Bagi saya mengutuk tindakan kekerasan fisik tidak boleh ada embel-embelnya. Saya melihat respon di media sosial terkait kekerasan yang dialami oleh Ade Armando, Ketua Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), ketika menyampaikan keprihatinan dan kutukan terhadap tindakan kekerasan atas Ade Armando masih menggunakan anasir victimizing the victim.
Narasi yang berkembang di sosial media, kutukan tindakan kekerasan yang menimpa Ade Armando masih disertai dengan ungkapan misalnya, “mengapa dia –maksudnya Ade Armando–berada di wilayah musuh atau kandang harimau,” “tindakan kekerasan itu merupakan balasan atas tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan Ade Armando selama ini di publik yang mereka nilai kontroversial” dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini saya ingin berpendapat bahwa kekerasan fisik adalah kekerasan fisik, itu saja titik. Dan jika anda mengutuk “kutuklah” titik. Tidak ada conditional apapun untuk mentolerir sebuah tindakan kekerasan. Menambahkan embel-embel ini dan itu misalnya, “seharusnya dia tidak datang ke arena demo”, atau “dia (Ade Armando) harusnya menjauhi lokasi”, itu justru mengurangi kadar dan kualitas kutukan pada kekerasan fisik.
Dalam hal ini saya tidak berbicara pada mereka yang jelas-jelas merasa senang, merasa terbalaskan cita-cita mereka, merasa bahagia pada apa yang dialami Ade Armando, karena posisi mereka sudah nyata jelas. Di sini saya merasa bahwa mengutuk kekerasan dengan tambahan ini dan itu, atau saya sebut saja “conditional”, itu menunjukkan ambiguitas soal pemaknaan kekerasan. Atau jika boleh saya menyebutnya sebagai “pemakluman pada kekerasan secara halus.”
Setiap orang dijamin kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat tentang apapun di depan publik dan bahkan tidak hanya pendapat namun boleh melakukan kritik. Itu dijamin sebagai bagian dari kebebasan universal, atau, bagian dari hak asasi manusia itu sendiri. Di era kekebasan modern ini, ada semacam wisdom yang disepakati jika kebebasan berpendapat yang melahirkan perbedaan berpendapat itu tidak bisa dibalas dengan kekerasan.
Lalu ada yang berpendapat, bagaimana jika orang berpendapat bahwa pendapat seseorang itu dinilai oleh orang lain sebagai bentuk kekerasan verbal (ucapan)? Itu tetap tidak bisa dibalas dengan kekerasan fisik pada mereka. Hate speech saja, ujaran kebencian, itu jelas tidak boleh dibalas dengan mengeroyok pada pelaku yang mengeluarkan ujaran kebencian. Biarkan hukum atau pengadilan yang mengadilinya.
Baru-baru ini misalnya ada tragedi yang terkait dengan kekerasan fisik pada acara anugrah Piala Oscar. Kekerasan fisik yang dilakukan peraih Oscar Will Smith pada Chriss Rock. Will Smith menampar Chris Rock yang tersinggung karena Chris Rock, seorang Komika, dianggap mengkapitalisasi rambut gundul istri Smith yang sedang ternyata sakit. Will Smith tersinggung dan menampar Chris Rock.
Bagi kalangan yang tidak mengetahui wisdom bahwa kekerasan fisik apapun bentuknya harus dikecam akan mengatakan jika Will Smith menampar Chris Rock karena Chris Rock menyinggung Jada Pinkett Smith, istri Will Smith. Sebagian orang menggap wajar akan tindakan fisik Smith atas Chris Rock.
Namun ternyata benar bahwa tindakan kekerasan adalah tindakan kekerasan itu sendiri. Tidak ada excuse lain untuk memakluminya. Akhirnya, Will Smith mendapat hukuman selama 10 tahun untuk tidak datang ke acara penganugrahan Oscar. Selain itu, Will Smith akan tetap tetap menjalani proses hukum atas tindakanya pada Chros Smith.
Ilustrasi lain yang ingin saya kemukakan di sini berkaitan dengan “mengutuk kekerasan fisik dengan embel-embel” adalah soal kekerasan pada perempuan. Ketika kita mendengar perempuan di perkosa, banyak kalangan yang menyatakan prihatin dan mengutuk tindakan kekerasan tersebut. Namun cara mengutuknya masih pakai embel-embel. Masih mengandung unsur victimizing the victim!
Narasi umum soal ambiguitas para pengecam kekerasan dengan embel-embel misalnya bisa dilihat tindakan mengecam tindakan perkosaan pada perempuan pada satu sisi, namun pada di sisi lainnya, ada logika yang beroperasi bahwa agar kekerasan dan perkosaan pada perempuan, maka perempuan harus menutup auratnya dan tidak seronok di depan publik. Ini adalah cara pengungkapan keprihatinan dan kutukan pada kekerasan yang mengorbankan korban.
Kalangan yang suka menggunakan embel-embel ini biasanya mengatakan akar masalah kekerasan pada perempuan sebenarnya bukan pada pelaku kekerasan namun pada perempuannya sendiri. Kalangan ini menjustifikasinya dengan teori kasualitas. Karena perempuan tidak menutupi auratnya maka itu bisa mengundang kejahatan dan kekerasan dari laki-laki. Jika mereka tidak mau menjadi korban kekerasan, perkosaan dlsb, maka mereka harus jaga aurat. Tutup aurat mereka. Jelas ini logika yang salah. Kenapa yang disalahkan perempuannya dan bukan pelaku pemerkosaan atau tindakan kekerasan pada perempuan. Bukankah dalam diri perempuan ada kebebasan untuk berpakaian sesuai dengan keinginan mereka.
Saya melihat logika semacam ini sebagian dipakai untuk melihat kasus kekerasan yang menimpa Ade Armando. Mereka tidak fokus pada pelaku kejatahan kekerasannya, namun pada embel-embel lainnya. Bahkan bagi mereka ada kecenderungan menyalahkan korban atau Ade Armando. Bukankah Ade Armando secara pribadi memiliki hak untuk hadir dan mengikuti demonstrasi apalagi demonstrasi itu menyuarakan penolakan presiden tiga periode sebagaimana yang selama Ade Armando terus gencarkan.
Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain karena alasan beda keyakinan itu jelas-jelas tidak diperbolehkan apalagi pada sesama agama oleh semua agama. Karena itu, di dalam Islam misalnya, orang membunuh orang lain dengan alasan orang lain itu memiliki agama yang berbeda itu termasuk dari bagian dosa besar.
Saya memiliki berpendapar jika anggapan dan analisis yang menyatakan bahw Ade Armando itu salah datang ke acara demonstrasi itu adalah anggapan dan analisis yang tidak tepat. Bahkan dari kacamata hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap inividu anggapan dan analisis seperti itu merupakan bagian dari pemakluman pada tindakan kekerasan yang terselubung.
Dalam memahami kekerasan fisik unsur kasualitas harus dihilangkan seperti ada asap ada api. Cara ini jelas tidak benar dalam memahami kekerasan fisik. Tindak kekerasan tidak boleh terjadi pada siapapun dengan alasan apapun. Siapapun yang mendapat tindakan kekerasan fisik harus mendapatkan pembelaan. Siapapun yang melakukan tindak kekerasan fisik harus dikecam dan dikutuk karena tindakan yang dilakukannya.
Sebagai catatan,melakukan pengutukan atas tindakan kekerasan dengan embel-embel ini dan itu tidak diperlukan. Kutuklah tindakan kekerasan itu dengan tanpa syarat. Kekerasan adalah kekerasan itu sendiri.