Senin, April 29, 2024

Menikah Beda Agama, Kita Masih Kalah dengan Rusia dan Albania

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Surat Edaran MA yang mencegak Pengadilan Agama memberikan pencatatan pada mereka yang menikah beda agama semakin mempersempit kebebasan individu. Ini sekaligus memberikan gambaran bahwa lembaga-lembaga pencatatan nikah sudah masuk dan menjadi lembaga penentu pernikahan. Alasannya adalah UU Perkawinan 1974 mensyaratkan. Namun UU itu berlawanan dengan kebebasan yang diberikan oleh UUD.

Hal yang menurut saya perlu mendapatkan perhatian adalah himbauan dari pemerintah dalam hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden Indonesia agar anak hasil pernikahan beda agama diberikan status. Masalah ini sudah banyak mendapat ulasan. Dalam kesempatan ini saya melihat isu ini dari sisi lain, dari sisi bagaimana negara-negara lain memandang kawin beda agama.

Sebenarnya kawin beda agama bukan masalah masyarakat Muslim saja, namun juga problem masyarakat agama lain. Kecenderungan untuk penerimaan kawin beda agama di banyak negara itu semakin terbuka termasuk umat Islam.

Misalnya, di Albania, sebuah negara kecil di kawasan Balkan, umat Islam merasa enak saja (comfort) jika anak mereka menikah dengan orang yang beragama dari luar Islam. Angkanya sekitar 77% jika anak lelaki mereka menikah dengan perempuan non-Muslim.

Di kalangan masyarakat Muslim Rusia, 52 % dari mereka yang bisa menerima apabila anak lelaki mereka menikah dengan perempuan non-Muslim. Prosentasi kebersetujuan yang cukup tinggi untuk mereka yang menikahi istri atau perempuan dari keyakinan atau agama lain menunjukkan bahwa mereka, kalangan Muslim Albania dan Russia menanggap bahwa memang mengawini perempuan non-Muslim dari kalangan ahli kitab–Kristen dan Yahudi—sebagai hal yang memang diperbolehkan.

Bagaimana dengan mengawini lelaki non-Muslim bagi perempuan Muslim? 39 % mereka menyatakan nyaman. Kenyamanan masyarakat Muslim mengawini perempuan non-Muslim terutama Kristen juga lumayan tinggi di Kazakhtan, yang angkanya mencapai 36%. Ini bagi lelaki Muslim yang mengawini Kristen dan juga perempuan Muslim yang mengawini lelaki Kristen.

Di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara misalnya, perkawinan antar agama masih bisa diterima meskipun angkanya tidak mayoritas. Masyarakat Tunisia dan Mesir misalnya 17 % dari mereka menyatakan kenyamanan mereka jika anak lelaki mereka mengawini perempuan Kristen. Di negara-negara Islam lain, dari kawasan ini, 9% sampai 12% mereka bisa meneirma anak lelaki mereka mengawini Kristen.

Angka penerimaan di masyarakat Muslim di Indonesia atas perkawinan beda agama, terutama lelaki Muslim mengawini perempuan ahli kitab memang rendah yakni 6%, tapi angka ini di Indonesia cukup lumayan. Bahkan Pakistan lebih tinggi dari Indonesia, 9%.

Data-data ini adalah hasil riset-survei yang dilakukan oleh Pew Research Center yang dirilis pada 2013. Data ini bisa jadi berubah lebih longgar lagi untuk menerima perkawinan antar agama di negara-negara tersebut. Apa yang ingin saya katakan di sini kenapa negeri kita sekarang seolah-olah setback dalam masalah ini?

Jika alasannya UU 1974 yang mengharuskan perkawinan dalam sistem keyakinan dan agama yang sama, mengapa sejak tahun itu praktik perkawinan campur terus berjalan dan mendapat jalan lewat pencatatan sipil. Hal itu terjadi karena pada dasarnya UUD tidak menentang perkawinan antar agama.

Jika bercermin pada negara-negara yang saya sebutkan di atas, maka rata-rata mereka bisa melakukan perkawinan campur tanpa mendapat hambatan dari negara. Di Jordan, aturan yang diperlakukan adalah seorang lelaki Muslim boleh menikah dengan perempuan non-Muslim. Meskipun untuk perempuan belum bisa mengawini lelaki non-Muslim, namun jelas Jordania lebih longgar dibandingkan dengan Indonesia.

Di Mesir, menurut konstitusi mereka, seorang lelaki Muslim dibolehkan mengawini perempuan non-Muslim. Lelaki non-Muslim tetap masih tidak dibolehkan untuk menikahi perempuan Muslim. Sekali lagi, aturan ini juga lebih longgar dibandingkan di Indonesia.

Di Uni Emirat Arab, di dalam konstitusi mereka, perkawinan antara lelaki Muslim dan perempuan ahlul kitab itu masih harus dilaksanakan dalam kerangka perkawinan syariah. Artinya, mereka boleh pelakukan di pengadilan syariah.

Di banyak kasus di negeri Islam memang memiliki cara pandang seperti itu. Nampaknya mereka mengikuti al-Qur’an yang secara literal membolehkan lelaki Muslim mengawini perempuan non-Muslim. Bahkan, kita tidak heran jika banyak bangsawan dan politisi Timur Tengah yang berpasangan dengan istri yang berbeda keyakinan dan agama.

Lalu cara pikir Indonesia ini mengikuti siapa? Mengapa Indonesia yang bukan negeri Islam memiliki aturan yang melebihi aturan yang terjadi di negeri-negeri Islam yang sebenarnya soal kawin beda agama ini?

Dalam beberapa dan banyak hal di Indonesia lebih terbuka dan moderat, misalnya dalam bidang politik, namun Indonesia justru lebih konservatif dalam hal yang bersifat pilihan pribadi? Kenapa kita tidak mengambil prinsip bahwa negara melayani saja apa pilihan warga negaranya untuk hal-hal yang bersifat pribadi seperti kawin.

Bahkan untuk pemberian status anak hasil pernikahan beda agama ini diutarakan oleh pemerintah dengan tujuan apa? Apakah ingin menentukan agama mereka (anak-anak) atau kewarganegaraan mereka?

Terkadang kita ini ingin memperumit masalah. Ingin mengajukan usulan baru hukum, namun tidak berpikir jangka panjang. Masalahnya apa dengan anak hasil perkawinan beda agama? Jelas hal ini tidak ada kaitan dengan status kewarganegaraan mereka. Aturan kewarganegaraan kita tidak mempermasalahkan anak hasil kawin beda agama. Mereka tetap warga negara Indonesia jika mereka lahir dan hidup di Indonesia sampai umur tertentu. Jika mereka di luar negeri juga diberi kesempatan sampai umur 21 tahun, jika mereka hasil perkawinan beda negara.

Arah negara-negara seperti Saudi, Jordan, Uni Emirat Arab, dlsb, itu jelas seperti meninggalkan masa lalu yang menghambat perkembangan bangsa mereka sebagai bangsa yang maju. Mereka tahu bahwa mereka lebih berorientasi pada hak-hak rakyat mereka pada satu sisi, tuntutan dunia internasional dan kesejahteraan yang berbasis pada pemikiran yang modern dan rasional.

Sebagai catatan, Surat Edaran MA yang menolak pencatatan pernikahan beda agama ini merupakan setback bagi kita semua. Paling tidak, jika ingin mengikuti al-Qur’an, perkawinan lelaki Muslim dan perempuan non-Muslim (tanpa harus pindah agama) tetap diizinkan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.