Jumat, Maret 29, 2024

Penangkapan Farid Okbah dan Ahmad Zain: Refleksi untuk Densus 88 dan MUI

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kabar terkait dengan kegiatan terorisme dan esktremisme kekerasan menyeruak kembali, terkait dengan penangkapan Farid Okbah (Pendiri Partai Dakwah) oleh Densus 88. Bersama Farid Okbah, Ahmad Zain al-Najah, tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI, juga ditangkap oleh Densus 88. Keduanya dianggap terkait dengan Jamaah Islamiyah. Meskipun MUI sudah memberi pernyataan atas keterlibatan Ahmad Zain al-Najah dalam Jamaah Islamiyah itu sebagai urusan pribadi, namun itu juga memperlihatkan ada persoalan serius bagi rekrutmen keanggotaan MUI.

Kejadian ini mengingatkan kita pada usulan-usulan pembubaran Densus 88. Alasan yang digunakan untuk membubarkan Densus macam, dari urusan bahwa terorisme itu soal konspirasi dan bisa digunakan oleh pihak penguasa untuk menekan Islam sampai pada persoalan meredanya terorisme.

Catatan kali ingin mengulas dua hal; pertama, soal urgensi lembaga atau otoritas pemberantas terorisme dan ekstremisme kekerasan yang tetap masih dibutuhkan. Kedua, soal apa yang sebaiknya dilakukan oleh MUI, belajar dari kasus ditangkapnya Ahmad Zain al-Najah ini.

Saya melihat bahwa gerakan terorisme dan ekstremisme kekerasan di Indonesia bukan hal baru. Gerakan ekstremisme kekerasan atau terorisme sudah ada sejak negeri ini ada, bahkan semenjak manusia ada, namun gerakan itu begitu mengejutkan kita semua ketika terjadi bom Bali 1. Bom Bali 1 itu menyadarkan bahwa Indonesia berada di dalam target jaringan terorisme internasional seperti Jamaah Islamiyah dan atau al-Qaedah.

Kita semua mengutuk peristiwa itu dan tidak mau hal serupa terjadi lagi di masa setelahnya. Namun, itu mau kita, tidak maunya kaum teroris dan esktremis. Mengapa saya katakan demikian, karena pada kenyataannya serangan-serangan terorisme pasca Bom Bali masih terjadi saja. Bahkan, skalanya lebih besar dan luas. Pelaku dan kelompok terorisme dan ekstremis ini tidak semakin mengecil, namun jaringan-jaringan yang merajutnya dan melatarbelakanginya malah bertambah rumit dan kompleks.

Organisasi-organisasi teroris dan ekstremis yang sudah terlanjur besar dan kuat seperti Jamaah Islamiyah, al-Qaedah dan ISIS akan sulit mati karena mereka biasanya sangat adaptif dengan situasi dan keadaan yang dihadapinya.

Indonesia adalah pusaran dan target area esktremisme dan terorisme yang masih sangat relevan bagi kalangan teroris dan ekstremis. Mereka tetap menjadi Indonesia sebagai target karena posisi negeri ini dengan penduduk Muslim terbesar. Indonesia juga berada dalam posisi geografis yang sangat strategis, di tengah titik katulistiwa. Karenanya, otoritas yang khusus menangani ini masih sangat dibutuhkan.

Pendek kata, jika terorisme dan esktremisme kekerasan ada, maka otoritas yang menanggulanginya juga harus ada. Lalu bagaimana soal MUI?

Langkah cepat MUI untuk memberikan klarifikasi atas tertangkapnya salah satu anggota Komisi Fatwa adalah hal yang patut kita apresiasi, namun MUI sebagai lembaga keagamaan yang ingin kredibilitasnya tetap dipandang tinggi perlu melakukan beberapa hal antisipatif.

Secara historis dan politik, MUI ini memang organisasi yang sangat menarik untuk dilihat. Pertama muncul pada tahun 1975, organisasi ini berorientasi rejimis, artinya, pendukung pemerintah Suharto. Pasca reformasi, organisasi ini berubah orientasi perannya, dari posisinya yang rejimis ke posisi yang kritis dan jika bisa MUI ingin mendikte kebijakan yang berkaitan agama dan moral publik.

Pada suatu masa, MUI pernah menjadi tempat bagi para aktivis Islam yang memiliki kecenderungan “konservatif” dan militan. Bahkan, pada zamannya, beberapa tokoh yang percaya akan sistem adanya politik Islam, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, juga pernah bergabung di dalam organisasi ini. Mereka mungkin berasumsi bahwa MUI merupakan tempat yang tepat untuk beraktivitas dan menyalurkan aspirasi politik mereka. Mereka bergabung adakalanya karena mereka ingin bergabung atau diundang untuk bergabung oleh pengurus MUI yang lebih senior.

Meskipun demikian, saya yakin bahwa MUI tidak pernah terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan ekstremisme dan terorisme. Jika ada anggota dari organisasi ini yang percaya pada sistem pemerintahan Islam, namun pada umumnya mereka tidak memperjuangkan atau committed pada violence dan terorisme. Meskipun tidak sepi dari konservativisme dan militansi Islam, namun bisa dikatakan bahwa pada MUI pada masa lalu ini lembaga keagamaan cukup bersih dari keterlibatan kaum teroris.

Ketika Densus 88 mengumumkan bahwa salah satu yang ditangkap adalah pengurus MUI di Komisi Fatwa itu terus terang hal yang mengagetkan bagi saya secara pribadi. Jelas ini kondisi yang alarming karena tokoh yang ditangkap ini konon sudah beberapa lama duduk di MUI. Artinya MUI bisa dikatakan kebobolan atau kecolongan.

Untuk memitigasi masalah ini, saya kira MUI perlu melakukan assessment pada anggota dan pengurus yang ada selama ini. Memang benar bahwa apa yang dikerjakan oleh para anggota dan pengurus MUI tidak bisa ditimpakan kepada MUI, namun orang tetap tidak bisa mendisasosiasi –melepaskan—dari orang yang aktif di MUI organisasi ini secara keseluruhan dari MUI. Apalagi, apabila seseorang yang terlibat dalam tindak terorisme duduk di komisi-komisi penting di dalam MUI seperti Komisi Fatwa.

Saya juga mengajurkan agar MUI benar-benar hati-hati dalam melakukan rekrutmen anggota dan kepengurusannya untuk masa-masa mendatang. Sistem rekrutmen keanggotaan dan kepengurusan MUI selama ini dilakukan lewat permintaan pada organisasi-organisasi Islam yang menjadi anggota MUI dan juga lewat rekomendasi pengurus yang sudah aktif sebelumnya. Sistem ini tetap bisa dilakukan, namun harus tetap melalui proses yang lebih dalam dan intensif yang ditentukan oleh MUI.

Jika perlu, MUI bisa melakukan assessment dan atau test yang berkaitan dengan keagamaan dan kebangsaan pada calon anggota dan pengurus mereka. Sebenarnya MUI sudah melakukan metode yang cukup baik dalam bidang-bidang lain seperti bidang halal dan bank syariah, dan ini bisa diadopsi untuk rekrutmen anggota dan pengurus MUI.

Sebagai catatan, sejarah terorisme dan ekstremisme di dunia dan di negeri kita adalah sejarah panjang dan rumit. Gerakan terorisme tidak pernah terus terang dalam menjalankan aktivitasnya karenanya mereka bisa melakukan penetrasi ke mana saja, ke organisasi apa saja, yang mereka bisa tembus. Untuk mendeteksi ini butuh keahlian dan alat serta otoritas yang berhak.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.