-7.000 ton sampah per harinya. Pengelolaan sampah menjadi persoalan yang sangat serius bagi Pemprov DKI Jakarta. Sayangnya persoalan ini tidak serius diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Pada tahun 2013, ketika menjadi Wakil Gubernur, Ahok merencanakan akan membangun empat tempat pengolahan sampah terpadu atau Intermediate Treatment Facility (ITF). Keempat TPST tersebut rencananya akan dibangun di Sunter, Cakung-Cilincing, Marunda, dan Duri Kosambi. Tujuannya untuk menekan volume pembuangan dan penimbunan sampah di Bantargebang.
Namun, ironisnya, hingga sekarang Ahok menjadi Gubernur, pembangunan TPST tidak kunjung terwujud. Hal inilah yang salah satunya membuat Pemprov DKI bergantung pada tempat pembuangan sampah di Bantargebang. Yang sungguh mengherankan, bahkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak mengetahui penyebab kegagalan realisasi dari pembuatan TPST tersebut.
Padahal, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Daerah DKI No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa pemerintah daerah memiliki tugas untuk memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah dengan menyediakan prasarana dan sarana pengelolaan sampah. Sayangnya amanat undang-undang ini belum dijalankan oleh Pemprov DKI di bawah komando Ahok.
Mengutip Sri Bebassari, kebersihan merupakan bidang pembangunan yang mestinya ditempatkan pada level pertama dengan derajat tinggi. Kebersihan adalah investasi. Karena begitu penting bidang kebersihan ini sejajar dengan keamanan dan pembangunan infrastruktur lain (Bagong Suyoto, 2011).
Dengan “gembar-gembor” yang dilakukan oleh Ahok tentang pembangunan DKI Jakarta, seharusnya pembenahan pengelolaan sampah menjadi prioritas utama programnya. Pemprov DKI Jakarta diharapkan dapat menyelenggarakan pengelolaan sampah yang terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Seperti ditegaskan, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan telah dijamin oleh UU No. 18/2008 dan juga Perda No. 3 Tahun 2013. Hal ini teramat penting untuk perbaikan pengelolaan sampah yang saat ini masih dikelola dengan buruk oleh pihak yang menjadi mitra Pemprov DKI Jakarta. Dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan, persoalan sampah menjadi tanggung jawab bersama. Pengelolaan sampah harus didorong menjadi lebih profesional, akuntabel, dan transparan.