Bagaimana seharusnya kita menghadapi tragedi? Apakah dengan menyimpan dendam? Menyimpan kemarahan? Atau bahkan menunjukan kebencian? Pada Bali saya belajar untuk menghadapi tragedi. 12 Oktober 2002 Bali diguncang bom besar. Tidak hanya gedung, manusia, dan ekonomi yang hancur, tapi juga perasaan tiap-tiap manusia yang tinggal di sana.
Bom Bali pertama yang terjadi tahun 2002 adalah rangkaian peristiwa mengerikan yang semestinya tidak pernah kita lupakan. Semestinya kita belajar, bagaimana kebencian dan fundamentalisme yang bertemu akan melahirkan tragedi yang demikian mengerikan. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Pulau Dewata.
Pekan lalu selama dua hari saya mengunjungi Bali. Di bandara saya dijemput oleh Bli Penengah, yang sehari-hari menjadi sopir bagi wisatawan di Denpasar. Ia mengatakan sejak dua tahun terakhir industri pariwisata Bali kembali bangkit dan menjadi sangat ramai. Salah satu indikasi yang ia sebut adalah ramainya klub malam, jalan-jalan di sepanjang Kuta, dan tingkat hunian hotel yang tinggi.
Bali memang perlahan berubah. Bandara Ngurah Rai sibuk dan seolah tak pernah istirahat. Pesawat datang dan pergi membawa manusia-manusia yang ingin berlibur. Jalanan di sepanjang Kuta dan menuju Ubud penuh manusia yang bergembira. Wisatawan asing dan lokal datang untuk berbisnis ataupun menikmati liburan. Pantai, alam, dan manusia Bali memang menjadi daya tarik yang luar biasa. Datangnya orang asing berarti industri hidup, yang pada satu titik memberikan kontribusi kemakmuran bagi warga Bali.
Wajah Bli Penengah begitu cerah ketika ia bicara tentang Bali. Seolah ia baru saja pulang dari perjalanan panjang membosankan atau bangun dari mimpi buruk yang terlalu. Kita tahu, tiga belas tahun lalu malam jahanam terjadi di Legian. Bom meledak, mayat-mayat bergelimpangan, sebuah pulau yang ceria dirundung duka. Kematian terlalu banyak untuk bisa dihitung dengan jari. Teror itu terlalu mengerikan untuk bisa diingat. Barangkali bagi beberapa orang seperti Bli Penengah, ia serupa luka yang tak akan pernah sembuh.
Industri pariwisata Bali terpuruk pada 2002 karena teror, dan bukan yang pertama. Tiga tahun kemudian, 1 Oktober 2005, bom serupa meledak di Jimbaran dan mengakibatkan pariwisata Bali nyaris lumpuh dan sepi peminat. Kerusakan itu meredupkan pesona Bali. Ia mimpi buruk yang menghancurkan banyak hal, hidup manusia dan juga seluruh pariwisata Bali. Tapi kita tahu setiap gelap akan menemukan cahaya untuk bangkit lagi.
Bali selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Berbagai perubahan sosial dan eksploitasi yang terjadi di atas tubuhnya tidak membuat Bali kehilangan identitas. Bahkan ketika Putu Setia yang dahulu dengan sinis memandang pulau ini toh tidak membuat Bali kehilangan marwahnya. Dalam buku Menggugat Bali (1986) Putu Setia mengkritik bagaimana komersialisasi Bali telah merusak kampung halamannya, bagaimana industri pariwisata membuat desa desa yang dulunya seram dan angker menjadi gemerlap
Saat ini Bali juga tengah diancam oleh monster bernama Reklamasi Teluk Benoa. Proyek yang dibalut propaganda revitalisasi berpotensi menghilangkan tidak hanya identitas kultural sebuah lingkungan, tapi juga kehidupan banyak orang. Dengan atau tanpa ada pariwisata masyarakat masyarakat Bali masih tetap bisa hidup dengan alamnya. Harmonisasi antara manusia dan lingkungan adalah salah satu bagian dari adat. Gambaran ini bisa kita baca dalam novel mahsyur Vicky Baum berjdudul A Tale from Bali atau karya-karya A.A Pandji Tisna I Swasta, Setahun di Bedahulu dan Sukreni Gadis Bali.
Saras Dewi, dosen filsafat UI yang juga orang Bali, menggugat ego manusia terhadap alam. Melalui bukunya yang berjudul Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibirium Relasi Manusia dengan Alam, Saras Dewi menelaah hubungan ontologis manusia dengan alam secara lebih mendalam dan radikal. Ini pendekatan yang penting guna memahami alam secara substansial, yang bukan sekadar gejala kerusakaannya atau hal-hal lain yang bersifat deskriptif, statistik, maupun etis. Bali, bagi Saras Dewi, adalah rumah atau mungkin bagian dari identitas diri.
Saras Dewi menggambarkan dengan bernas relasi manusia yang pongah dengan alam di mana ia tinggal. Dalam konteks Bali, ia berusaha mengkritik industri parawisata yang berorientasi pada hedonisme perlahan telah membuat Bali menjadi rusak. Saras melakukan kritik bernas terhadap padangan antroposentrik manusia modern, yang ia anggap membuat relasi timpang antara manusia dengan alam sekitarnya. Tapi bukankah manusia selalu bergerak maju dan seringkali kemajuan itu mengakibatkan dampak buruk yang tak bisa kita tolak.
Industri pariwisata di Bali membuat Bli Penengah dan banyak manusia lainnya menemukan kembali hidup mereka yang hilang. Nasib yang lebih baik, semangat untuk menjalani hari, dan kembali melanjutkan hidup. Industri ini mungkin membawa dampak lain yang tentu membuat masyarakat Bali yang lain tidak nyaman. Kemacetan jalan, perilaku wisatawan yang tidak sopan, dan berbagai penyakit sosial yang mungkin tidak akan selesai dalam semalam.
Warga Bali adalah wujud paripurna hati yang tulus. Mereka berhak menyimpan dendam, menyimpan kebencian kepada kelompok yang telah merusak tanah mereka yang indah. Tapi ketika saya datang ke Bali, wajah ceria, senyum ramah, dan kehangatan selalu bisa kita rasakan. Tentu ada yang marah, memendam kemarahan, tapi mereka bukan yang mayoritas. Di Bali, kita bisa menemukan maaf dan rumah pada setiap hati manusianya.
Bali setelah tiga belas tahun bom mengerikan di Legian. Mereka telah bangkit, luka itu sembuh perlahan, masih menyisakan perih namun hidup masih berlanjut. Semoga Bali tidak lagi perlu menghadapi teror serupa atau teror baru bernama reklamasi.