Senin, April 29, 2024

Simalakama Soal Usulan Pengontrolan Rumah Ibadah

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) kembali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Lembaga ini mengusulkan agar masjid dikontrol oleh pemerintah. Rycko Amelza Dahniel (Ketua BNPT) ingin meniru model Malaysia, Singapura, beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika agar masjid bersih dari radikalisme dan terorisme.

Di negara-negara ini memang kontrol terhadap rumah ibadah sangat kuat tapi bukan karena persoalan radikalisme dan ekstremisme, namun kebijakan ini memang sudah lama ada. Di negara-negara ini masih ada semacam undang-undang untuk keamanan dalam negeri. Di Turki, Recep Erdogan juga melakukan kontrol terhadap materi khutbah Jumat melalui Dinas Agama mereka (Diyanet). Malaysia juga melakukan penyaringan atas materi khutbah di masjid-masjid mereka.

Lalu apakah dengan demikian, karena contoh yang ditiru ada dan mereka juga majority Muslim country, lalu kita menjadi mereka untuk ditiru?

Namun usulan BNPT ini tidak menerima pujian, namun malah mengundang kritisisme dan bahkan penolakan dari pelbagai kalangan. Imam Masjid Besar Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar jelas menolak usulan dengan menyatakan bahwa pemerintah tak perlu mengontrol masjid-masjid. Dia katakan, Indonesia, negara kita, tidak berada dalam kondisi darurat, jadi intervensi pemerintah untuk mengontrol masjid-masjid malah menimbulkan persoalan baru di kalangan masyarakat.

Saya secara pribadi setuju dengan tanggapan Prof. Nasaruddin Umar karena keadaan Indonesia sudah jauh sangat membaik terutama dari gangguan ekstremisme keagamaan. Pihak Densus 88 misalnya sudah melakukan pekerjaan mereka secara efektif dan membuahkan hasil yang membanggakan.

Karena mendapat tanggapan kritis dan penolakan, maka BNPT melakukan klarifikasi, namun klarifikasi bukan pada peniadaan atau pembatalan kontrol, namun kontrol itu tetap diperlukan namun bukan pemerintah yang melakukannya, ini yang dinyatakan. Menurut Ketua BNPT, masyarakatlah nanti yang melakukan mekanisme kontrol. Artinya, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat atau tokoh masyarakat yang mengelola masjid. Namun jika ini yang terjadi, justru ada kesan pemerintah memanfaatkan dan menekan masyarakat.

Kita menyadari bahwa menjelang pemilu masjid dan sarana ibadah akan rentan terhadap penggunaannya sebagai tempat mengeluarkan ujaran kebencian, narasi-narasi yang mengancam dengan menggunakan agama, dan lain sebagainya.

Bercermin dari dua pemilu terakhir (2014 dan 2023) pembelahan masyarakat memang benar-benar terjadi dan salah satunya dikarenakan narasi-narasi kebencian dan penonjolan identitas yang dibalut dengan agama dan dikeluarkan lewat ruang-runag agama. Dari sini kita bisa paham mengapa ketua BNPT memberikan usulan agar itu jangan terjadi nanti. BNPT memang memiliki mandate untuk melakukan prevensi atas hal-hal yang terkait dengan ekstremisme, radikalisme dan terorisme.

Pertimbangan yang mungkin mereka gunakan untuk sampai usulan yang seperti itu adalah pertimbangan keamanan (security).

Namun, apakah karena pertimbangan-pertimbangan tersebut, lalu kita harus membuat aturan untuk mengontrol aktivitas di rumah ibadah di seluruh Indonesia?

Saya menjawab kontrol atas aktivitas rumah ibadah tidak perlu dilakukan. Kontrol akan banyak menggunakan sumber daya orang dan uang untuk melakukan kontrol pada rumah ibadah itu yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu yang tersebar di seluruh plosok Indonesia.

