Dalam berbagai kesempatan demonstrasi, kadang saya mendengar beberapa orator buruh berbicara dalam nada yang simpatik terhadap pihak yang sedang dipaksa berhadapan dengan mereka. Biasanya dalam demonstrasi mereka akan berhadapan dengan satpam atau polisi. “Kawan-kawan, mari kita hormati para polisi yang sedang bertugas karena mereka juga buruh..” begitu seru salah satu orator dalam perayaan Hari Buruh pada 2014. Bagi saya, sikap simpatik dari orator buruh ini adalah praktik dari politik kelas yang baik.
Satuan pengaman (satpam) yang seringkali digunakan perusahaan untuk berhadapan dengan buruh dalam beberapa kasus turut terpanggil juga dengan sikap simpatik ini. Sebagai buruh yang status kerjanya boleh dialihdayakan, satpam juga merasakan betul penderitaan para buruh. Satpam paham rasanya dicurangi manajemen. Itu mengapa di Jakarta dan Yogyakarta sempat terbentuk serikat satpam.
Hal ini sepertinya tak berlaku pada polisi. Pada saat Ramadhan 2014 lalu, buruh di Purwakarta menggelar aksi mogok. Para polisi kemudian dikirim untuk membubarkan aksi mogok buruh. Polisi pemilik akun twitter Rian S Pamungkas turut pula dalam pembubaran aksi mogok buruh. Ia kemudian berkicau lewat akun twitternya itu, “Terpaksa ga puasa.. ngebatalin mukulin orang.. buruh kampret! (at PT Indofood CBP Sukses Makmur)”.
Banyak di antara kaum muslim percaya melakukan kekerasan itu membatalkan puasa. Sedang pemilik akun Rian S Pamungkas hari itu terpaksa melakukan kekerasan gara-gara membubarkan mogok buruh. Makanya ia menyalahkan buruh-buruh yang mogok sebagai penyebab batalnya puasa. Begitulah logika polisi muda itu.
Akun Rian S Pamungkas kemudian ditutup setelah capture kicauannya tersebar luas. Ada satu polisi muda lain yang bernasib sama. Toh kekerasan polisi terhadap rakyat tak berhenti sampai di situ. Bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga intimidasi melalui spanduk-spanduk. Di wilayah-wilayah padat industri seperti Bekasi, kerap terpampang spanduk-spanduk yang berisi intimidasi terhadap gerakan buruh. “Buruh wajib penuhi hak-hak pengusaha, jangan langgar aturan”, begitu bunyi salah satu spanduk tersebut.
Bukan hanya buruh yang kerap kali jadi sasaran kekerasan polisi. Pada November lalu, polisi memukul salah satu ibu-ibu petani yang turut dalam aksi penolakan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.
Dengan berulangnya kekerasan polisi terhadap buruh, petani, dan kaum miskin kota, saya seharusnya tak heran lagi dengan kekerasan polisi. Makanya saya tak heran jika polisi membubarkan demontrasi buruh pada 31 Oktober lalu dengan beringas. Kejanggalan yang membuat saya heran adalah seragam kaos biru gelap yang mereka gunakan. Beberapa massa buruh yang berada di lokasi sempat mengira mereka polisi berbaju preman yang kerap digunakan dalam beberapa operasi polisi.
Jika dilihat pada foto-foto polisi berkaos biru gelap yang diunggah di media massa dan beberapa portal berita, nampak terdapat tulisan “Turn Back Crime” pada bahu kanan depan. Penasaran, saya mengetik “Turn Back Crime” (berikutnya akan disingkat TBC) di Google dan menemukan foto Messi dengan kaos yang hampir sama dengan tulisan TBC di bahu kanan depan. Ternyata ini adalah kampanye yang jangkauannya internasional. Saya kemudian mengunjungi situs TBC. Dari situ saya paham bahwa TBC merupakan program kampanye Interpol, organisasi polisi internasional yang tugasnya menangkal kejahatan terorganisir.
Dari situsnya pula saya jadi tau bahwa prioritas utama kampanye TBC adalah memberantas “kejahatan properti intelektual.” Bahasa sederhananya, memberantas perdagangan barang-barang asli tapi palsu. Di sini kebingungan pertama saya muncul. Dari sekian banyak isu kejahatan internasional, kenapa isu perdagangan barang palsu yang diprioritaskan? Bukannya ada berbagai kasus kejahatan terorganisir lainnya yang lebih mendesak untuk dicegah? Perdagangan orang misalnya.
Persoalan dipilihnya isu perdagangan barang palsu dijelaskan oleh video di YouTube yang diunggah akun Interpol. Singkatnya, Interpol mencurigai perdagangan barang-barang palsu digunakan sebagai metode untuk membiayai organisasi kriminal. Makanya motto dari kampanye TBC adalah “Kejahatan terorganisir dimulai dengan uang, jangan sampai mereka menggunakan uangmu.”
Namun ada video lain yang diunggah Interpol, menayangkan Juni lalu kampanye TBC ini dianugerahi penghargaan oleh Union Des Fabricants (Unifab). Nah, Unifab ini adalah asosiasi dagang yang berpusat di Prancis. Bukan kebetulan juga jika misi utama dari asosiasi dagang ini sama dengan prioritas kampanye TBC: perlindungan properti intelektual. Hal ini bagi saya menyiratkan kedekatan kampanye TBC dengan industri-industri besar. Sebab, isu perlindungan properti ini memang kepentingan industri-industri besar yang tergabung dalam Unifab.
Beberapa perusahaan besar yang tergabung dalam Unifab antara lain Chanel, Coca Cola, Disney, Hermes, L’Oreal, Lacoste, Louis Vuitton, Michelin, Microsoft, Nike, Philip Moris, dan masih banyak lagi.
Beberapa dari perusahaan yang tergabung dalam Unifab pernah tersangkut masalah perburuhan di berbagai belahan dunia. Coca Cola, misalnya, pada awal 2000-an tersangkut kasus pembunuhan pemimpin-pemimpin serikat buruh di Kolombia. Sedang Nike sudah sejak lama memeras keringat buruh Indonesia dengan upah yang sangat minim, bahkan di bawah jumlah minimum.
Kedekatan kampanye TBC dengan asosiasi yang beberapa perusahaannya melanggar hukum ini merefleksikan keberpihakan polisi pada pemilik modal. Namun sebelum saya menyebut integritas kepolisian itu hanya mitos, saya hendak mengajukan sederet pertanyaan pada otoritas kepolisian yang berwenang.
Saya tidak paham apa maksud polisi-polisi itu memakai kaos TBC saat membubarkan buruh. Apakah polisi-polisi Indonesia berkaos TBC tersebut terhubung dengan kampanye Interpol? Kalau memang terhubung, kenapa malah bertugas membubarkan demonstrasi dan bukan mengurus persoalan kejahatan terorganisir? Apakah massa buruh sudah dianggap bagian dari kejahatan terorganisir juga?
Terlebih lagi, apakah karena pemodal-pemodal besar turut membekingi kampanye TBC ini, maka polisi berkaos TBC jadi beringas betul saat membubarkan massa buruh?