Senin, April 29, 2024

Siapa Calon Presiden Kita yang Peduli Darurat Kekerasan Seksual pada Anak?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Tahun ini adalah tahun politik nasional. Segala hal diarahkan pada politik dan pemilu, sementara isu anak untuk sampai saat ini belum ada yang menyuarakan, padahal kita dalam kondisi darurat anak.

Baru-baru ini kejadian pencabulan dan pemerkosaan pada anak berumur 16 tahun yang dilakukan oleh sebelas orang di sebuah daerah di provinsi Sulawesi Tengah. Ini hal yang sungguh menyedihkan bagi kita semua. Sebelas orang yang melakukan tindak kekerasan seksual pada anak ini terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, pengangguran, termasuk seorang anggota Brimob.

Jika melihat kejadian itu betapa rentannya anak-anak perempuan kita dari ancaman para pemerkosa. Bahkan di sana melibatkan orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.

Kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya sudah dinyatakan lama terutama oleh pihak Kementerian Perberdayaan Perempuan dan Anak dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, namun tindakan untuk melakukan dan mengatasinya belum terlalu jelas. Paling tidak pembicaraan masalah sebagai “kegentingan” nasional. Mereka yang berbicara masalah kekerasan seksuak

Pada Januari 2022 lalu, KPPA mengatakan jika kita, Indonesia, berada dalam situasi darurat tindakan kekerasan seksual pada anak. Pada Januari 2022, kekerasan seksual pada anak mencapai pada angka 9.588, di mana angka ini lebih tinggi 4,162 dari tahun sebelumnya.

Mungkin, kekerasan seksual pada anak perempuan bukan hal yang menarik mungkin bagi para politisi dan pemimpin kita untuk dijadikan “public discussion” menjelang Pemilu 2024. Saya melihat tidak satu pun kandidat presiden kita, sebagai misalnya, membicarakan masalah kekerasan seksual pada perempuan dan secara serius membawa permasalahan ini ke permukaan sebagai bahan utama diskusi publik mereka.

Saya tidak tahu persis mengapa terjadi hal yang demikian, namun hal yang paling gampang untuk menduga adalah memang mereka belum concern bahwa isu kekerasan seksual pada anak perempuan sebagai hal yang penting dalam urusan politik di negeri ini.

Padahal, kita semua tahu bahwa anak adalah masa depan kita semua. Jika anak terutama anak perempuan kita mengalami permasalahan berat dan traumatik dan sering tidak tertangani secara serius oleh mereka yang memiliki otoritas maka itu akan berdampak mentalitas anak kita sebagai penerus masa depan negara kita.

Sudah barang tentu, mereka yang menanggung beban berat bukan hanya anak yang mengalami tindakan kekerasan seksual secara langsung, namun juga anak-anak perempuan lain yang menyaksikan dan mendengar lewat media.

Di mana-mana, terutama di negara maju, perhatian terhadap well-being anak terutama anak perempuan yang rentan dari tindak kekerasan seksual itu menjadi salah satu perhatian utama dari politisi mereka.

Para politisi di Amerika, Canada, Belanda, Jerman, Jepang, negara-negara Eropa dan negara-negara maju lainnya mengangap bahwa isu anak terutama yang terkait dengan sexual violence pada mereka selalu menjadi bahan perbicangan dalam kampanye-kampanye politik mereka. Mengapa demikian? Karena tadi, wellbeing anak secara keseluruhan dan anak perempuan secara khusus itu membutuhkan tindakan nyata dan dukungan dari pelbagai pihak, negara, non-negara dan masyarakat internasional.

Bahkan jika bicara proteksi anak, maka apapun latar belakang politik mereka, maka mereka berada dalam barisan pendukung anak. Anak-anak dan hak-hak dasar mereka adalah hak universal.

Terus terang saya ingin katakan di sini bahwa para politisi utama kita baik mereka yang berada di DPR, partai politik, pemerintahan, belum banyak yang menanggapi persoalan sexual violence atau harassment yang menimpa pada anak-anak perempuan kita. Saya tidak tahu mengapa itu terjadi, apakah isu semacam ini tidak terlalu penting atau karena soal anak mungkin tidak mampu meningkatkan elektabilitas mereka?

Saya juga belum mendengar secara persis bagaimana para calon presiden kita pada Pemilu 2024 nanti yang sudah memulai bicara tentang sexual violence pada anak-anak perempuan. Padahal peristiwanya terjadi semakin inten dan sampai saat ini berita terkait masalah ini terus ada di media kita.

Jika pembicaraan tentang sexual violence pada anak perempuan tidak mampu menaikkan elektabilitas maka bicarakan perkara mereka dengan tujuan lain, yakni komitmen pada penjagaan masa depan mereka, negeri kita dan kemanusiaan kita ke depan.

Bagi para politisi masalah ini mungkin klise, tapi pada siapa pembicaraan masalah anak ini kita serahkan? Saya kira mereka, politisi dan para pemimpin politik adalah pihak yang paling strategis untuk mengambil isu sexual violence dan harassment pada anak perempuan. Mereka, pemimpin dan politisi, memiliki keistimewaan dengan kedudukan mereka untuk menangani hal ini. Pendek kata, mereka memiliki banyak kemampuan untuk terlibat dan menyelesaikan masalah yang memang sudah masuk dalam kategori akut atau darurat.

Kita tahu bahwa pihak-pihak lain, tidak hanya pemimpin negara dan politisi, seperti orang tua, lingkungan masyarakat, ormas dan lain sebagainya, juga memiliki peran yang strategis untuk menghilangkan tindak pencabulan dan pelecehan pada anak perempuan. Keterlibatan dan letak strategis mereka sudah menjadi rumus umum, namun apakah selama ini mereka ini sudah turut serta dalam arus penyelesaian masalah ini ataukah justru mereka menjadi bagian yang menghambat?

Jika kita semua tidak menangani masalah kekerasan seksual pada anak perempuan ini sebagai keprihatinan kita semua atau kita tidak mampu menyuarakannya pada para pimpinan kita, maka kita pasti akan menjadi negara yang tertinggal.

Masalah ini sudah menjadi perhatian dunia. Lembaga seperti PBB, LSM-LSM internasional, sudah lama menjadikan masalah kekerasan seksual pada anak perempuan sebagai agenda mereka. Konvensi-konvensi tentang masalah ini sudah mereka sepekati. Mereka juga mendorong semua negara untuk aktif melakukan pemberantasan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual pada anak perempuan.

Secara nasional kita juga sudah memiliki UU PPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), namun mestinya kita tidak cukup pada titik ini. Memiliki UU namun tidak menegakkannya adalah hal yang paling lemah bagi kita.

Sebagai catatan masalah darurat kekerasan seksual pada anak perempuan adalah sangat penting. Seharusnya masalah ini menjadi pembicaraan para pemimpin politik kita sebagai keprihatinan bersama mereka. Kita menunggu para calon pimpinan kita menyentuh dan menjadikan masalah ini sebagai agenda politik mereka.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.