Kasus-kasus yang menyebabkan guncangan hubungan mayoritas-minoritas umat beragama nampaknya akan selalu ada di negeri kita. Beberapa minggu lalu kasus terjemahan Injil ke dalam bahasa Minang dipersoalkan,
Kini, isu berpindah lagi ke lagu lagu anak-anak yang diduga sebagai upaya sistematis untuk menjauhkan Islam dari Indonesia. Meskipun untuk kasus terakhir ini, Ustadz Zainal sudah meminta maaf atas ketidaktahuannya. Namun, cara berpikir konspiratif yang menyatakan minoritas akan menghabisi mayoritas akan terus muncul.
Logika “perang agama” akan terus dihembuskan terutama dari sebagian kelompok yang merasa tidak yakin akan kekuatan mayoritasnya. Di Indonesia, kelompok Kristen akan selalu menjadi sasaran tembaknya karena kelompok Kristen adalah kelompok agama yang menurut mereka memiliki potensi yang membahayakan. Bukan demikian, Kristen dianggap memiliki dukungan dunia Barat yang liberal dan sekuler yang menyebabkan Kristen menjadi obyek kecurigaan kelompok mayoritas.
Kalau terjadi cara konspiratif dan kecurigaan yang terus menerus seperti ini, siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas hal ini? Menurut saya, tanggung jawab berada di tangan kelompok mayoritas. Namun mayoritas yang saya maksud di sini adalah mayoritas yang sehat. Siapa mayoritas yang sehat ini?
Mayoritas yang mampu bersikap jernih dan adil serta bisa menjelaskan kepada kelompok mayoritas yang lain bahwa cara berpikir konspiratif dan penuh curiga sebenarnya tidak akan membuat baik negara maupun agama mayoritas akan maju. Justru cara berpikir yang demikian ini akan menyebabkan negara dan agama menjadi mundur, set back, karena ketidakmampuannya dalam mendayagunakan diversitas dan pluralitas sebagai kekayaan.
Penjelasan-penjelasan seperti ini harus dilakukan oleh kelompok mayoritas yang sehat ini karena dalam konteks kita penjelasan apa pun dari kelompok minoritas akan dianggap sebagai pembelaan dan kemungkinan tidak akan diterima oleh kelompok mayoritas. Banyak yang menyebabkan hal demikian ini.
Karenanya, di sini lah letak pentingnya mengapa kelompok mayoritas yang sehat ini perlu memberikan penjelasan kepada sesama kelompok mayoritas mereka sendiri yang masih dikuasai oleh cara berpikir sempat, konspiratif dan penuh kecurigaan. Jika kelompok mayoritas yang sehat ini tidak memberikan penjelasan kepada sesama mereka, maka kecurigaan dan persangkaan akan jalan terus berjalan kepada kelompok minoritas.
Alasan lain yang menyebabkan kelompok mayoritas yang sehat ini harus ikut bertanggung jawab untuk mengurangi prasangka buruk dan cara pandang konspritif atas minoritas adalah prasangka dan cara pandang tersebut berasal itu pada umumnya muncul dari kelompok mayoritas, bukan dari kelompok minoritas.
Sebagai mayoritas kita harus memperkenalkan narasi-narasi kedekatan antara Islam dan kelompok minoritas terutama. Ada tiga hal yang mungkin berguna untuk memberikan contoh betapa kedekatan antara Islam dan agama minoritas di Indonesia.
Pertama, melalui jalan sejarah dimana kita menjelaskan bahwa secara historis, antara Islam dan agama minoritas di Indonesia adalah sangat dekat. Kristen misalnya adalah bagian dari tradisi Abrahamik sebagaimana Islam juga. Penuturan sejarah yang baik akan bisa banyak membantu kita semua untuk menjaga hubungan yang baik antara Islam dan agama-agama minoritas yang lain.
Kedua, melalui jalan teologis. Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam sesungguhnya banyak mengajarkan umatnya untuk senantiasa untuk memberlakukan umat-umat agama lain sebagai manusia, harus dihargai dan dihormati sebagaimana mestinya.
Demikian juga agama lain memiliki hal yang sama dengan Islam untuk memperlakukan umat agama lain secara baik. Dalam sebuah buku yang berjudul al-turath al-masihy al-Islami, karangan Layla Tukla, seorang profesor berkebangsaan Mesir beragama Kristen Koptik, dikatakan jika banyak tradisi kekristenan yang memiliki kedekatan dan bahkan akar yang sama dengan dengan Islam. Tradisi itu meliputi konsep-konsep ketuhanan, kenabian, kebaikan dan lain sebagainya. Karenanya, buku yang dia tulis diberi judul di atas yang artinya, Tradisi Kekristenan yang Islami.
Ketiga, melalui jalan menghadapi masalah dan membagi pengalaman bersama. Sebagai kelompok mayoritas, kita, umat Islam, mengajak sesama mayoritas lainnya untuk bersama-sama dengan kelompok minoritas dalam menghadapi masalah yang bisa kita hadapi bersama. Misalnya, masalah kemiskinan, pandemik dan banyak hal lagi. Masalah-masalah yang demikian ini sebenarnya bukan masalah kelompok mayoritas saja, namun juga kelompok minoritas. Dari ini lalu kita membagi dan mencarikan jalan keluar bersama-sama atas masalah yang dihadapi di atas.
Lalu apa makna membagi pengalaman bersama? Membagi pengalaman bersama adalah berbagi bercerita antar sesama kelompok mayoritas dan kepada kelompok minoritas atas pengalaman-pengalaman yang mereka hadapi bersama sebagai umat beragama dan umat manusia. Pengalaman-pengalaman yang saling dibagikan antara kelompok umat beragama ini tidak hanya pengalaman baik namun juga pengalaman buruk. Hal ini perlu agar terjadi silang pembicaraan keagamaan yang berdasar pada realitas hidup yang dihadapi bersama.
Sebagai catatan, tiga jalan yang saya usulkan di atas, akan bisa menjadi salah satu strategi untuk mengatasi hal-hal yang terjadi selama ini terjadi, namun kuncinya tetap pada kelompok mayoritas yang sehat untuk mempeloporinya. Akhirnya saya katakan, mari kita menjadi bagian mayoritas yang sehat yang menjaga dan melindungi minoritas kita.