Rabu, November 20, 2024

Menakar Politik Identitas pada Pemilu 2024

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Apakah kekuatan kelompok konservatif katakanlah seperti bekas HTI dab FPI serta organisasi-organisasi lain yang militan masih memiliki potensi untuk naik dalam Pemilu 2024.

Sebagian kalangan berasumsi jika mereka masih cukup membahayakan. Ada yang mengatakan jika mereka akan berafiliasi atau mendukung cawapres tertentu, misalnya ke Pak Prabowo dan atau ke Pak Anies.

Asumsi seperti ini wajar muncul karena dalam Pemilu kemarin, kelompok-kelompok yang memperjuangkan supremasi politik Islam memang kebanyakan memilih kedua tokoh politik ini, baik dalam kasus Pemilu Gubernur DKI 2017 dan dua Pemilu 2014 dan 2019.

Namun hal yang menarik untuk dilihat bahwa kedua capres ini yakni Pak Prabowo dan Pak Anies belum merapat ke sana. Asumsi sementara, kelompok konservatif ini bukan ceruk elektoral yang menguntungkan dan strategis untuk Pemilu kali ini.

Dari kelompok konservatif ini, mereka nampaknya masih bingung juga mau kemana, meskipun Pemilu bagi mereka tetap merupakan panggung penting untuk unjuk gigi dan menanam jasa.

Tapi apakah kekuatan kelompok konservatif seperti FPI, HTI, FUI (Forum umat Islam), dan lagi 212, masih memberikan harapan.

Saya ingin mengkalkulasikan kekuatan mereka dari sisi isu-isu yang mereka perjuangkan. Kita tahu bahwa kelompok HTI, FPI, 212, dan mereka yang sepaham, selalu ingin memperjuangkan politik Islam, syariah, dan aspek-aspek ideologis dari Islam untuk ditegakkan di ruang publik Indonesia, namun isu-isu tersebut dalam lima tahun terakhir nampaknya tidak begitu mencuat.

Gerakan-gerakan mereka tidak berkembang. Dari sekian gerakan Islamis yang masih terkadang ada itu hanya dilakukan oleh kelompok alumni 212. Namun tidak ada gerakan yang cukup besar dan menarik perhatian bagi para politisi.

Nampaknya keputusan pemerintah Indonesia untuk membubarkan organisasi Islam yang tidak sesuai dengan Pancasila memiliki pengaruh yang besar atas penurunan aktivitas kelompok Islamis di Indonesia.

Dan hal yang menarik atas hal ini adalah tanggapan masyarakat secara umum, di mana kebijakan pemerintah yang melarang organisasi seperti HTI dan FPI ternyata mendapat dukungan dari masyarakat Muslim. Hal ini terlihat dari temuan survei baru-baru ini yang publikasikan oleh sebuah lembaga riset yang sangat bergengsi di Asia Tenggara, yakni ISEAS Yusof Ishak, di mana dukungan masyarakat mencapai total 61 % yang sangat setuju (20 %) dan setuju (41 %).

- Advertisement -

Dulu ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembubaran ormas Islam seperti FPI dan HTI itu akan membahayakan karena membuat gerakan mereka justru tidak terkontrol atau underground, namun dari survei tersebut ternyata malah mendapat dukungan dari masyarakat Muslim.

Dari realitas di lapangan juga menunjukkan adanya korelasi dengan penurunan aktivitas dan gerakan mereka. Biasanya mereka akan muncul pada peristiwa-peristiwa penting melalui gerakan protes dan demo-demo, namun itu sangat berkurang.

Jika tren ini terus akan berjalan, maka mereka nampaknya akan tidak mendapat perhatian dari capres-capres yang akan berlaga. Namun, apakah itu semua lalu menjadi aman dengan ketidakhadiran mereka dalam kancah politik untuk kebangkitan politik identitas Islam?

