Jika memang benar Menteri Agama baru, Gus Yaqut, akan melakukan tindakan afirmasi terhadap warga Indonesia yang memiliki keyakinan lain, dalam konteks yang ramai dibicarakan, Ahmadiyah dan Syiah, maka tidak selayaknya bagi kita, warga negara Indonesia untuk menolaknya. Bahkan sebagai warga negara Indonesia, kita harus bersikap sebaliknya: yakni harus mendukungnya. Justru kalau kita menolak afirmasi tersebut, maka tidak wajar bagi kita untuk menolak hak-hak warga negara lain.
Kebijakan afirmasi itu, meskipun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai isu sensitif dan kontroversial, namun memiliki pijakan konstitusi yang kuat. Sayang sekali, pihak MUI, yang disuarakan oleh Anwar Abbas, justru dengan lantang cenderung menolaknya. Tidak hanya MUI, pihak NU, yang disuarakan oleh pengurus NU Jawa Timur juga merasa agak keberatan. Namun, pihak PBNU belum ada pernyataan resmi. Afirmasi dilakukan karena selama ini warga Indonesia berkeyakinan Ahmadiyah dan Syiah tertinggal dalam menerima kesetaraan negara.
Saya pikir, persoalan afirmasi bagi warga Indonesia yang Ahmadiyah dan Syiah ini akan menjadi tantangan serius bagi Gus Yaqut dalam menjalankan Kementerian. Dan jika, saya boleh usul, maka seharusnya tidak hanya sebatas pada Ahmadiyah dan Syiah, namun kepada seluruh warga Indonesia yang selama ini mengalami tindakan diskriminasi karena keyakinan yang mereka miliki. Ahmadiyah dan Syiah akan didahulukan, mungkin, karena kedua kelompok warga negara ini, yang mengalami tingkat persekusi serius di dalam sejarah negara kita yang mendaku pluralis dan menganut sistem kewargaan demokratis.
Di Jawa Barat, Jakarta, NTB, dan tempat-tempat lain, warga Indonesia yang berkeyakinan Ahmadiyah banyak kehilangan tidak hanya hak melaksanakan keyakinannya namun juga kekayaan mereka. Demikian juga dengan warga Syiah di Jawa Timur dan khususnya di Madura, warga Syiah diusir dari tanah kelahirannya. Apakah tindakan seperti ini dibenarkan dalam konteks sistem kewarganegaraan Indonesia? Jawabnya, sudah barang tentu tidak, namun itu terjadi nyata di lapangan, di kehidupan kita sehari-hari.
Fatwa MUI tentang ekslusi kelompok Ahmadiyah sebenarnya sudah lama keluar, sekitaran tahun 1981, bahkan MUI masih dipimpin oleh Buya Hamka, yang sangat dikenal sebagai ulama reformsi. Fatwa MUI tentang Syiah juga terjadi pada tahun 1984an. Waktu itu, Syiah tidak diekslusi dari Islam, namun warga Indonesia perlu hati-hati. Syiah belum dikatakan sesat, namun warga negara Indonesia, diminta untuk berhati-hati pada kelompok ini.
Sejak 2005, MUI kembali menegaskan Ahmadiyah sesat berdasarkan fatwa tahun 1981 dan pada tahun yang sama terjadi penyerbuan masjid Ahmadiyah di Parung, Jawa Barat, oleh kelompok Muslim mayoritas. Dan sampai kini, pandangan MUI atas Ahmadiyah dan Syiah menjadi pandangan yang lumayan terkenal di kalangan umat Islam. Bahkan tidak hanya di kalangan umat Islam, namun juga di kalangan aparat negara (state apparatus).
Sebenarnya, Indonesia sudah sering diingatkan oleh pelbagai kelompok internasional, terutama pemerhati dan pengawas HAM dan demokrasi, bahwa apa yang menimpa warga Indonesia yang Ahmadiyah dan syiah itu tidak selayaknya mereka terima sebagai warga negara Indonesia. Bahkan mereka menilai tindakan diskriminatif atas warga Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia jauh sekali dari klaim Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dalam hal berdemokrasi.
Karenanya, ketika Gus Yaqut menyatakan bahwa sebagai Menag beliau akan melakukan sesuatu yang bermakna bagi warga Ahmadiyah dan Syiah adalah suatu hal yang patut dan layak kita dukung. Kita tahu bahwa Gus Yaqut akan mendapatkan perlawanan dan serangan dari pelbagai kalangan, bahkan dari kalangan “kawan sendiri” namun itu sebenarnya hal yang paling benar yang harus dilakukan oleh pejabat publik seperti Gus Yaqut.
Saya sadar bahwa MUI akan menolak ini, karena mungkin MUI akan merasa “dipermalukan” dengan kebijakan ini, karena berarti melawan fatwa MUI. Tapi, apalagi hal penting lagi yang harus dilakukan oleh MUI kecuali memberikan sikap netral terhadap kelompok minoriitas.
Jika MUI sebagai misal tidak mau menerima kebijakan Gus Yaqut akan persoalan Ahmadiyah dan Syiah, lalu apa gunanya dan maknanya MUI mengatakan sebagai organisasi Islam yang wasatiyyah? Jika NU misalnya merasa keberatan, untuk apa masalah ini diberatkan? Tidakkan NU dalam salah satu keputusan pentingnya menyatakan jika di dalam konteks kewarganegaraan Indonesia, istilah kafir tidak layak untuk digunakan?
Hal ini semua sebenarnya yang menjadi alasan mengapa rencana Gus Yaqut perlu mendapat dukungan. Katakanlah jika MUI merasa disentil dengan kebijakan ini, maka belum terlambat bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa yang mendukung tindakan afirmasi atas warga Ahmadiyah dan Syiah. Mungkin MUI perlu menyatakan jika terlepas dari keyakinan warga Ahmadiyah dan Syiah, namun sebagai warga negara Indonesia, mereka semua ini layak diperlakukan sepenuhnya sebagai warga negara. MUI tidak harus merevisi pandangan teologisnya, namun cukup dengan menyatakan bahwa warga Ahmadiyah dan Syiah adalah warga negara Indonesia yang utuh, tidak layak diperlakukan berbeda.
Jika yang keberatan itu FPI, MMI, FUI, Hizbut Tahrir dan lain sebagainya, itu sesuatu hal yang wajar, namun bagi MUI, NU maupun Muhammadiyah, sudah selayaknya membuat posisi baru soal Ahmadiyah dan Syiah. Biarkan FPI, MMI dan organisasi lain tidak mau menerima rencana Gus Yaqut. Biarkan saja mereka bersikap demikian. Selama hal itu masih menjadi pendapat maka itu hal yang wajar dalam negara demokrasi. Namun ketika FPI, MMI, FUI dan elemen-elemen organisasi militan lainnya sudah mengarahkan ketidaksetujuannya melalui tindakan kekerasan, maka hal itu tidak bisa ditolerir lagi. Tindakan mereka harus ditangani dengan hukum yang ada di Indonesia.
Sebagai catatan, selayaknya semua pejabat negara memang menempatkan posisi mewakili negara dalam konteks Ahmadiyah dan Syiah. Sebagai wakil negara, hak-hak keawargaan mereka harus setara dengan hak-hak warga negara kaum Muslim mayoritas. Negara menjamin keyakinan dan melayani kebutuhan keyakinan mereka.