Sebenarnya, media sosial adalah anugerah besar bagi manusia, dalam mendidik dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara global. Bayangkan, sekarang ada tempat di mana manusia dari berbagai belahan dunia bebas untuk saling mengenal, bertukar pikiran, dan berdiskusi tanpa terhalang oleh tingkat kekayaan, bahasa, budaya, atau pun politik. Keberadaan media sosial seperti Facebook, Instagram, atau Twitter bagaikan mimpi bila kita kembali menengok ke zaman dulu.
Oleh karena media sosial adalah tempat berbaur berbagai macam pikiran, seharusnya Indonesia bisa memanfaatkannya untuk meraih salah satu nilai tertinggi di Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika dan hak merdeka untuk berpendapat. Namun sayang, pengguna media sosial Indonesia cenderung hanya mengedepankan hak untuk berpendapat tanpa mempedulikan nilai Bhinneka Tunggal Ika.
Media sosial dapat mengancam Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia dari Pancasila yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu,” bermakna bahwa walaupun beranekaragam, Indonesia tetaplah satu. Sayang, media sosial tidak jarang digunakan untuk memaki, mengejek, bahkan mengancam karena mempunyai perbedaan. Padahal, perbedaan suku, ras, agama, budaya, atau pun pandangan politik adalah hal yang akan terjadi di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia.
Tidak harus melihat berita politik atau isu kontroversial. Saat Atlit Asian Games Jonathan Christie mengunggah foto dan kutipan ayat agama melalui akun Instagram @jonathanchristieoffical (29/08/2018), terjadi perdebatan dan kebencian antaragama di kolom kometar yang berisikan 47.000 komentar lebih. Unggahan rasa syukur kemenangan Asian Games saja dapat memancing perdebatan agama.
Detik.com memberitakan ada 5.061 kasus cyber crime atau kejahatan siber yang ditangani Polri di tahun 2017 lalu, 3.325 kasus di antarannya adalah ujaran kebencian. Ujaran kebencian adalah pernyataan yang menyerang seseorang atau kelompok dengan karasteristik dasar, seperti SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Lantas, bagaimana mungkin banyak sekali konten yang mengujar kebencian berbasis SARA di media sosial?
Politik, sarang kebencian di media sosial
Menyambut Pilpres 2019, tidak heran bila keadaan politik akan semakin memanas. Media sosial cenderung bukan digunakan sebagai tempat bertukar pikiran, tetapi tempat politik dengan kampanye hitam yang identik dengan menjatuhkan lawan melalui ujaran kebencian. Sebagai referensi mengukur potensi panasnya Pilpres 2019, bisa memakai contoh Pilkada DKI Jakarta 2017.
Setelah Pilkada DKI Jakarta 2017, TheGuardian, media surat kabar Inggris, melaporkan berita mengenai unsur kesengajaan penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian di media sosial dalam pilkada DKI Jakarta 2017. Oknum penyebar konten negatif tersebut ada di dalam kedua kubu politik pemilihan tersebut, yaitu pihak pemerintah dan pihak oposisi.
Melalui artikel ‘I felt disgusted’: inside Indonesia’s fake Twitter account factories (23/07/2018), TheGuardian menyebutkan adanya keberadaan oknum “Tim Buzzer” untuk membantu menyebarkan informasi palsu seputar Basuki Tjahaja Purnama atau ‘Ahok’. “Tim Buzzer” merupakan kelompok yang bertugas memperkuat pesan dan menimbulkan “buzz” di media sosial melalui akun palsu.
Tim berjumlah 20 orang mempunyai lima akun Facebook, lima akun Twitter, dan satu akun Instagram, bahkan membuat 2.400 unggahan di Twitter setiap hari. Unggahan tersebut berisikan citra Ahok, sekaligus ujaran kebencian kepada pihak oposisi. Tim Buzzer ini digaji Rp4.000.000,00 per bulan.
Tidak hanya membahas Tim Buzzer Ahok, TheGuardian juga membahas Muslim Cyber Army (MCA) yang cenderung berpihak ke oposisi. Artikel Muslim Cyber Army: a ‘fake news’ operation designed to derail Indonesia’s leader (13/03/2018) memberitakan MCA menjadi tersangka menyebarkan informasi palsu dan ujaran kebencian di media sosial dengan isu agama dan etnis untuk membantu melengserkan Ahok pada pilkada yang sama.
MCA juga menjadi tersangka sebagai pelaku pemburuan karena melakukan persekusi kepada pendukung Ahok dengan doxxing, yaitu mencari nama dan alamat asli dengan Facebook, kemudian memperkusi pendukung Ahok secara beramai-ramai di dunia nyata.
Kasus pilkada DKI Jakarta 2017 adalah bukti bahwa informasi palsu dan ujaran kebencian sangat terorganisir di media sosial. Hal ini sangat berbahaya karena mempengaruhi masyarakat untuk membenci, bahkan membenarkan persekusi kekerasan dengan mentalitas “Us vs Them”. Inilah contoh ‘kekuatan’ media sosial dalam menyebarkan kebencian, terutama berlatarbelakang politik. Padahal, perbedaan pandangan politik adalah hal yang sangat wajar di lingkungan demokrasi.
Hal ini menimbulkan tantangan untuk menekan ujaran kebencian di media sosial. Namun, akan menjadi tantangan untuk membatasi informasi tanpa menyakiti hak ekspresi kebebasan publik untuk berbicara dan berpendapat.
Lantas, bagaimanakah cara menepis konten negatif?
Sesungguhnya, informasi di media sosial dapat dianalogikan dengan pasar, yaitu di mana ada demand (permintaan), supply (konten) akan selalu ada. Maka dari itu, jika konten informasi berkualitas dan positif menjadi lebih besar daripada konten informasi palsu dan provokasi di media sosial maka ujaran kebencian itu sendiri akan tertimbun dan dianggap aneh oleh masyarakat itu sendiri.
Menurut Edelman Trust Barometer Global Report 2018, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media sosial turun dari 75% menjadi 71%, turun 4% karena tingkat keakurasian tidak menjadi prioritas. Sedangkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama meningkat 1%, dari 67% menjadi 68%. Akan tetapi, apakah kita yakin ingin memotong potensi media sosial untuk menyatukan karena sebagian ujaran kebencian? Tentunya tidak.
Salah satu solusi memanfaatkan media sosial adalah menyebarkan media daring yang berkualitas dan bersifat mengedukasi masyarakat. Media cyber, seperti Tirto.id dapat menjadi contoh yang baik. Melalui akun instagram @tirtoid, mereka selalu mengunggah konten-konten infografis mengenai seputar isu terkini dengan data yang kredibel. Bahkan, mereka tidak ragu untuk mengunggah ulang konten jika dikritik warganet mengenai kesalahan data dalam konten.
Masyarakat publik juga mempunyai tanggung jawab tanpa bergantung pada pemerintah atau media di media sosial. Pertama, saat melihat informasi yang asing dengan persepsi Anda, berpikirlah bahwa sudut pandang orang berbeda-beda. Anda boleh tidak setuju, tapi jangan menghujat mereka yang berbeda dengan Anda. Kedua, sebarkanlah konten informasi yang berkualitas, pastikan informasi yang Anda dapat benar adanya sebelum share ke orang lain. Ingat, warganet juga manusia, sayangnya banyak yang lupa hal sesederhana ini.
Perjuangkan persatuan Indonesia melalui media sosial.
Kita Bhinneka, Kita Indonesia.