Minggu, Oktober 6, 2024

Jauh Sana Ada Palestina, Dekat Sini Ada Ahmadiyah

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Umat Islam Indonesia memang selalu merasa memiliki solidaritas sesama. Meskipun bukan sebangsa dan senegara, namun umat Islam Indonesia selalu ada untuk rakyat Palestina. Kuncinya karena rakyat Palestina dianggap sebagai bagian dari umat Islam di Indonesia. Keduanya memiliki identitas agama yang sama. Sama-sama sebagai pemeluk agama Islam. Memang rakyat Palestina sebenarnya tidak semua Muslim. Mereka yang menjadi korban Israel juga tidak semua Muslim, namun umat Islam Indonesia tetap mencurahkan solidaritas keislaman internasional mereka.

Persoalan Palestina dan Israel memang bukan hal yang mudah dipahami, apalagi diselesaikan. Sejarahnya rumit sejak dari sananya. Baik orang Islam, Kristen maupun Yahudi memiliki sejarah dengan tanah Palestina. Orang Islam menganggap bahwa Israel telah merebut negeri Islam yang konon ditaklukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Ya, benar bahwa Umar bin Khattab berhasil menaklukkan Yerusalem, kota suci bagi tiga agama, pada 637 M. Ketika Umar menaklukkan Yerusalem dari kekuasaan Bizantium, Umar langsung melakukan pembangunan atas kota ini.

Sebelumnya, Umar dan Patriach Sopronius meneken perjanjian. Isi perjanjian adalah jaminan keselatan Umar atas penduduk Yerusalem atas tanah mereka, gereja mereka, salib mereka, sakit dan sehat kota ini dan seluruh ibadah yang mereka laksanakan. Gereja tidak akan dihuni oleh orang Islam dan juga tidak akan dirusak mereka. Perjanjian ini juga menyatakan jika mereka tidak akan dipaksa pindah agama. Orang Yahudi, dalam perjanjian ini, juga tidak akan hidup dengan mereka di Yerusalem. Orang-orang Yerusalem harus membayar pajak pada pemerintahan Muslim.

Dari sejarah ini kita tahu jika Yerusalem memang bukan milik asli kekuasaan Islam, namun diambil dari kekuasaan Bizantium. Persia juga pernah menguasai Yerusalem. Kata Palestina sendiri sebenarnya bukan istilah asli Arab. Kata ini berasal dari kata Yunani, Philistia, yang diberikan oleh para penulis Yunani pada abad 12 sebelum penaggalan Kristen (BCE).

Philistia adalah nama untuk sebongkah tanah di antara Tel Aviv (modern) dan Gaza. Pada abad 2 Era Penanggalan Kristen, orang-orang Romawi menyebutnya Syiria Palaestina karena memang ini bagian dari Syiria pada masa itu. Menurut kalangan ahli sejarah, yang disebut wilayah Palestina memang selalu tidak jelas teritorinya, bahkan sejak sebelum ditaklukkan oleh Islam. Terlepas sejarah panjang ini, Palestina terutama dengan Yerusalemnya adalah memang kota yang menjadi klaim dari tiga agama.

Pada abad modern, pasca kemenangan tentara Israel dalam perang 6 hari, tepatnya tahun 1967, umat Islam dianggap telah kehilangan wilayah mereka. Kekalahan dunia Islam pada perang itu ditambah dengan dukungan internasional atas Isreal, menjadikan Israel semakin kuat mendominasi wilayah-wilayah negeri-negeri Muslim. Ada sebagian Mesir, ada sebagian Lebanon, ada sebagian Syiria dlsb. Israel berhasil menjadi negara dan Palestina berusaha melakukan perebutan kembali wilayahnya.

Ada banyak kelompok yang ikut berjuang dan ingin kembali mengambil tanah-tanah yang diokupasi Israel. Sayang sekali, perlawanan mereka terpecah. Negara-negara Arab Muslim juga terpecah dan bahkan negara-negara besar seperti Mesir dan Turki harus membuka hubungan dengan Israel. Ya, kita memang sedih melihat nasib orang-orang Palestina yang diusir dan dibunuh oleh Israel. Wajar jika umat Islam Indonesia memberikan solidaritasnya.

