Minggu, November 24, 2024

Para Habib Bisa Salah, Mereka Juga Manusia

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Beberapa waktu lalu saat bulan Ramadan, sebuah peristiwa menyesakkan dada terjadi. Seorang habib marah dan tersinggung karena diperingatkan seorang petugas agar mematuhi PSBB dalam berkendaraan mobil. Meskipun peristiwa ini bisa diselesaikan secara damai, namun perlu kiranya peristiwa tersebut dijadikan pelajaran bagi kita untuk hari-hari ke depan atas peristiwa yang mungkin serupa.

Pada saat himbauan dari pemerintah untuk tidak memasang foto Jokowi dalam baliho-baliho 17 Agustusan, kini, tiba-tiba kita melihat baliho-baliho besar terpampang di jalan-jalan utama yang mengglorifikasi habib tertentu. Bunyi tulisan baliho macam-macam, dari ucapan Dirgahayu RI sampai perang bersama melawan neo-PKI. Saya tidak tahu persis apa di balik pemasangan ini, namun yang dijadikan tokoh utama tetap habib.

Saya ingin katakan, dari dua contoh di atas, seolah-olah seorang habib bisa melakukan apa saja, kebal hukum, menolak himbauan ulil amri dan kita diminta untuk menghormatinya tanpa catatan.

Peristiwa kontroversial dan kurang elok yang melibatkan oknum habib atau habaib tidak hanya terjadi kali ini saja, namun sudah sering dan tampaknya akan selalu terjadi. Sisi lain dari peristiwa ini adalah mereka ternyata juga manusia, juga kerapkali berbuat salah. Hal ini bukan untuk menggeneralisir, karena banyak habib dan habaib yang memberi ketauladanan dan contoh yang sangat baik dalam masyarakat, namun juga banyak habib dan habaib yang berkelakuan sebaliknya.

Masalahnya, di kalangan masyarakat kita, masih ada anggapan jika apapun yang dilakukan oleh seorang habib kudu dipercaya benar belaka. Ada yang mengatakan terima saja perkataan dan perbuatan mereka karena pasti selalu ada hikmah dan i’tibar yang baik di balik itu semua. Kata kelompok ini, mata lahir kita tidak bisa menjangkau makna di balik perkataan dan tindakan mereka. Habib dan Habaib sudah terlanjur dianggap “maksum”, terlindung dari segala, termasuk dari dosa sosial dan politik.

Di sini saya ingin menguraikan siapa sebenarnya yang disebut keturunan Nabi Muhammad dan apa kaitannya dengan habib? Bagaimana Rasulullah dan para ulama terdahulu memandang kedudukan mereka?

Secara umum, pengertian keturunan Nabi Muhammad adalah mereka yang memiliki garis darah dengan Rasulullah. Ada dua jalur keturunan Nabi. Pertama, melalui jalur putra Hasan bin Ali.

Dalam literatur sejarah keislaman, kita biasa menyebut mereka ini sebagai Alawiyyin. Rabithah Alawiyyah mencatat ada 151 marga keturunan Nabi yang masih hidup di seluruh dunia dan termasuk di Indonesia.

Kedua, melalui jalur Sayyid Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir yang ujungnya sampai kepada Husain bin Ali. Jalur kedua ini terkenal dengan sebutan Ba’lawi (Bani Alawi). Semua Ba’lawi adalah Alawiyyin karena semuanya akan berujung pada Sayyidina, namun tidak semua Ba’lawi adalah Alawiyyin.

Mereka ini berdiaspora ke seluruh dunia dan predikat sebagai keturunan Rasulullah menyebabkan mereka mendapatkan penghormatan dan keistimewaan di sebagian besar masyarakat Muslim di dunia termasuk di Indonesia.

- Advertisement -

Penghormatan dan pengistimewaan inilah yang terkadang menyebabkan mereka menjadi extra-human, merasa mereka itu berbeda dengan masyarakat keseluruhan. Sebagai keturunan Rasulullah memang ada jejak darah, namun sebagai manusia, mereka ini memiliki jejak sosial, politik, budaya yang sama dengan jejak-jejak manusia yang lain. Mereka tetap bisa berbuat salah dan mengalami kekurangan.

Bagaimana sebenarnya pandangan para ulama terdahulu terhadap mereka ini? Dalam bahasa hadis, keturnan Nabi diistilah dengan ahlul bait (orang dalam Rasulullah). Banyak hadis yang menceritakan kecintaan Rasulullah pada anggota keluarga beliau.

Cintailah Allah karena apa yang Allah berikan pada kalian semua atas nikmatnya dan cintailah Aku (Muhammad) karena cinta kepada Allah dan cintailah ahli keluarga karena mencintaiku.

Banyak hadis yang isinya senada dengan hadis di atas. Biasanya hadis tersebut mengungkap secara terbatas siapa yang berhak dianggap sebagai ahlul bait seperti pada diri Fatimah, Ali, Hasan Husain. Mencintai anggota keluarga Nabi adalah hal bisa dimaklumi bagi masyarakat Muslim. Pandangan ulama-ulama terdahulu terhadap keturunan Rasulullah juga demikian halnya. Mereka menghormati.

Bahkan Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai kiblat kalangan Salafi juga mengekspresikan kecintaanya pada ahlul bait. Ibn Taimiyah menganjurkan untuk pembacaan shalawat pada keluarga Rasullulah. Namun kecintaan pada keturunan Nabi tetap juga didasarkan pada kualitas yang menempel pada keturunan Rasulullah di atas.

Suatu saat Ibn Taimiyah mengatakan jika siapa saja yang menyerukan ketaatan pada Ali sebagai pemimpin yang sah maka mereka itu adalah menyerukan jalan menuju surga, dan siapa yang saja yang menyerukan peperangan atas Ali maka mereka sama dengan menyerukan ke jalan neraka. Di sini, kecintaan Ibn Taimiyah kepada Ali lekat dengan posisi Ali yang harus dibela sebagai pemimpin yang sah.

Bagaimana dengan para habib atau habaib atau para sayyid yang dengan hubungan darahnya melakukan tindakan sosial yang merugikan pihak lain?

Sebagai keturunan Nabi itu mungkin adalah fakta biologis dan sejarah, namun dalam berinteraksi dengan orang lain, sesama manusia, adalah fakta lain yang perlu diperhatikan.

Menjadi keturunan Rasulullah tidak berarti segala sifat dan atribut kemanusiaan akan lepas dari mereka. Itu tidak sama sekali. Perbuatan yang melenceng, melanggar peraturan yang sudah disepakati bersama, menyakiti orang lain dan sebagainya adalah dosa, dosa ini akan mengena bagi semua saja termasuk pada diri habib dan sayyid.

Sebagai catatan, meyakini begitu saja akan fakta biologis keturunan darah dari Rasulullah sebagai jaminan kualitas perilaku dan tindakan baik dari para habib dan sayyid adalah hal yang kurang tepat. Mereka adalah manusia yang berkembang dan berinteraksi dengan liyan, pihak lain. Patokannya, jika para habib dan sayyid ini melanggar hukum agama dan hukum kemanusiaan, maka mereka harus diberi sanksi keagamaan dan juga kemanusiaan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.