Sabtu, Desember 7, 2024

Mengapa Indonesia Mengecam Prancis, Bukankah Keduanya Menghadapi Tantangan Radikalisme?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Pernyataan Pejabat Pemerintahan kita yang mengecam Prancis, dalam hal ini kebijakan Emmanuel Macron, seolah melupakan persoalan yang sedang Indonesia hadapi saat ini, yakni menghalau laju gerakan radikalisme dan esktremisme agama.

Antara Indonesia bersama Joko Widodo dan Prancis dengan Emmanuel Macron sebenarnya menghadapi problem kebangsaan yang hampir sama. Apabila Macron menghadapi tantangan radikalisme keagamaan karena peliknya masalah imigran yang ingin menampilkan identitas keagamaan mereka di atas identitas ke-Prancisan–, maka Jokowi juga menghadapi rongrongan radikalisme keagamaan dari kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi sistem negara khilafah sebagai misal.

Indonesia sebagaimana Prancis juga mengalami tindakan-tindakan nyata terorisme dan ekstremisme yang mengorbankan umat manusia Indonesia, bahkan umat Islam, yang tidak berdosa. Bahkan sudah lama Indonesia mencanangkan perang terhadap ekstremisme dan terorisme, serta juga menahan bahkan memberangus HTI sebagai organisasi resmi yang memperjuangkan khilafah sebagai pengganti sistem Pancasila sejak 2017. Lalu kenapa pihak pemerintah Indonesia mengecam Prancis yang saat ini sedang mengalami hal yang sama dengan apa yang Indonesia saat ini juga sedang alami dan atasi.

Ya, Presiden Jokowi dan perwakilan ormas-ormas Islam mengecam Macron karena Macron menjamin kebebasan berekspresi yang sudah menjadi landasan budaya dan hukum mereka sejak lama. Dalam kecaman ini, ada hal yang pincang, di mana kutukan pada Prancis ditekankan pada aspek Macron yang dianggap melecehkan umat Islam dengan memberi kebebasan rakyatnya untuk mengkartunkan Rasulullah SAW.

Jika berhenti pada aspek itu, maka sebagian umat Islam dan umat beragama lain mungkin bisa memahami, namun sebagian lain merasa kecaman tersebut tidak adil bagi Prancis yang warganya dibunuh oleh seorang pemuda Muslim yang merasa tersinggung pada gurunya yang telah menampilkan Kartun Rasulullah. Patut disayangkan bahwa pemerintah Indonesia tidak menyinggung masalah ini pada pernyataannya. Masalah pembunuhan.

Perlu diketahui bahwa kebebasan berekspresi ini bukan merupakan hak masyarakat Prancis yang ditujukan pada umat Islam saja, namun juga pada umat beragama lainnya. Di dalam kebebasan berekspresi Prancis ini, semua warga negara memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat mereka tentang apa saja, termasuk tentang hal yang mungkin oleh umat Islam atau umat beragama lain dianggap sebagai hal yang tidak bisa otak-atik dalam keyakinan mereka.

Sekali lagi, hal dogmatis agama bukan menjadi kategori pengecualian dalam pelaksanaan hak kebebasan berekspresi dalam bagi warga Prancis atau warga lain yang hidup di Prancis. Negeri Prancis ini adalah mungkin salah satu negara yang dalam menjalankan kebebasan berekspresi tidak mengenal bahkan batas-batas agama. Misalnya, di negeri ini warga negara memiliki hak untuk melakukan blasphemy. Batas mereka adalah kewarganegaraan, tidak bisa melakukannya dengan kekerasan dan melanggar prinsip laicite.

Meskipun Prancis ini menjalankan kebebasan berekspresi yang sering kita anggap sebagai tanpa batas, kehidupan keagamaan terutama umat Islam mengalami perkembangan yang menjanjikan. Jumlah umat Islam di Prancis adalah yang kedua terbesar setelah Jerman. Bagi mayoritas umat Islam di Prancis, laicite dengan kebebasan penuh dalam berekspresi, menyebabkan umat Islam bisa berkembang.

Pada tahun 2004, saya pernah melakukan wawancara dengan para pemimpin Islam di Prancis, bertanya pada mereka, bagaimana pendapat mereka tentang perkembangan Islam. Mereka rata-rata menjawab jika umat Islam lebih leluasa dengan sistem laicite karena sistem ini menyebabkan mereka tidak hidup di bawah tradisi hukum agama tertentu dalam hal ini Kristen Katolik Prancis. Umat Islam berhasil mengembangkan aspek-aspek pendidikan keagamaan Islam karena negara tidak menyerahkannya kepada masyarakat Islam sendiri untuk mengaturnya.

Sayang sekali, aspek-aspek yang menyebabkan umat Islam maju karena sistem laicite ini sama sekali lepas dari sikap dan pernyataan para pejabat Indonesia dalam menanggapi kebijakan Emmanuel Macron. Indonesia lupa jika apa yang Macron lakukan adalah menghadang laju ancaman kaum radikal, yang dimotori oleh sebagian kecil umat Islam di Prancis.

- Advertisement -

Macron menggunakan istilah “Islamiste,” dalam bahasa Inggris Islamist. Istilah ini beda jauh dengan pengertian Islam atau Islami. Istilah Islamist (Islamiste) ini biasa digunakan di dalam dunia akademik untuk menunjuk pada kelompok Islam yang memperjuangkan sistem politik Islam, memperjuangkan berdirinya negara Islam seperti khilafah.

Dalam memperjuangkan itu, kelompok Islamist ini tidak mengharamkan untuk menggunakan menggunakan cara-cara kekerasan. Padanan dari istilah islamist sebenarnya adalah radical dan atau extremist. Jika pangkal masalahnya terletak, maka sangat disayangkan pernyataan pemerintah kita yang terburu-buru dan tidak imbang. Dengan istilah Islamiste ini, Prancis tidak menyamaratakan seluruh umat Islam, namun umat Islam tertentu di Prancis, yang karena pengaruh pelbagai hal, memperjuangkan pendirian sistem politik Islam di Prancis.

Jika demikian halnya, maka hal ini sebenarnya Indonesia memiliki posisi yang sama dengan Prancis. Sebagaimana kita tahu bahwa pemerintahan Jokowi dengan semangat membubarkan HTI karena organisasi ini menginginkan Indonesia diubah dengan sistem khilafah. Bagi HTI, khilafah itu kepastian agama, bagi pemerintahan Jokowi, khilafah bukan kepastian agama. Artinya, Pancasila tidak bisa menerima sistem khilafah. Umat Islam di Indonesia, nyatanya, secara mayoritas bisa menerima penghapusan khilafah dan tidak menganggap Jokowi melakukan tindakan yang melecehkan Islam karena hal ini.

Sebagai caratan, di dalam tradisi laicite Prancis yang kini sudah menjelma menjadi ideologi bangsa mereka, agama memang tidak masuk dalam kategori negara yang istimewa. Letak agama bukan di negara namun di urusan pribadi masing-masing warga. Tradisi ini sudah berlaku jauh sebelum warga negara Prancis berlatar belakang agama Islam datang ke negeri ini.

Jika hal itu sudah mengakar di kalangan mereka, lalu ada tradisi baru yang hendak mengubahnya, apa yang kira-kira dilakukan oleh pemerintah Indonesia menghadapinya? Apakah jika Indonesia dipaksa untuk menerima ajaran politik khilafah karena sebagian warganya memiliki keyakinan demikian itu akan dilakukan oleh Indonesia?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.