Namun, solidaritas internasional kita jangan sampai melupakan masalah yang hampir-hampir sama dengan yang dialami oleh orang Palestina. Jika saya boleh mengatakan di sana ada rakyat Palestina, di kita, di Indonesia, ada warga negara Indonesia, Ahmadiyah yang kebebasan mereka sampai kini belum jelas.

Konon, Ahmadiyah sudah tiba di tanah ini sejak 1924, ikut mendirikan negeri ini. Namun nasib mereka, karena sebagai pengikut Ahmadiyah, dianggap sebagai warga negara Indonesia yang lain. Mereka mengalami stigmatisasi, persekusi dan marginalisasi serta diskriminasi. Siapa yang melakukan itu semua? Kita, kelompok arus utama Muslim di Indonesia. Tahun 2005 pecah. Pusat Ahmadiyah di Bogor diserang oleh kelompok utama Muslim. Tempat mereka dihancurkan dan orang-orang mereka juga ada yang menjadi korban mati maupun luka.

Tidak hanya berhenti di situ, pada tahun-tahun berikutnya, Tragedi Cekesik, Tragedi Lombok dlsb, mereka mengalami persekusi. Korban juga banyak berjatuhan. Puncaknya, 2008 pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri yang intinya adalah membekukan kegiatan Ahmadiyah di ruang publik. Berdasarkan SKB ini kegiatan ibadah mereka terhenti.

Artinya, masjid-masjid mereka tidak berpenghuni. Jangan membangun masjid, menggunakan masjid yang sudah ada saja mereka tidak diperbolehkan. Setia pada usaha membuka masjid yang sudah digembok bertahun-tahun, maka upaya untuk menghentikannya datang. Kelompok arus utama Muslim bergerak untuk menutup kembali masjid mereka.

Saya bayangkan, ketika SKB 3 Menteri soal Ahmadiyah yang diteken oleh Pemerintahan SBY dan JK saat itu sebagai upaya transisional mencari penyeleseaian yang lebih mapan berdasarkan pada pondasi hukum dan kemanusiaan serta kewargaan yang kuat, Namun ternyata itu sampai kini tidak ada upaya untuk melihat kembali. Saya pikir bahwa SKB itu bukan permanen, namun sampai rezim sekarang, belum ada upaya untuk mencarikan jalan keluarnya. Nasib orang Ahmadiyah di Indonesia tetap sama, sebagaimana nasib orang Palestina.

Beberapa saat lalu, komunitas Ahmadiyah di Garut berusaha untuk membangun kembali masjid mereka, namun penguasa lokal menghalanginya. Bupati yang seharusnya menjadi Bapak dari seluruh warga negara di kabupaten tersebut, tanpa melihat latar belakang keyakinan warga mereka, telah bertindak diskriminatif pada warga yang ingin melaksanakan keyakinan mereka.

Ini adalah ironi besar yang kita hadapi bersama dan solidaritas kita atas orang-orang Ahmadiyah ini sangat jauh dan rendah sekali apabila dibandingkan dengan solidaritas kita atas saudara-saudara kita di Palestina. Jika kita ini manusia maka seharusnya solidaritas pada saudara kita yang Ahmadiyah itu sejajar dengan solidaritas-solidaritas untuk kemanusiaan lainnya.

Sebagai catatan, apa yang dialami oleh orang-orang Palestina yang sudah bertahun-tahun adalah masalah kemanusiaan. Demikian juga, apa yang dialami oleh orang-orang Ahmadiyah di Indonesia adalah juga masalah kemanusiaan. Karena dua-duanya adalah masalah kemanusiaan, maka dua-duanya harus mendapat solidaritas yang sama-sama besar dari kita semua. Mari kita teguhkan soliditas kemanusiaan kita untuk Palestina di sana dan juga untuk Ahmadiyah di sini.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.