Sementara, kita di Indonesia, masih berdebat soal apakah negara kita akan berhubungan dengan Israel atau tidak, kini Saudi nampaknya akan mendahului membuka hubungan yang tidak hanya diplomatik tapi juga pembangunan melalui agenda normalisasi mereka.
Di media Arab dan internasional, Israel menyatakan akan menambah hubungan eratnya dengan kerajaan Saudi Arabia. Pemerintah Israel akan membangun perluasan jalur kereta mereka sehingga mendekatkan jarak mereka dengan Saudi. Hal yang tak terbayangkan sesungguhnya pada masa-masa lalu dari hubungan kedua negara tersebut.
Mereka, Israel, menamakan proyek ini dengan nama “One Israel Project.” Dengan proyek ini seluruh penjuru Israel bisa dijangkau dengan kereta cepat. Tidak sedikit, mereka akan menganggarkan uang sekitar 27 milyar US Dollar. Nampaknya ini juga merupakan respon dari Saudi Vision 2030 yang terus digelorakan oleh MBS.
Netanyahu dalam the Jerusalem Post mengatakan: “Di masa depan kita mampu mengangkut kargo yang berisi barang-barang pokok kita dengan kereta dari Eilat (Israel ke Pelabuhan kita di laut tengah dan kita mampu menghubungkan Israel dan Saudi dan dengan semenjung Arab yang lain melalui kereta. Kita sedang bekerja untuk itu juga.”
Jelas dari sini, Netanyahu sangat optimistik akan proyek ini. Mengapa demikian? Salah satunya adalah karena Saudi sendiri juga sedang menuju ke arah yang sejalan. Karenanya, proyek Israel ini ini sebenarnya tidak terlepas dari reaksi mereka pada upaya yang progresif dan juga ekspansif dari Mohammad bin Salman dalam memperkuat Saudi ke luar.
Dari perspektif geopolitik, ada dua negara penting di kawasan teluk yang sangat berpengaruh pada masa depan Israel; pertama, Saudi Arabia dan kedua Iran. Bekerja sama dan kolaborasi dengan Iran nampaknya akan sulit sekali. Karenanya, pilihan realistik Isreal adalah berhubungan dan berdialog dengan Saudi Arabia. Apalagi, Saudi memang dalam masa penentuan kembali visi bangsa sini ke depan pasca kejayaan minyak yang menjadi andalan pendapatan negara mereka.
Jika itu yang juga dipikirkan oleh MBS maka keberadaan Israel di kawasan Timur Tengah tidak bisa diremehkan. MBS dalam hal ini mungkin berpikir realistis dan juga pragmatis. Kesan saya, MBS ingin menjadi pelopor atas normalisasi dengan Israel. MBS ingin memainkan peran utama di antara negara-negara Timur Tengah lain yang nampaknya masih menghitung banyak ketika berhubungan dengan Israel.
Saudi dan Isreal, melalui jembatan Amerika, keduanya menghendaki normalisasi atas hubungan mereka. Duta Besar Saudi untuk Amerika, Princes Reema binti Bandar al-Saud menyatakan jika integrasi negara-negara di Timur Tengah itu penting dan maknanya adalah “masyarakat kita bekerjasama, bisnis kita bekerjasama dan pemuda kita maju.”
Upaya normalisasi ini tidak lepas dari penandatangan Abraham Accords tahun 2020 lalu. Jangan salah paham. Meskipun MBS menghendaki agar Saudi dan Israel kembali menjalin hubungan yang normal, itu bukan tidak memperhatikan apa yang terjadi pada kekerasan yang terjadi pada penduduk Palestina oleh Israel.
Posisi Arab masih seperti semula. Saudi sendiri memang menyatakan jika posisi mereka atas konflik Palestina Israel tetap sama. Saudi mendukung Arab Peace Initiative yang dicapai pada tahun 2002, yaitu upaya untuk kembali pada perdamaian yang komprehensif dengan Palestina di dalam bentuk Solusi Dua Negara.
Mungkin syarat seperti ini yang terkadang menghadang proses normalisasi Saudi-Israel. Saudi sendiri tidak ingin dilihat sebagai negara besar yang mengorbankan Palestina untuk kepentingan politik luar negeri Saudi sendiri. Saudi juga ingin menyelesaikan masalah Palestina dan Israel dengan cara yang bermartabat.
Namun hal yang menarik dari langkah MBS ini adalah dia tidak merasa bahwa masalah Israel dan Palestina sebagai hambatan yang harus dihindari. MBS tetap terus mengajak normalisasi Saudi-Israel pada satu sisi dan tetap optimis dengan mencarikan solusi perdamaian bagi keduanya pada sisi lain.
Dalam pertemuan puncak Liga Arab, status kenegaraan Palestina tetap menjadi prioritas Saudi Arabia. Saya salut dengan tindakan politik yang berani ini. Saudi adalah pusat Islam dan pemimpin Saudi secara psikologis juga menjadi kiblat pada negara-negara Islam di dunia ini. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan kebijakan mereka di Saudi itu juga berpengaruh pada negara-negara Islam lainnya, khususnya negara Timur Tengah dan Teluk.
Hal ini sangat berbeda dengan cara Indonesia dalam membela Palestina pada satu sisi dan menghadapi atau melakukan dialog dengan Israel pada sisi lain untuk kepentingan Israel. Arah Indonesia seolah-olah dengan membela Palestina segala hal yang terkait dengan Israel harus ditutup dan ditolak. Bagaimana bisa turut berkontribusi pada perdamaian dunia jika cara pandangnya hitam putih, tidak mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dari kedua belah pihak.
Kembali kepada Saudi, meskipun tantangan akan besar, tidak hanya datang dari Saudi Arabia dan negara-negara Islam, namun juga datang dari pihak Israel sendiri dan juga sebagian kalangan lobbyist di Amerika tentang staretegi MBS.
Dalam konteks penerbangan haji dari Israel ke Saudi (Mekkah) misalnya Israel harus melobby MBS apakah penerbangan bisa dilakukan langsung ataukah harus melalui negara ketiga (third country). Apa yang terjadi selama ini memang demikian adanya, namun perjalanan yang seperti itu akan lebih mahal jatuhnya dibandingkan dengan penerbangan langsung.
Bahkan menurut berita-berita di media, MBS menawarkan kompensasi bagi Saudi yang cukup mahal sebagai ganti terjadinya normalisasi hubungan Saudi dan Israel dengan disetujuinya Saudi memiliki “civilian nuclear program” (program nuklir untuk kepentingan sipil).
Arah menuju normalisasi dengan Isreal itu bukan hal yang begitu saja terjadi, namun Netanyahu pernah terbang secara langsung dari Israel menuju Riyald menemui MBS pada tahun 2020. Ini kunjungan yang terjadi bahkan pada saat kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik resmi.
Banyak kalangan yang membaca mengapa Saudi dan Israel bisa bertemu baik formal maupun informal (lebih banyak dilakukan secara clandestine), itu disebabkan karena keduanya memiliki ancaman bersama yakni Iran.
Sebagai catatan, langkah dan strategi MBS bisa dijadikan contoh bagaimana sebuah proses perundingan dilakukan menuju mutual interest dan benefit dilakukan meskipun itu dengan pihak yang selama ini dianggap musuh bersama oleh negara-negara Islam.