Dalam perspektif demokrasi, mengontrol aktivitas keagamaan di rumah ibadah rentan pada apa yang disebut dengan istilah restriksi negara pada kebebasan beragama. Sebagai negara yang mengikuti sistem demokrasi, kekebasan beragama, termasuk kegiatan-kegiatan seluruh umat agama, harus mendapatkan ruang yang bebas.

Bahkan, bukan hanya pada mereka yang beragama, namun juga pada mereka yang tidak meyakini agama. Baik yang beragama maupun yang tidak beragama, semua tidak boleh mendapatkan restriksi dari negara karena prinsip kebebasan beragama ini memandang jika negara itu tempat hidup untuk semua warga negara apapun bentuk keyakinan mereka. Istilah mengontrol ini sangat rawan dengan kekebasan beragama itu sendiri.

Bagaimana jika rumah ibadah yang dibiarkan tidak terkontrol terutama dalam masa-masa kontestasi Pemilu itu malah akan menyebabkan polarisasi terjadi?

Saya berpandangan bahwa pencegahan agar polarisasi apalagi konflik tidak terjadi itu tetap harus dilakukan, namun mungkin tidak dengan cara melakukan kontrol atas aktivitas keagamaan rumah ibadah.

Jika bisa, pemerintah melakukan dialog persuasif dengan pengelola-pengelola rumah ibadah untuk mencari jalan terbaik jika rumah ibadah mereka masih tetap saja digunakan sebagai tempat penyemaian hate speech, pembibitan esktremisme dlsb. Untuk hal-hal yang menyangkut tindakan terorisme dan juga kriminal lainnya serta ujaran kebencian itu bisa dilaksanakan lewat mekanisme biasa saja.

Jika pemerintah campur tangan masalah itu terlalu dalam dan bahkan langsung maka itu akan muncul kesan bahwa pemerintah melakukan campur tangan untuk hal seharusnya tidak dicampurinya. Ujungnya, pemerintah bisa dituduh telah melakukan kriminalisasi rumah ibadah, meskipun sejatinya adalah bukan itu tujuannya. Namun kesan kriminalisasi bisa dimainkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana narasi seperti itu pernah muncul pada masa pemilu lalu.

Jika implikasinya bisa sejauh itu, apalagi kita sudah memiliki preseden pada masa-masa yang berlalu, maka campur tangan pemerintah apapun bentuknya itu lebih banyak menimbulkan madarat daripada manfaat. Madarat bagi citra pemerintah di mata rakyatnya dan madarat di mata dunia internasional karena campur tangan berupa kontrol pada aktivitas rumah ibadah.

Saya berpandangan jika sebaiknya pemerintah memberikan kepercayaan pada para pengurus rumah ibadah untuk mengelola aktivitas keagamaan mereka. Bagaimana mereka merektrut narasumber, penceramah, dan lain sebagainya. Toh, mayoritas rumah ibadah itu bukan miliki pemerintah, karenanya tidak dipandang adil dan bijak jika pemerintah melakukan kontrol atas mereka.

Pemerintah sebaiknya memperlakukan rumah ibadah dan segala macam aktivitas yang dilakukan di dalamnya sebagai bentuk otonomi dan bagian kebebasan agama. Sebagai bagian dari kebebasan agama yang harus dihormati karena kebebasan beragama dan berkeyakinan masuk dalam kategori non-derogable rights, apapun keadaannya kebebasan ini tidak bisa dikurangi.

Menurut Pasal 281, Ayat 1, UUD 1945, non-derogable rights itu terdiri dari (1) Hak untuk hidup; (2) Hak untuk tidak disiksa; (3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; (4) Hak beragama; (5) Hak untuk tidak diperbudak; (6) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan (7) hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Sebagai catatan segala bentuk kontrol dan campur tangan pemerintah pada hal-hal yang tidak menjadi domainnya –kewajibannya—seharusnya dihindarkan oleh pemerintah. Dampak yang diakibatkan itu lebih buruh dari manfaatnya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.