Kamis, Oktober 10, 2024

Kata Jokowi Hak yang Sama dalam Beribadah

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Pernyataan Presiden Jokowi dalam Rakornas Kepala Daerah dan FKPD seluruh Indonesia sangat tepat jika semua pemeluk agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, dan keyakinan-keyakinan lain), memiliki kekebasan beribadah dan beragama.

Mengapa hal ini disampaikan oleh Presiden Jokowi di depan para kepala daerah karena Presiden tahu bahwa problem kebebasan beribadah dan beragama selama ini banyak disebabkan oleh kebijakan lokal para kepala daerah.

Kelompok minoritas banyak mengalami hambatan atas hak-hak mereka dalam beribadah dan kebebasan beragama justru tidak hanya dari kelompok mayoritas, namun pihak penguasa daerah ikut mendukung hal itu.

Secara gamblang Jokowi mengatakan: “Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati dan wali kota. Mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Ini hati-hati. Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah. Memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah,”

Ingat kata kunci Jokowi di sini adalah hak yang sama dalam beribadah. Artinya, dalam urusan hak beribadah dan kebebasan agama jelas yang menjadi patokan utama bukan soal banyak dan sedikitnya umat sebuah agama, namun setiap manusia itu diberikan hak yang satu sama lain setara dalam menjalankan agama dan keyakinan mereka.

Selama ini banyak kejadian pembatalan, gangguan, dan macam-macam lagi atas pendirian rumah ibadah umat tertentu itu karena argumen banyak dan sedikitnya umat mereka. Untuk apa membangun rumah ibadah apabila umat mereka masih sedikit jumlahnya. Pembangunan rumah ibadah oleh kelompok mayoritas dipahami sebagai alat dakwah sehingga dikhawatirkan umat mayoritas akan pindah gara-gara ada gereja, vihara, candi atau apa yang dekat dengan mereka.

Tidak sebatas itu, setiap natal misalnya, masih ada cerita tentang warga Kristen yang hak mereka untuk beribadah terhalang-halangi oleh tetangga mereka. Misalnya, mereka tidak boleh merayakan natal dengan mengundang saudara-saudara atau teman-teman mereka di rumah mereka. Alasannya, ya rumah tidak boleh dibuat untuk melaksanakan ibadah. Peristiwa-peristiwa ini terus saja terjadi.

Hal seperti ini ternyata tidak hanya dialami oleh kelompok minoritas di luar agama, namun juga dialami oleh kelompok minoritas di dalam agama. Katakanlah di dalam Islam ada kelompok-kelompok Islam yang terbagi dalam banyak golongan. Di Indonesia ada kelompok minoritas Islam seperti Ahmadiyah dan Syiah.

Ahmadiyah dan Syiah ini adalah dua kelompok kecil di dalam lingkungan masyarakat Islam yang hak-hak mereka dalam berkeyakinan dan menjalankan ibadah banyak mengalami hambatan. Ahmadiyah sejak 2008 mengalami keberbatasan dalam gerakan mereka. Ahmadiyah tidak memiliki kekebasan untuk beribadah meskipun itu dijalankan di masjid mereka.

Kelompok Syiah juga mengalami masalah yang sama dimana mereka banyak terhambat untuk kegiatan keagamaan mereka karena mereka Syiah, kelompok yang berbeda dengan Ahlussunnah Waljamaah.

Sekali lagi, hambatan-hambatan yang dialami oleh mereka dalam beribadah dan berkeyakinan itu banyak berasal dari kelompok mayoritas dan mendapatkan legitimasi dari pemerintah daerah.

Jika Presiden sudah mengatakan bahwa di balik semua aturan yang ada, maka aturan yang tertinggi adalah Konstitusi. Jika konstitusi secara gamblang memperbolehkan semua orang yang beragama dan berkeyakinan dijamik hak mereka mengapa ada aturan-aturan lain dipakai dan diperlakukan?

Sudah lama kita menganggap bahwa masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan ini banyak dibatasi oleh aturan-aturan yang menyempitkan yang jauh dari semangat dan isi Konstitusi. Bahkan almarhum Gus Dur pernah menjelaskan jika ribuan, atau tiga ribuan, peraturan daerah yang berlawanan dengan Konstitusi termasuk dalam masalah kebebasan beragama dan beribadah.

Hal ini sudah diperingatkan lama. Namun banyak kepala daerah yang masa bodoh dengan keadaan ini. Bahkan menurut beberapa studi para kepala daerah justru banyak yang membuat Perda Syariah untuk kepentingan politik electoral. Menariknya, para kepala daerah yang memakai perda syariah untuk politik electoral mereka lebih banyak berasal dari parta-partai sekuler.

Kini berdasarkan akumulasi masalah yang terus terjadi, Jokowi memberikan “warning” agar para kepala daerah memahami masalah ini. Seharusnya kepala daerah memang memiliki pemahaman secara mendalam tentang isi Konstitusi. Lebih penting lagi, mereka harus memahami pasal-pasal penting yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Banyak dari kalangan kepala daerah, karena latar belakang pemahaman konstitusi yang lemah, tidak paham jika manusia memiliki kekebasan beragama dan beribadah. Mereka juga tidak paham bahwa kebebasan beragama dan beribadah itu tidak bisa dihalang-halangi oleh mereka dengan alasan apapun.

Jika mereka, kepala daerah, paham masalah dasar ini, maka konflik-konflik keagamaan di kalangan umat beragama mestinya tidak banyak terjadi. Tapi, justru karena kebanyakan mereka tidak tahu, maka konflik-konflik yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah itu sering dan sering terjadi.

Para kepala daerah harus terbebas dari kepentingan kelompok mereka jika terkait dengan masalah kebebasan beragama dan beribadah. Ikuti saja apa yang dikatakan pak Jokowi bahwa satu-satunya sumber mereka adalah konstitusi, tidak ada sumber lain.

Jika mereka memiliki sumber lain selain konstitusi, maka itu semua selayaknya dikesampingkan dan balik kepada pangkuan Konstitusi.

Presiden Jokowi mengemukakan hal ini karena beliau tahu bahwa salah satu sumber konflik di daerah ini memang bersumber dari cara para kepala daerah mengatur masalah kebebasan beragama dan beribadah.

Dalih kepala daerah untuk membuat aturan-aturan itu tidak lain adalah dinamika politik lokal, kepentingan partai, kepentingan menang dalam Pemilu dlsb. Atas masalah ini sebenarnya mereka tidak sadar jika merek sebenarnya menyalakan api konflik. Jika hal seperti ini lama terjadi, maka orang-orang lupa dengan keberadaan konstitusi kita.

Mestinya jika cara pikir para kepala daerah soal kebebasan beragama dan beribadah itu cara pikir konstitusional maka hal itu sebenarnya sangatlah sederhana dan tidak rumit.

Jika ada masalah bahwa kelompok mayoritas tidak menghendaki sebuah kelompok minoritas membangun rumah ibadah di lokasi atau kota mereka, maka para kepala daerah tersebut tinggal memberi wejangan pada kelompok mayoritas tadi bahwa protes mereka tidak dijamin konstitusi. Justru yang dijamin konstitusi adalah kelompok minoritas yang ingin beribadah.

Sebagai catatan, pernyataan Pak Jokowi ini sangat tepat dikatakan kepada para kepala daerah, karena merekalah sebenarnya yang benar-benar berkuasa di daerah. Seringkali dalam masalah kebebasan beragama ini kepala daerah tidak berkuasa berdasarkan perintah konstitusi.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.