Aku masih ingat betul ketika pertama kali menjejakkan kaki di sebuah kampus yang berdiri kokoh di bilangan Sudirman. Saat itu yang ada di pikiranku hanya kuliah serius, mencari teman, dan bersenang-senang. Maklum, biaya kuliah di universitas swasta cukup memeras pikiran dan tenaga kedua orang tua. Aku diwanti-wanti untuk lulus tepat waktu, jadi sarjana, lalu bekerja. Namun, siapa sangka, sebuah peristiwa mengubah semua rencana dan cara pandangku pada sebuah realita.
Tahun pertama kuliah, Aku memutuskan untuk ikut bergabung dengan teman-teman FAMSI (Front Aksi Mahasiswa Semanggi) dan organisasi pers mahasiswa Viaduct, yang saat itu berfokus pada usaha-usaha penuntasan kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II dan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu lainnya. Sebagai seorang mahasiswa yang memiliki kedekatan emosional dan tanggung jawab terhadap pengabdian masyarakat, Aku rasa hal itu merupakan suatu kewajiban yang tidak berlebihan.
Dua belas tahun yang lalu, saat itu Aku masih duduk di bangku sekolah dasar, hampir seluruh stasiun televisi yang ada menayangkan berita menjelang kejatuhan Soeharto. Aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh Indonesia. Mahasiswa menuntut perubahan pemerintahan yang demokratis serta reformasi total. Namun aksi-aksi yang diinisiasi oleh mahasiswa ditangani secara represif oleh aparat.
Pada 12 Mei 1998 meletuslah Tragedi Trisakti, di mana aparat melakukan penembakan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan aksi ke DPR menuntut turunnya Soeharto. Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas terkena timah panas aparat. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Tanggal 13 November 1998, kembali terjadi kekerasan terhadap mahasiswa. Peristiwa itu dikenal dengan nama Tragedi Semanggi I. Pada saat itu mahasiswa berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI dan meminta Presiden untuk segera mengatasi krisis ekonomi. Mahasiswa dihadang oleh aparat bersenjata lengkap dan kendaraan lapis baja. Sementara mahasiswa mencoba bertahan, tiba-tiba terjadi penembakan membabibuta oleh aparat. Mahasiswa terpaksa lari ke dalam kampus Atma Jaya. Walaupun sudah berada di dalam kampus, mahasiswa tetap diberondong peluru tajam.
Selang beberapa bulan kemudian, rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya pada September 1999 menuai protes. Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversif, dianggap terlalu otoriter. Aksi penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa kembali menelan korban. Tercatat sebelas orang meninggal dunia akibat penembakan oleh aparat keamanan. Salah satunya Yap Yun Hap, mahasiswa UI. Yap Yun Hap tertembak tepat di depan kampus Atma Jaya.
“Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung”
Lucu rasanya. Ketika sebagian besar mahasiswa lain mengidolakan pejuang-pejuang kemanusiaan radikal seperti Mahatma Gandhi, Suster Teresa, Nelson Mandela atau bahkan Munir, Aku malah terkagum-kagum dengan sosok Maria Katarina Sumarsih, dan keluarga korban kekerasan negara lainnya, yang mungkin sampai mati tidak mengenal kata tuntas.
Sosoknya yang mulai rapuh termakan usia, rambut yang mulai beruban, dan baju hitam yang dikenakannya setiap hari, selalu hadir mewarnai setiap peringatan tragedi pelanggaran HAM yang kami adakan. Kerut di wajahnya seolah ingin bercerita, bagaimana negeri ini memperlakukannya secara tidak adil. Tubuhnya yang kecil, dengan tinggi sekitar 150 cm, hadir di tengah kami yang berpeluh, dengan kepalan tangan kirinya teracung ke angkasa dan emosinya yang meluap tak terbendung.
Memang, buah pikirannya tidak secemerlang Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela, tidak seperti RA Kartini dengan Habis Gelap Terbitlah Terang-nya atau Aung San Suu Kyi dengan National League for Democracy-nya, namun Aku merasakan sesuatu yang kuat di dalam dirinya. Sesuatu yang bisa melampaui batas ruang dan waktu, menginspirasi mereka yang hak asasi-nya diingkari oleh negara. Sebuah kekuatan akan kejujuran untuk mengungkap kebenaran.
Maria Katarina Sumarsih, atau akrab disapa Sumarsih, adalah ibu dari BR Norma Irmawan (Wawan), korban Tragedi Semanggi I. Pasca Tragedi Semanggi 1998 beliau aktif turun ke jalan, melakukan aksi dan advokasi bersama eleman mahasiswa dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang penegakkan HAM. Bersama keluarga korban yang lain, tidak jarang Sumarsih ikut merasakan panasnya aspal jalanan, berorasi tanpa pernah mengeluh lelah harus berjalan kaki dari Atma Jaya ke Istana Negara.