Saya tidak terlalu pasti dalam melihat masalah ini, namun kali ini saya melihat kecenderungan umum tentang politik identitas. Pada tahun 2022, lembaga riset yang sangat bergensi di Asia Tenggara, IESAS Yusok Ishak merilis hasil polling of opinion yang menarik untuk diperhatikan. Menurut servei ini dinyatakan bahwa aspirasi kalangan Muslim agar negeri ini menjadi negeri Islam berada pada posisi yang tidak tinggi yakni 32 %, namun tetap alarming. Jika kita melihat populasi Indonesia yang segitu banyaknya, maka 32 % yang memiliki aspirasi untuk menjadikan negara Islam (Islamic country), bukan hal main-main. Bahkan jumlah ini melebihi dari jumlah keseluruhan kelompok minoritas yang tidak lebih 14 %, jika umat Islam 86 %.

Hal yang mungkin menarik lagi dan harus menjadi perhatian kita bersama adalah keinginan masyarakat Muslim di Indonesia agar segala sesuatu di negeri ini harus mengutamakan Islam atas agama lainnya yang angkanya cukup tinggi yakni 46 % (setuju, 14 %, sangat setuju 32 %). Mereka yang ragu setuju dan tidak setuju 20 %. Katakanlah 20 % dibagi dua, maka mereka yang berada pada posisi bahwa negeri ini harus mengutamakan Islam cukup tinggi yakni 56 %. Artinya apa?

Masyarakat Muslim di Indonesia masih memandang bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang sangat penting (centris) karenanya mereka harus mendapatkan tempat yang utama di negeri ini. Pemikiran proporsional nampaknya masih berlaku dimana kelompok besar harus mendapat porsi yang besar pula.

Menariknya lagi, masih berdasarkan survei ini, dalam pemilihan pemimpin, katakanlah Pemilu, maka sosok pemimpin Muslim masih sangat penting. Mereka yang akan memilih sosok pemimpin Muslim (Muslim leader) masih mencapai 57 %.

Jika kita melihat kecenderungan aspirasi masyarakat Muslim di Indonesia soal pemimpin Muslim ini, maka kita menjadi tahu mengapa para calon pemimpin kita menjadi agama atau Islam sebagai target mereka untuk menyasar. Dari sini kita tahu pencitraan-pencitraan untuk menjadi lebih Islami dilakukan oleh mereka. Lalu bagaimana dengan keinginan untuk menerapkan syariah?

Kecenderungan yang dirilis oleh survei ini adalah bahwa masyarakat Muslim Indonesia yang menghendaki agar syariah diwujudkan pada wilayah lokal (provinsi dan kabupaten/kota) mencapai angka 35 %. Apakah angka ini tinggi? Memang tidak mencapat 50 %, namun ini sangat tinggi. Kita bisa bayangkan dari jumlah provinsi kita yang sekitar 34, maka 35 % dari jumlah provinsi adalah angka yang sangat harus kita perhatikan.

Masyarakat Muslim Indonesia yang menghendaki agar syariah dilaksanakan di tingkat nasional juga cukup tinggi yakni mencapai 31 %. Pelaksanaan syariah di tingkat pusat ini wujudnya bisa dalam bentuk legislasi, pembuatan kebijakan Islami dan lain sebagainya. Jika kita lihat pada praktik nyatanya, memang dukungan terhadap implementasi syariah cukup terlihat misalnya dalam bidang perbankan syariah dan sertifikasi halal.

Hal yang menarik, dalam survei ini dinyatakan masyarakat Muslim yang ingin makanan dan minuman mereka halal mencapai 90 %. Sebagai catatan, lalu apakah kecenderungan-kecenderungan yang saya sebutkan di atas akan berpengaruh pada Pemilu 2024?

Saya tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Apa yang pasti dari kecenderungan-kecenderungan di atas adalah Islamisasi atau syariatisasi berjalan di Indonesia. Mereka yang menghendaki tidak hanya kelompok konservatif namun juga kelompok Muslim umum dan bukan hanya dalam kontek Pemilu.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.