Saya membaca media online yang memberitakan bagaimana Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah wajibkan seluruh ASN di provinsi ini untuk bisa baca al-Qur’an. Bahkan, tidak tanggung, Gubernur turun sendiri melakukan test baca al-Qur’an ini. Bagi ASN yang belum bisa membaca al-Qur’an, mereka diwajibkan untuk ikut kelas membaca al-Qur’an.
Pada tahun 2017, Zumi Zola, Gubernur Jambi juga pernah secara eksplisit membuat kebijakan agar ASN di wilayah dia meningkat iman dan ketakwaan melalui pembacaan al-Qur’an. Kegiatan belajar membaca al-Qur’an itu hal yang baik untuk mental mereka dalam menjaga kesinambungan pembangunan. Tapi sayang, program ini kayaknya terhenti karena Zumi Zola tertangkap KPK.
Hal yang hampir mirip dengan ini dulu pernah dilakukan oleh Bupati Rohul, pada tahun 2013, yang mewajibkan ASN di kabupaten dia melakukan shalat jama’ah. Atas ini, Mendagri, Gamawan Fauzi meminta Pejabat Gubernur Riau, Djohermansyah Djohan untuk menegur si Bupati tersebut. Pendek kata, hal seperti itu tidak boleh dilakukan oleh Bupati pada anak buahnya.
Dari contoh di atas, maksud mereka mungkin baik, namun banyak yang mempertanyakan setiap kebijakan yang seperti ini. Misalnya, apakah sebagai pejabat publik, apakah mereka diperbolehkan untuk membuat kebijakan yang memiliki titik tekan pada adopsi unsur keagamaan tertentu.
Sudah barang tentu, soal kasus keharusan membaca al-Qur’an bagi ASN ini, mendapat respon dari mereka yang non-Muslim; apakah seorang Gubernur dan Bupati atau pejabat lainnya yang mereka beragama non-Islam diperbolehkan untuk membuat kebijakan sejenis. Katakanlah, dalam konteks provinsi yang mayoritas ASN-nya memeluk non-Islam, apakah pemimpin ditolerir untuk mewajibkan ASN mereka membaca kitab suci mereka?
Pertama-tama, pemikiran yang harus kita angkat adalah bahwa mereka ini merupakan pejabat publik. Artinya, mereka ini baik gubernur, bupati, walikota dan ASN adalah pelayan publik. Publik di sini adalah rakyat kebanyakan. Kini, di wilayah Indonesia, ASN memiliki keyakinan dan agama yang berbeda, menyebar di suluruh daerah. Meskipun di wilayah provinsi mungkin ada penduduk mayoritas agama tertentu, namun pasti ASN memiliki agama dan keyakinan yang berbeda-beda.
Dari sini saja, ketika seorang pemimpin daerah mengharuskan ASN mereka membaca kitab suci mereka dalam rutinitas kerja mereka pasti itu merupakan wujud kebijakan yang tidak mengenal kepekaan. Katakanlah, bagaimana dengan perasaan ASN non-Muslim, dalam konteks Bengkulu, melihat teman ASN Muslim mereka diwajibkan baca al-Qur’an. Atau di balik, bagaimana perasaan ASN Muslim terhadap ASN non-Muslim soal kebijakan seperti ini.
Kita semua tahu bahwa kebijakan seperti ini tidak akan diterapkan bagi non-Muslim. Perkara yang saya ajukan, masalah ini, namun bagaimana sebuah kebijakan berbasis keagamaan tertentu untuk ruang kerja publik.
Karenanya, saya setuju apa yang dulu pernah dilakukan oleh Gamawan Fauzi ketika masih menjadi Mendagri memberikan teguran pada seorang bupati yang mewajibkan jama’ah pada ASN mereka.
Saya tidak tahu persis apakah teguran yang sama sekarang ini sudah diberikan oleh Kemendagri atas persoalan kewajiban membaca al-Qur’an ini untuk Gubernur Bengkulu.