Lain lagi dengan Asih Widodo, ayah dari Sigit Prasetyo yang juga menjadi korban kebrutalan timah panas aparat di Semanggi. Tiap kali demonstrasi, Widodo selalu memakai jaket berwarna merah bertuliskan “Anakku Sigit Prasetyo, Mati Dibunuh TNI, Bangsaku Sendiri, Di Semanggi”. Slogannya pun masih terngiang di kepala Aku sampai saat ini. “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, kalau nyawa masih melekat di badan Aku, Aku tidak akan berhenti menuntut sampai ke ujung dunia,” ujarnya sambil mengepalkan tangan.
Sayangnya, tujuh belas tahun sejak November 1998 Istana masih tetap bergeming. Meski rezim telah berganti dan Sumarsih dengan sabarnya menunggu dalam diam di seberang Istana setiap Kamis sore, hanya untuk meminta keadilan untuk anaknya, Wawan. Beberapa kali Aku sempat menemani Sumarsih dan ibu-ibu korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka tidak pernah kehilangan harapan.
Tapi maaf, Bu, mungkin pekan depan Aksi kamisan yang biasa dilakukan anggota keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia tidak lagi diizinkan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum melarang aksi unjuk rasa dilakukan di sepanjang 100 meter dari objek vital, termasuk Istana Negara. Jadi, Ibu sepertinya harus berdiri agak sedikit lebih jauh dari pagar Istana. Payung warna hitam yang selalu ibu pakai saat aksi kamisan mungkin agak mengganggu indahnya pemandangan Istana. Atau mungkin dengan berdiri agak jauh dari Istana, Pak Presiden lebih bisa melihat ibu Sumarsih dan mau menyambangi ibu sesekali.
“For me…life and death is in the hand of God, but the shooting of Wawan has to be brought to court” –Sumarsih–
Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Saat itu mahasiswa, yang bergabung dengan masyarakat, melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menolak Sidang Istimewa 1998 yang dikhawatirkan melegitimasi kekuasaan Rezim Orde Baru melalui pengangkatan Habibie sebagai presiden, dan menuntut penghapusan dwifungsi ABRI sebagai salah satu bentuk campur tangan politik dari kalangan militer. Ketika massa aksi tiba di daerah Semanggi, tepatnya di depan Kampus Atma Jaya, barikade aparat telah mengepung dari dua arah, mencoba membatasi ruang gerak demonstran. Sekitar pukul 16.30 aparat yang berjaga mencoba membubarkan aksi demonstrasi secara paksa, namun mahasiswa bertahan. Akhirnya terdengar letusan senjata api. Aparat secara membabi buta menembaki barisan mahasiswa yang tidak kunjung membubarkan diri.
Akibatnya, jatuh korban jiwa dan luka berat yang berasal dari mahasiswa dan masyarakat sipil. Sedikitnya lima mahasiswa tewas, mereka adalah BR Norma Irmawan, mahasiswa FAkultas Ekonomi Atma Jaya; Engkus Kusnadi, mahasiswa UNJ (Universitas Negeri Jakarta); Heru Sudibyo, mahasiswa Universitas Terbuka; Sigit Prasetyo, mahasiswa Universitas YAI (Yayasan Administrasi Indonesia); dan Teddy Wardani Kusuma, mahasiswa ITI (Institut Teknologi Indonesia). (Pahlawan Reformasi, semanggipeduli.com)
Tragedi Semanggi I dan kasus-kasus pelanggaran HAM oleh negara lainnya merupakan sebuah indikasi bahwa saat itu (dan mungkin sampai sekarang) negara kita dipimpin oleh rezim yang otoriter. Kesewenangan negara melalui aparat-aparatnya mencoba merepresi gerakan-gerakan yang muncul di masyarakat dan mahasiswa, dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan membunuh bangsanya sendiri. Negara mencoba meredam suara-suara mahasiswa sebelum ataupun sesudah runtuhnya Rezim Orde Baru, melalui berbagai tindak kekerasan. Kepentingan elit-elit politik memang tidak begitu saja dapat diabaikan sebagai penyebab banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, termasuk Tragedi Trisakti dan Semanggi II. Ketiga kasus tersebut saling berkaitan.
Menurut Laporan Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I, Semanggi II yang dikutip dari sekitarkita.com, sumber-sumber daya negara, seperti angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisian, telah dikerahkan guna mencapai tujuan politik tersebut. Dalam konteks mencapai tujuan politik inilah kemudian mahasiswa dan masyarakat yang menuntut Reformasi itu dipersepsikan sebagai “perusuh negara”, dengan mengatakan tindakan mereka sudah anarkis.
