Ketika mendengar semboyan HRS untuk memperjuangkan revolusi akhlak setelah kepulangannya ke tanah air, secara pribadi sebenarnya saya cukup optimistik untuk mendengarnya. Berarti akan ada perubahan besar dari apa yang selama ini diperjuangkan oleh Rizieq Shihab.
Dugaan saya, perjuangan yang akan dilakukan akan lebih bergerak pada gerakan moral dan etis. Mereka, HRS dan FPI, tidak lagi melakukan perjuangan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan cara-cara kekerasan, namun dengan cara-cara yang damai (peaceful). Termasuk di dalam cara damai ini adalah soal mengkomunikasikan revolusi akhlak dengan bahasa yang baik, tidak agitatif, tidak mengandung kebencian dan tidak menyimpan ancaman kekerasan. Hal ini disebabkan karena akhlak adalah sesuatu yang dipuji dan terpuji baik dari segi sikap, tindakan dan ucapan.
Namun, saya lupa jika makna yang terkandung dalam istilah akhlak tidak melulu berkaitan dengan hal-hal yang baik. Di dalam akhlak juga ada kemungkinan tindakan yang tidak terpuji. Jadi, akhlak itu perbuatan baik yang menyimpan kebaikan maupun yang menyimpan keburukan. Karena itu, saya sebenarnya terlalu cepat optimis Ketika mendengar dentuman revolusi akhlak dari HRS, tanpa memeriksa lagi makna akhlak dalam literatur-literatur keislaman.
Jika kita sudah tahu dari awal bahwa akhlak itu tidak selalu bermuatan kebaikan saja, namun juga keburukan, maka ketika HRS menyuarakan ancaman terhadap negara yang dianggapnya kurang adil dengan ancaman penghilangan nyawa, maka kita akan menerimanya biasa saja.
Kita juga akan tidak merasa kaget jika revolusi akhlak digunakan untuk mengolok-olok revolusi yang lain, katakanlah revolusi mental. Kita juga tidak akan kaget, jika kita melihat konsentrasi masa dalam era pandemi yang terlalu berlebihan. Dan kita juga tidak akan heran jika pada masa-masa yang akan datang, dengan atas nama dakwah atau kepentingan umat Islam, akan ada terus gangguan-gangguan ketertiban sosial (social order).
Tidak hanya saya yang terlanjur optimis dalam menyambut revolusi akhlak, namun mungkin juga kebanyakan dari kita karena kealpaan kita pada pengertian akhlak. Secara umum, di dalam literatur keislaman, akhlak terpagi ke dalam empat bagian besar.
Pertama akhlak terpuji, dalam bahasa Arab disebut dengan istilah mahmudah. Terpuji artinya diridhoi dan disenangi. Akhlak Rasulullah adalah akhlak mahmudah. Kedua, akhlak baik, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai akhlak hasanah. Ya, makna hasanah adalah kebaikan. Akhlak hasanah dengan demikian adalah segala bentuk akhlak yang berkaitan dengan kebaikan. Saya kira, makna kebaikan sudah kita ketahui semua.
Ketiga, akhlak yang tercela. Di dalam bahasa Arab, akhlak tercela adalah akhlaq madzmumah. Makna tercela itu banyak antara lain cacat, tidak sempurna, aib, noda, patut dikecam, patut dicela dan masih banyak lagi. Keempat, akhlak buruk. Hal ini sesuai dengan makna sayyi’ah di dalam bahasa Arab. Akhlak sayyiah itu berlawanan akhlak hasanah atau akhlak baik.
Jika kita Kembali kepada empat pembagian akhlak di atas, maka pernyataan Revolusi Akhlak tidak bisa titik di sini, namun harus dilanjutkan. Revolusi Akhlak yang jenis maka yang akan diperjuangkan oleh HRS dan kawan-kawan FPI serta para pendukungnya. Jika yang dipilih adalah akhlak terpuji dan akhlak baik, maka pilihan tersebut harus terwujud dalam bentuk tindakan dan perilaku mereka yang harus selalu berkaitan dengan kebaikan dan keterpujian.
Definisi kebaikan dan keterpujian sudah sangat jelas oleh nalar sehat kita sehari-hari. Membenci pihak lain, mengancam nyawa orang lain, menghardik dlsb, dengan alasan apapun tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari akhlak yang baik dan yang terpuji. Sudah barang tentu yang baik tetap akan menjadi baik dan buruk tetap akan menjadi buruk.
Lalu ada pertanyaan, bukankah mereka melakukan tindakan yang mengancam, menghardik dan mencela, itu dalam rangka membela diri dalam menghadapi pemimpin pemerintahan yang mereka anggap tidak adil?
Di situlah letak kesalahan itu. Dengan kondisi dan situasi yang mereka hadapi, cara apapun yang buruk dan tercela tidak bisa berubah menjadi baik dan terpuji, termasuk Ketika digunakan untuk meladeni asumsi mereka tentang ketidakadilan. Bukankah jika asumsi itu dituruti, asumsi ketidakadilan negara pada mereka, juga belum tentu benar pada diri mereka.
Cara baik dan terpuji ini luas sekali cakupannya. Dalam rangka melawan ketidakadilan pemerintah yang mereka dengung-dengungkan misalnya, mereka bisa melakukannya dengan mengkritik, mendemo, dan menunjukkan bentuk-bentuk ketidakadilan. Tentu, semuanya juga harus dilakukan dengan cara tidak merusak fasilitas publik.
Mereka juga harus terbiasa menanggapi pihak yang berbeda dengan mereka bukan dengan ancaman kekerasan namun dengan berargumen di ruang-ruang publik. Yakinlah cara ini adalalah cara yang baik menurut publik. Mereka juga harus terbiasa untuk tidak mengeluarkan kata kofar-kafir bagi orang Muslim lain.
Mereka juga harus terbiasa untuk tidak mengatakan jika warga negara non-Muslim sebagai kafir. Mereka bukan kafir dalam konsep kewarganegaraan Indonesia, namun mereka adalah warga negara. Mereka juga harus terbiasa dengan kehidupan warga Ahmadiyyah yang juga warga negara Indonesia. Jangan persekusi mereka, jangan tutup paksa masjid mereka dlsb. Jika ini semua bisa dilakukan, maka itulah sebenarnya yang layak menjadi isi perjuangan revolusi akhlak.
Namun apa yang terjadi dalam beberapa hari ini, nampaknya untuk menuju ke arah revolusi akhlak yang penuh dengan rasa toleransi dan damai sulit untuk dilakukan. Bahkan aktivitas HRS dan FPI menjadi sorotan publik karena tidak taat pada protokol kesehatan dan ujaran-ujaran kebencianya. Jadi, ini seperti revolusi yang memakan anaknya sendiri.
Sebagai catatan, saya sering melihat agama ini hanya digunakan untuk hal-hal mendukung ambisi pribadi kita, kelompok kita. Dalam hal ini, kata akhlak dicantumkan dengan kata revolusi agar apa yang diperjuangkan itu dianggap bagian dari agama. Eh ternyata, tidak semudah itu. Apalagi yang disebut akhlak ternyata tidak selalu berkaitan dengan kebaikan dan keterpujian.