Reuni Akbar 212 tahun ini digaungkan. Tadinya mau diadakan di Jakarta, terutama Monas atau kawasan sekitar. Tapi atas dasar apa reuni ini? Bukankah di Jakarta masih PPKM, bahkan level 2. Awalnya akan diselenggarakan di Monas, lalu pindah ke Patung Kuda, kemudian direvisi pindah ke Bogor, di Komplek Masjid al-Zikra, Sentul.
Perlu diketahui masjid az-Zikra, pengelolanya, yang mereka rencanakan sebagai pusat kegiatan reuni ini, ternyata belum memberikan konfirmasi persetujuan ketika panitia reuni mengemukakan pilihan tempat ini. Namun, keputusan panitia Reuni Akbar 212 untuk pindah ke az-Zikra, Wakil Gubernur DKI Ahmad Reza Patria mengatakannya sebagai langkah yang sengat bijak.
Wagub DKI itu mengatakan, “Saya enggak bilang enggak dapat izin, mereka sendiri yang memutuskan, yang bijak, yang baik. Inilah kelebihan para ulama, kalau kumpul akhirnya berunding mengambil keputusan yang menurut saya sangat bijak,” kata Riza di Balai Kota Jakarta, Senin (29/11) malam.
Apa yang dikatakan Ahmad Reza Patria sebagai Wagub DKI kepada Panitia Reuni Akbar 212 sebagai hal yang bijak dan baik, mengundang masalah. Bukankah dari awal, Reuni Akbar 212 itu sendiri bukan rencana yang bijak, apabila kita memikirkan soal pandemi yang belum berakhir.
Bagaimana bisa, penyelenggaraan Reuni Akbar 212 itu dengan maksud mengumpulkan ribuan orang, untuk tujuan politik, bisa dikatakan sebagai bijaksana. Bukankah hal yang bijak itu justru tidak menyelenggarakan kerumunan massa di era pandemik seperti sekarang ini.
Mengamati gerakan 212 memang tidak ada habisnya. Selalu ada hal-hal yang ditawarkan oleh mereka. Sebenarnya gerakan ini pasca pemilu Jakarta dan Pemilu 2019 sudah kehilangan relevansinya. Mengapa demikian, karena agenda-agenda pasca 2017 dan 2019 hampir dikatakan tidak ada yang berhasil.
Agenda ekonomi umat yang mereka rencanakan pasca 2017 tidak begitu berhasil. Ambil contoh pendirian Mart 212 yang kini semakin sulit ditemukan keberadaannya.
Agenda politik mereka juga bisa dikatakan tidak kalah krisisnya. Tokoh-tokoh politik yang mereka dulu bela, sibuk dengan agenda politik mereka.
Agenda keagamaan yang mereka lakukan lebih berorientasi pada agitasi politik daripada pengajian itu sendiri. Ustadz-ustadz yang berafiliasi kepada mereka lebih banyak menyuarakan hate speech daripada nas-nas keagamaan yang adem di acara pengajian mereka.
Lalu untuk apa melakukan perayaan Reuni Akbar 212? Bukankah itu membutuhkan mobilisasi sumber daya yang besar?
Sebagai sebuah gerakan, Reuni Akbar 212 ini mudah dibaca. Gerakan mereka pasca 2017 berbeda dengan gerakan awal mereka. Gerakan awal pra 2017 itu kompleks dan tidak mudah menebak arahnya. Justru pasca 2017, setelah sukses dengan Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017, menjadi mudah. Muaranya adalah gerakan untuk mendukung kekuasaan politik. Karena arahnya untuk mendukung kekuasaan politik, maka dukungan pada mereka jauh lebih menurun.
Jika gerakan 212 dulu, isu yang dikembangkannya lebih luas seperti soal ketidakadilan ekonomi dan lain sebagainya, maka pantas apabila banyak kalangan yang bersimpati dan bahkan ikut mendukungnya. Isu mereka mampu menggerakkan orang untuk merasa memiliki nasib yang sama dengan mereka.