Kekerasan negara ternyata tidak berhenti di era ’98 saja. Kekerasan masih terus terjadi hingga kini, yang berimbas pada keluarga korban pelanggaran HAM yang masih terus mencari kebenaran dalam tumpukan kebohongan. Negara seakan menutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi. Sudah dua belas tahun berlalu, sejak 1998, negara secara sistematis melakukan pengingkaran terhadap kejahatan HAM, demi menyelamatkan petinggi militer dan petinggi pemerintahan dari tanggung jawab hukum. Berbagai “senjata” diciptakan, untuk menghalangi kasus-kasus pelanggaran HAM agar tidak muncul ke permukaan.
Berbagai argumen dilontarkan oleh pemerintah, antara lain mekanisme penuntasan melalui pengadilan militer menggunakan pasal KUHP, Rekomendasi DPR yang menyatakan bahwa TSS (Trisakti, Semanggi I&II) bukan pelanggaran HAM berat, hingga menciptakan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Semua itu upaya tidak jujur pemerintah demi mengingkari tanggung jawabnya dan melestarikan impunitas. Terlihat adanya kesengajaan dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengusut kasus pelanggaran HAM.
Semua upaya pengingkaran dan impunitas di atas sama sekali mengabaikan adanya hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II yang dikeluarkan pada bulan Maret 2002, yang secara jelas menyatakan bahwa ketiga tragedi bertautan satu sama lain dalam konteks kekuasaan dan kebijakan pemerintah saat itu dalam menghadapi gelombang demonstrasi yang menuntut reformasi. KPP HAM TSS juga menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilAkukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”. Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.
Di ranah parlemen, atas tekanan publik yang besar, DPR RI periode 1999-2004 membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 29/DPR-RI/III/2000-2001. Namun pada akhirnya, Pansus ini pun menghasilkan rekomendasi yang melukai keluarga korban. Rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada 9 Juli 2001 itu justru menyatakan bahwa pada peristiwa Trisakti, Semanggi dan II tidak terjadi pelanggaran berat HAM. Selanjutnya, DPR periode 2004-2009, menjadikan isu Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II sebagai komoditas politik yang dipermainkan di sidang-sidang Komisi III maupun Bamus (Badan Musyawarah) DPR.
Pemerintah menggunakan, rekomendasi Pansus DPR 2001 sebagai tameng politik untuk tidak menggelar pengadilan ad hoc HAM atas Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Tafsir pasal 43 ayat 2 UU 26/2000 dipelintir sedemikian rupa sehingga seakan-akan DPR memang memiliki kewenangan, dan kemampuan teknis, untuk secara sendirian memutuskan apakah peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi termasuk pelanggaran berat HAM atau bukan. Sebuah penafsiran yang secara gamblang keliru. Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya bernomor 18/PUU-V/2007 telah menegaskan penafsiran yang benar atas pasal tersebut, pemerintah, dalam hal ini Kejagung (Kejaksaan Agung), bergeming dengan penafsirannya sendiri dan mengabaikan sebuah keputusan lembaga negara yang memiliki otoritas kuat dalam tafsir UU (lihat Dokumen Komite 13 November 1998).
“Ujung perjuangan Aku, harapan Aku, supaya di negara ini tidak terjadi pelanggaran HAM lagi.” –Sumarsih–
Lalu bagaimana agar peristiwa serupa tidak terulang lagi? Hal yang paling penting dilakukan adalah pertama, dengan menegakkan supremasi hukum, sebagai bentuk pemberian jaminan hukum bagi masyarakat. Artinya harus ada mekanisme pengungkapan, penuntutan dan penghukuman pelaku, serta penggantian kerugian bagi korban-korban pelanggaran HAM. Dari perspektif hukum positif di Indonesia, terlihat jelas bahwa mekanisme penyelesaian kasus telah diatur dalam instrumen penegakan HAM yang ada. Kedua, mereformasi lembaga-lembaga negara yang terlibat dengan kasus pelanggaran tersebut, agar kejadian serupa tidak lagi terulang.
Poin terakhir adalah dengan mengamandemen kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM sampai pada proses penuntutan, atau setidaknya memiliki kekuatan politik untuk mendorong Jaksa Agung untuk melAkukan penyidikan. Dan keempat, dengan membentuk Pengadilan ad hoc HAM untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II sebagai salah satu tanda keseriusan dari pemerintah dalam pengungkapan kebenaran, karena negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.
Tragedi Semanggi I dan kasus pelanggaran HAM lainya menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia yang harus diungkap. Usaha-usaha dalam pengungkapan kebenaran memang tidak lepas dari pergolakan/pergerakan dari elemen manapun. Gerakan mahasiswa, sebagai salah satu komponen, mempunyai kekuatan besar dalam membawa perubahan dan penggerak terciptanya keadilan di negeri ini. Dengan adanya sebuah gerakan yang dinamis di kalangan mahasiswa yang sadar hukum, mungkin peristiwa pelanggaran HAM tidak akan terulang lagi. Gerakan bisa dimulai dari yang sangat sederhana, yaitu gerakan melawan lupa.