Peningkatan kapasitas literasi seseorang atas kitab suci mereka sudah barang tentu merupakan hal baik bagi kehidupan keagamaan mereka. Namun perlu diketahui bahwa itu bukan kewajiban seorang ASN atau kewajiban pemimpin daerah atas ASN mereka. Jika ada kegiatan seperti ini, maka ASN diberi kesempatan untuk mengikuti, namun tidak menjadi wajib.
Jika seseorang ASN yang karena tidak bisa membaca al-Qur’an, lalu mereka didiwajibkan untuk ikut kursus membaca al-Qur’an atas nama posisi mereka sebagai ASN, bagaimana hal seperti itu bisa diterima? Bukankah itu bukan menjadi bagian dari tugas ASN. Belum lagi kalau kegiatan kursus atau pendidikan itu memakan biaya, bagaimana pemerintah daerah bisa mengaggarkan kegiatan seperti itu? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan lagi.
Mungkin si pembuat kebijakan itu akan berargumen bahwa kewajiban membaca al-Qur’an, shalat berjamaah dlsb, itu dibuat agar itu membentuk pribadi ASN yang soleh dan solehah dan itu berdampak pada peningkatan kinerja mereka?
Kalau tujuannya itu, kenapa tidak menciptakan kegiatan yang langsung bisa meningkatkan profesionalitas ASN, kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tugas-tugas profesional ASN itu sendiri?
Hal ini menjadi teringat pada pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang menyatakan bahwa ASN yang bekerja di bawah kantornya memiliki profesionalitas yang rendah. Bahkan Menteri Agama menyebut angka, setelah mereka melakukan semacam survei atau test profesionalitas, 100 ribu ASN Kemenag tidak profesional. Artinya, jika tidak profesional maka mereka sebenarnya tidak layak bekerja.
Maksud saya, kenapa hal yang dilakukan oleh Gus Men ini tidak ditiru untuk meningkatkan kecakapan ASN agar mereka bisa bekerja dengan berhasil oleh pemimpin-pemimpin daerah. Jalan ini baik untuk menetapkan kegiatan yang bisa terukur bagi ASN untuk perbaikan mereka.
Sebagai ASN, karena mereka itu pelayan publik, maka hal harus dan wajib bagi mereka adalah mereka bisa memberikan pelayanan publik. Misalnya, bagaimana mereka menyediakan layanan-layanan masyarakat yang harus mereka lakukan. Mereka bisa menerima keluhan dan protes masyarakat atas kekurangan layanan mereka dengan baik. Bagaimana mereka bukan menjadi bos masyarakat dan masih banyak lagi.
Dalam bahasa sosiologis, bagaimana ASN itu meningkat kapasitas mereka mereka dalam hal “kesalehan sosial.” Kesalehan sosial ini bisa mewujud kalau mereka profesional melayani masyarakat. Profesionalitas itu bisa meningkat jika mereka memiliki kemampuan keterampilan (skill dan soft skill) yang bagus pula. Jadi, dalam konteks sekarang, seorang pemimpin harus membuat kebijakan-kebijakan yang bisa diukur.
Kembali lagi, soal keharusan bisa membaca al-Qur’an, kewajiban untuk berjamaah, dan lainnya, itu diletakkan pada individu ASN masing-masing. Biarlah itu menjadi urusan pribadi mereka di tengah-tengah kehidupan mereka di dalam masyarakat, bukan menjadi urusan kantor provinsi, kabupaten dan kota.
Jika mereka tidak lancar baca al-Qur’an namun mereka bisa bekerja dengan baik dan sangat profesional, maka jika dia mau meningkatkan kapasitas baca al-Qur’an mereka, maka biarlah mereka yang berusaha sendiri.
Sebagai catatan, seorang ASN itu diukur bukan pada apakah dia bisa membaca al-Qur’an atau menghadiri shalat jamaah, namun pada bagaimana mereka bisa menjalan tugas pelayanan ASN itu dengan sukses dan baik.