Namun, setelah tahap sukses mereka pada Pemilu Gubernur DKI 2017 berakhir, ketertarikan banyak kalangan mulai memudar. Apalagi di kalangan mereka sendiri terjadi saling berbeda arah dan bahkan perpecahan atas pemaknaan perjuangan mereka. Belum lagi, figur-figur politik mereka sudah mulai banyak yang bergeser menuju Jokowi.
Reuni Akbar 212 yang akan terjadi di Bogor ini nampaknya akan menampilkan wajah-wajah tidak sama dengan wajah-wajah dulu. Sebagian masih ada tokoh-tokoh lama, namun tidak ada tokoh sekuat Habib Rizieq. Bahkan politisi yang akan bergabung pada gerakan ini juga akan tidak seperti dulu. Sekarang mereka semua sibuk dengan persiapan partai-partai mereka menghadapi Pemilu 2024.
Hal-hal seperti ini tidak mereka pertimbangkan untuk kebijaksanaan gerakan mereka di era pandemik. Alih-alih mengumpulkan massa dan pasti menghabiskan banyak sumber daya, kenapa tidak saja gerakan mereka dialihkan ke hal-hal yang lebih bijak tadi seperti bantuan langsung ke masyarakat, pembukaan layanan kesehatan, dan lain sebagainya.
Kini zaman sudah berubah. Keadaan sosial dan politik juga tidak sama dengan ketika gerakan ini baru muncul. Komposisi aktor politik juga sudah berubah. Partai politik semakin kuat dan mandiri dalam menentukan orang-orangnya untuk dijadikan pemimpin masa depan.
Organisasi-organisasi Islam yang arus utama (mainstream) juga sudah semakin memahami aspirasi umat mereka. NU dan Muhammadiyah serta MUI telah menunjukkan peran mereka yang semakin signifikan di ruang publik umat. Pernyataan-pernyataan dan program-program mereka menjadi rujukan bagi umat mereka masing-masing bahkan juga bagi pengambilan keputusan mereka.
Apakah gerakan 212 ini akan mengambil momentum Pemilu 2024 dan memulai konsolidasi dari sekarang?
Hal seperti ini sah-sah saja untuk dilakukan. Mereka memiliki kebebasan politik untuk mereka perjuangkan. Namun sekali lagi, mereka nampaknya tidak paham bahwa banyak hal yang juga sudah berubah saat sekarang.
Jika gerakan ini masih berniat mendapatkan hati dari massa mengambang (floating mass) baik itu dari partai politik maupun organisasi massa Islam, maka saya ingin katakan bahwa saat ini partai-partai politik dalam keadaan yang kuat dan stabil untuk mengelola masa mereka. Demikian juga yang terjadi pada organisasi massa Islam yang makin dekat dengan umat mereka.
Tapi satu hal yang mungkin akan menjadi ganjalan besar bagi kebangkitan kembali 212 adalah soal agenda politik mereka. Jika mereka terlalu transparan mengusung calon pemimpin nasional 212 dari sekarang, maka mereka sudah membuat demarkasi politiknya sendiri. Artinya, banyak orang yang memiliki agenda politik dengan mereka.
Perlu diketahui bahwa salah satu yang menyebabkan gerakan 212 dulu sukses karena agenda politiknya tidak semata soal pemimpin namun juga soal lainnya, yakni keadilan ekonomi dan politik yang mereka yakini. Di sini banyak orang yang memiliki titik temu dengan agenda mereka.
Sebagai catatan, Reuni Akbar 212 akan memiliki nilai kebijakan justru apabila dibatalkan dan sumber daya kegiatan mereka dialihkan untuk bantuan-bantuan langsung kepada masyarakat. Agenda Reuni Akbar 212 nampaknya akan sulit mengulang sukses masa lalu jika arah politik mereka terlalu kentara.