Di tengah-tengah publik kita yang sedang membicarakan masalah Partai Komunis Indonesia (PKI), saya ingin menyoroti soal “ideologi kiri” (the left ideology) dalam Islam. Jika kita melihat hiruk pikuk umat Islam di Indonesia terutama di setiap akhir bulan September seolah-olah umat Islam sangat membenci ideologi kiri. Sebutan kiri dalam politik tadinya tidak serumit yang kita bayangkan saat ini.
Kiri (the leff) adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ideologi sosialisme dan komunisme. Sosialisme dan Komunisme itu sangat identik dengan Karl-Marx. Kita lalu memahami juga secara umum memahami jika semua komunis itu anti Tuhan atau ateisme. Kesan ini memang muncul karena kritik Karl Marx atas agama yang menurutnya bisa membuat pengikutnya seperti penghisap opium (ganja). Katakanlah dalam bahasa sekarang, Marx mengkritik banyaknya orang yang mabok agama.
Di Indonesia banyak orang kiri, namun tidak lantas dia menjadi tidak Islam. Bahkan, di antara banyak mereka yang bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai agama mereka. Fenomena yang aneh ketika kita lihat dari zaman yang hitam putih seperti sekarang. Dalam pandangan mereka ini, PKI hanyalah sebuah partai yang bisa memperjuangkan aspirasi mereka orang Islam zaman itu. Di Kampung-kampung dan di desa-desa, pada saat itu, banyak orang ikut PKI sebagai partai, namun mereka tetap meyakini Islam sebagai agama mereka.
Jauh sebelumnya kita juga mengenal Sarekat Islam Merah dan Sarikat Islam Putih. SI Merah adalah sebutan untuk pengikut SI yang memiki ideologi Merah, sebuah warna yang biasa disematkan untuk sosialisme dan komunisme. Terlepas dari sejarah kelam PKI yang dianggap telah melakukan kudeta dan pembunuhan para tokoh negara dan juga orang-orang Islam, namun fenomena sosialisme dan komunisme Islam adalah hal menarik untuk dilihat.
Secara internasional, fenomena penggabungan Islam dan sosialisme bahkan komunisme juga terjadi. Di Rusia, dalam sejarah Revolusi Rusia, pernah terjadi upaya untuk menggabungkan antara Islam dan komunisme. Mereka terkenal dengan sebutan Communist Muslim. Mungkin bagi kita yang tidak paham konteksnya akan langsung nyinyir: “mana ada komunis kok Muslim.”
Kenyataannya, memang ada dan itu terjadi di Rusia sendiri, di negeri di mana ideologi ini tumbuh subur. Pelopornya pada waktu itu adalah Mirza Sultan Galiev (1892-1940). Hal yang menjadi pemicu masalah ini adalah umat Islam di Rusia berhak untuk menafsirkan ajaran-ajaran Karl Marx untuk konteks umat Islam Rusia. Komunis Muslim Rusia ini menginginkan penafsiran atas ajaran Karl Marx menurut pengalaman mereka sebagai orang Islam yang hidup di Rusia.
Mirza Sultan Galiev adalah seorang Tartar Bolshevik yang mencuat di lingkungan Partai Komunis Rusia pada tahunb 1920an. Idenya tentang Komunis Muslim jelas mengancam pejabat teras partai ini dan dia dipenjarakan selama enam tahun. Sultan Galiev ini memiliki masa kanak-kanak yang sulit. Dia belajar di sekolah ayahnya sendiri, karena ayahnya tidak mampu mengirimkan Galiev ke sekolah swasta yang bagus. Sejak dari kecil dia belajar pelbagai ilmu dan bahasa, termasuk bahasa Arab. Dia juga belajar al-Qur’an dan hukum Islam (syariah).
Selain Sultan Galiev, di dunia Islam, kita juga pernah mendengar Jamal Abdel al-Nasser, presiden Mesir yang berteman dengan Sukarno bersama-sama mendirikan Gerakan Negara-Negara Non-Blok sebagai tokoh sosialisme. Sayyid Qutub juga pernah mengadopsi sosialisme untuk spirit perjuangannya.
Ternyata, tokoh sarjana dan aktivis Muslim yang mengadopsi ideologi kiri juga bisa kita lihat pada diri Ali Shariati. Siapa aktivis Muslim di Indonesia yang tidak mengenal Ali Shariati dengan buku-bukunya yang mengobarkan semangat pembebasan atas kaum mustadlafin. Diilhami oleh ajaran Karl Marx, Shariati mencoba menafsirkan Islam sebagai agama yang progresif, agama yang membela kaum lemah dan agama yang menjunjung tinggi egalitarianisme. Ini adalah konsep perjuangan Ali Shariati yang mempengaruhi keberhasilan terjadinya Revolusi Iran.
Pada dekade 80 dan 90an, Ali Shariati menjadi bahan bacaan kaum aktivis Muslim di Indonesia juga. Bahkan kekhawatiran akan pengaruh Revolusi Iran di Indonesia, Suharto zaman itu mengeluarkan strategi agar ideologi ini tidak banyak diserap oleh generasi muda Indonesia. Karenanya, hal yang tidak aneh jika pada tahun 1980an, MUI sudah mengeluarkan sebuah fatwa peringatan bahasanya ajaran Syiah.
Ali Shariati adalah orang Iran dan pastinya pemeluk Islam Syiah, maka Syiah dibidik dalam hal ini. Nampaknya, Suharto berhasil dan banyak generasi Muslim sekarang yang menjadi produk dari siasat Suharto: yakni takut Syiah. Tidak hanya takut namun berusaha menghilangkan Syiah dari muka Indonesia. Padahal dulu ini merupakan siasat Suharto agar kita tidak revolusioner.
Di Syira, dikenal seorang tokoh Muslim yang berhaluan sosalis, yang bernama Muhammad al-Siba’i. Tokoh ini banyak mengarah kitab-kitab dalam pelbagai disiplin Islam dan karya-karyanya kita baca hingga kini. Muhammad Hassan Hanafi adalah tokoh intelektual Mesir yang memperkenalkan Islam Kiri (al-yasar al-islami). Konsep ini semata-mata untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama untuk manusia yang tertindas.
Mereka yang saya sebutkan di atas adalah tokoh-tokoh Islam yang sampai akhir hayatnya adalah para pemikir Islam yang luar biasa. Ulama, aktivis, akademisi yang mendeklarasikan sebagai penganut sosialisme Islam atau bahkan komunisme Islam adalah mengambil sisi semangat sosialisme dan komunisme. Jika ada sebutan Muslim Komunis atau Muslim Sosialis pastinya yang dimaksud adalah orang Islam yang menggunakan spirit sosialis dan komunis.
Sebagai catatan, di dalam dunia Islam, memeluk ideologi kiri untuk memperjuangkan Islam sebenarnya bukan hal yang aneh. Antara Islam dan kiri bisa bergabung sebagaimana antara Islam dan kanan (kapatalisme). Sosialisme dan komunisme ini banyak diambil spiritnya karena ajarannya yang revolusioner.