Minggu, Oktober 6, 2024

Jangan Ngeyel, Tetap Ibadah di Rumah Saja

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Sejengkal hari lagi kita akan memasuki bulan puasa. Hampir dipastikan kita masih berada dalam situasi pandemi COVID-19. Bulan puasa yang biasanya kita sambut dengan gegap gempita dalam situasi normal, kini kita harus menyambutnya dengan sikap diam di rumah.

Di dalam Islam, puasa adalah ibadah wajib yang memiliki karakterisik individual, karena puasa dan tidak yang tahu hanya kita dan Allah SWT. Namun, di dalam puasa terdapat ibadah-ibadah sunnah yang sangat anjurkan untuk dilaksanakan di ruang publik, seperti ziarah kubur menjelang masuknya bulan Ramadlan, shalat tarawih berjama’ah, i’tikaf di masjid-masjid Jami’ (Agung), dan sebagainya.

Ibadah-ibadah sunnah yang berdimensi kongregasional dan mungkin mungkin dilaksanakan secara bersama-sama kini tidak dilaksanakan dalam keadaan pandemi.

Otoritas keagamaan di Indonesia sebenarnya sudah mengeluarkan fatwa dan anjuran-anjuran tentang tata cara melaksanakan ibadah tersebut, namun pasti masih ada saja umat Islam yang ngeyel dan menolak fatwa-fatwa di atas. Misal, masih ada saja yang berpikir jika #stayathome itu merupakan plot dunia Barat agar umat Islam tidak memakmurkan dan mensyiarkan agama mereka di ruang publik.

Bagaimana sesungguhnya cara Rasulullah untuk menghadapi pandemi seperti yang kita alami pada masa sekarang ini?

Tha’un dan waba’

Di dalam kajian Islam, ada dua istilah yang penting yang berkaitan dengan penyakit infeksi, pertama adalah tha’un dan kedua adalah waba.’ Para ulama sudah lama mendiskusikannya dan mereka berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan kedua jenis penyakit tersebut. Terjemahan ke dalam bahasa Inggrispun berbeda-beda, kadang keduanya diterjemahkan sebagai pandemi dan endemi. Hal seperti wajar terjadi.

Ulama besar dari madzhab Syafi’i, Imam Nawawi, (Lihat kitab al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi), mendefinisikan tha’un sebagai luka yang keluar di dalam tubuh yang ada ketiak, siku, tangan, jari-jari dan bahkan di seluruh badan. Definisi ini dasarkan pada keterangan Aisyah r.a. yang didapatkan dari Rasulullah bahwa tha’un itu bagaikan kelenjar sebagaimana kelenjar onta yang keluar dari persikuan dan ketiak.”

Berdasar riwayat ini tha’un itu dianggap sebagai jenis penyakit tertentu dengan gejala yang jelas (mu’ayyan). Dari sini pula bisa digambarkan bahwa tidak semua tha’un masuk dalam kategori waba’, kecuali hal itu sebagai ungkapan majazi atau metaforis.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat jika waba’ dan tha’un itu ekspresi umum dan khusus. Setiap tha’un adalah waba’, namun tidak sebaliknya. Dalam pandangannya, tha’un adalah bagian dari waba’.

Bagaimana kita menghadapi tha’un dan waba’?

Banyak hadis Nabi yang meriwayat cara menghadapi pandemic misalnya “wa idza sami’tum bihi fala tadkuhulu alayhi, wa idza waqa’a bi ardlin wa antum biha fala taffirru minhu” (Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Juz 6, h. 513).

Dalam hadis lain Rasulullah juga mengatakan “la tatannamu liqa’a al-aduwwi, fa as’alu l-Laha al-‘afiyata fa idza laqitumuhum fa shtabiru” (jangan kamu berharap untuk bertemu musuh, mintalah kesehatan kepada Allah jika kamu bertemu mereka maka bersabarlah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menafsirkan al-aduwwi (musuh) sebagai pandemi.

Berdasarkan riwayat di atas –sudah barang tentu masih ada banyak riwayat yang lain– para ulama klasik lalu membuat tafsiran atas hadis-hadis di atas tentang pelarangan masuk ke wilayah pandemi dan juga ketidakbolehan keluar dari wilayah pandemi apabila sudah di dalamnya. Para ulama sepakat melarang untuk mendatangi, bagi orang dari luar, dan juga melarang untuk keluar, bagi orang yang sudah ada di dalam, dari daerah yang terdampak penyakit tersebut.

Tentu pelarangan yang demikian ini ada hikmahnya. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan beberapa hikmah mengapa mencegah seseorang untuk mendatangi ke wilayah yang terkena area pandemi; 1. Menjauhkan sebab-sebab yang mendatangkan penyakit 2. Mendapatkan kesehatan yang merupakan hal yang pokok baik untuk kehidupan di dunia maupun akhirat. 3. Tidak menghirup udara yang bisa buruk dan merusak yang menyebabkan sakit. 4. Tidak mendekati orang-orang yang sakit karena berdekatan dengan mereka bisa menyebabkan sakit. 5. Menjaga diri dari burung dan musuh. Menurut Ibn Qayyim, keduanya bisa mentransmisikan penyakit. (Lihat Ibn Qayyim dalam Zad al-Ma’ad).

Lalu bagaimana dengan anggapan bahwa mereka yang mati karena pandemi itu dianggap sebagai mati syahid?

Rasullulah memang menyatakan demikian halnya dalam sebuah hadis lewat Aisyah. Suatu saat Rasulullah memberi khabar Aisyah bahwa sesungguhnya pandemi itu merupakan siksa berat yang Allah kirimkan atas orang yang Allah kehendaki maka Allah menjadikan pandemi itu rahmat bagi orang-orang yang beriman, maka tidak ada bagi hamba yang terkena pandemi dan dia tetap tinggal di negerinya secara sabar seraya dia tahu bahwa dia tidak akan terkena kecuali apa yang Allah telah tuliskan baginya maka tidak ada baginya kecuali mati sebagaimana syahid. Hadis ini tidak berarti kita harus pasrah tanpa berusaha, tapi hadis ini memberikan kepastian bahwa orang yang meninggal pandemi itu masuk surga.

Sebagai catatan cara di atas adalah pesan umum dari Rasulullah yang berlaku untuk masa darurat seperti yang kita alamai seperti sekarang ini termasuk nanti pada bulan puasa. Karenanya, mari kita taat pada pesan Rasulullah agar hidup kita selamat.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.