Rabu, November 6, 2024

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dan Hukum yang Berkeadilan

Naufal Asyiri Banuarli
Naufal Asyiri Banuarli
Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin, Makassar.
- Advertisement -

Indonesia hari ini diselimuti oleh berbagai tindakan kriminal yang marak terjadi, mulai dari pencurian, pemerkosaan bahkan hingga pembunuhan. Tindakan- tindakan tersebut jelas sangatlah fatal dan harus diadili dengan cepat. Tindak kriminal tentu bersifat massive impact (berdampak luas) karena tindakan ini menganggu keselematan banyak masyarakat. Salah satu tindakan kriminal yang marak terjadi sekarang yaitu kekerasan seksual.

Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia semakin hari semakin menjadi saja, baik kekerasan seksual yang dialami orang dewasa ataupun anak- anak. Indonesia seolah telah menjadi salah satu negara yang berada pada level darurat akan tindak kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi tentu telah menciderai nilai- nilai hak asasi manusia, termasuk bagi mereka yang menjadi korban akan menganggap bahwa mereka telah dilecehkan dan didiskriminasikan. Sedangkan bagi pelaku, dengan belum disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual tentu menjadikan gerak mereka lebih bebas bertindak dan memungkinkan dirinya untuk melakukan hal yang serupa. Inilah yang akhirnya menimbulkan pertentangan khususnya desakan kepada DPR selaku pembuat kebijakan (decision maker) untuk segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual, karena ketika tidak disahkan maka dikhawatirkan akan banyak korban yang berjatuhan.

Apabila RUU ini telah disahkan, seharusnya para pelaku mendapatkan hukuman berat atas tindakannya tersebut, akan tetapi ketidakpastian pada proses penetapan RUU penghapusan kekerasan seksual menjadi tanda tanya besar hingga saat ini. Bayangkan saja, berdasarkan catatan tahunan rari Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2017, setidaknya terdapat 348.446 jumlah pelapor atas tindakan kekerasan seksual. Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada, tentu DPR tidak bisa diam begitu saja, mereka dituntut untuk mengetuk palu terkait RUU penghapusan kekerasan seksual. Dengan disahkannya RUU ini maka akan memberikan titik terang pada terselesaikannya permasalahan kekerasan seksual yang marak sekarang ini.

Kita tentu tidak lupa dengan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh pegawai honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nurul yang terjadi pada 2014 silam. Dalam kasus ini Nuril mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya yaitu dilecehkan oleh mantan atasannya sendiri. Kasus pelecehan ini tentu mendapat sorotan setelah sang pelaku juga mengadukan Nuril atas tindakan penyebarluasan informasi elektronik yang mengakibatkan dirinya harus menerima hukuman 6 bulan penjara karena melanggar undang- undang ITE Namun banyak pihak menyebut bahwa upaya yang dilakukan pelaku merupakan upaya resistensi untuk mempertahankan dirinya dari ancaman hukuman penjara. Tentu dalam kasus ini kita bisa melihat bagaimana mirisnya hukum saat ini, di mana yang menjadi korban justru dipenjarakan dan sang pelaku justru tenang- tenang saja mengingat belum disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual. Dalam kasus yang terjadi pada Baiq Nuril, kita bisa mengambil benang merah bahwa perlindungan hukum belum berpihak kepada korban dan status hukum masih belum jelas. Padahal seharusnya seorang korban pelecehan seksual mendapatkan perlindungan dan jaminan hukum, bukannya mendapatkan suatu ketidakpastian.

Melihat contoh kasus di atas, tentu yang akhirnya menimbulkan berbagai desakan kepada DPR untuk segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual agar mereka para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal atas tindakannya dan korban mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi. Sulitnya pengesahan RUU ini salah satunya diakibatkan pleh adanya regulasi terkait kekerasan seksual yang sangatlah minim yaitu hanya berpatokan pada KUHP saja. Dari sinilah maka proses pengesahan RUU ini menjadi alot dan cenderung lama prosesnya.

Masyarakat tentu tidak selamanya bungkam terkait alotnya proses penetapan RUU penghapusan kekerasan seksual, masyarakat pun perlu bersuara dan mendesak DPR untuk segera mengesahkannya. Banyaknya kasus kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia tentu sudah menjadi sebuah ancaman serius, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk memaksakan kehendak DPR untuk segera memfinalisasi RUU ini karena ketika tidak difinalisasi dikhawatirkan kasus pelecehan seksual akan terus meningkat jumlahnya.

Berbagai upaya pendekatan perlu dilakukan dengan tujuan agar proses pengesahan RUU ini menjadi lebih cepat terealisasi, maksudnya pendekatan antara stakeholder terkait dalam hal ini DPR dan LSM dan aktivis perempuan untuk sama- sama memfinalisasi RUU ini. DPR yang bertindak selaku fasilitator fasilitator seharusnya mampu mengakomodasi seluruh apa yang dikeluhkan masyarakat salah satunya yaitu dapat dilakukan dengan mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual.

Kekerasan sosial dalam perspektif hukum jelas perbuatan yang salah dan berusaha melawan ketentuan hukum, oleh karena itu wajarlah jika para pelaku tindakan ini diberikan hukuman yang berat. Kita tidak bisa membiarkan begitu saja orang yang telah melakukan tindakan kekerasan seksual bebas berkeliaran. Oleh karena itu perlu adanya ketegasan dari pihak penegak hukum dalam mengadili para pelaku. Pemberian hukuman berat tentu akan menjadi solusi atas ketakutan masyarakat akibat tindakan kekerasan seksual.

Harapan dari seluruh warga Indonesia sangat jelas yaitu segera disahkannya RUU penghapusan kekerasan sosial sebagai tonggak awal perjuangan Indonesia dalam membasmi ancaman tindakan kekerasan seksual yang marak terjadi. Selain itu harapan lainnya yaitu RUU ini mampu memberikan feedback yang adil baik bagi korban ataupun pelaku. Bagi korban yaitu diberikan jaminan perlindungan hak dan juga pemberian trauma healing paska tindakan tersebut, sedangkan bagi pelaku yaitu hukuman berat karena akan memberikan efek jera.

Untuk pihak DPR selaku pembuat kebijakan (decision maker) harapannya yaitu lebiih peka terhadap desakan- desakan yang ditujukkan oleh masyarakat. Desakan tersebut tentu berimplikasi pada upaya berbagai kalangan yang ditujukkan kepada DPR untuk segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual. DPR mau tidak mau harus segera bertindak dengan cara mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual supaya tidak terjadi lagi tindakan yang berbau kekerasan seksual.

- Advertisement -

Dengan terbebasnya negara ini dari ancaman tindakan kekerasan seksual, tentu secara tidak langsung negara ini telah berupaya untuk menciptakan harmonisasi status hukum di Indonesia. Dengan diberlakukannya RUU penghapusan kekerasan seksual tentu diharpakan menjadi sebuah produk hukum yang dapat menjamin kehidupan banyak orang sekaligus menjadi pondasi awal bagi terjaminnya hak asasi manusia (HAM) bagi seluruh warga negara Indonesia. Dengan terjaminnya hak asasi manusia maka secara tidak langsung masyarakat telah memperoleh haknya sebagai warga negara diantaranya hak untuk hidup, hak mendapatkan perlindungan hukum, dan hak mendapatkan keadilan dan juga perlindungan.

Naufal Asyiri Banuarli
Naufal Asyiri Banuarli
Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.