Pada era sosial media sekarang ini memang serba susah dan samar. Dianggapnya semua hal yang disiarkan di sosial media, lewat Twitter, Facebook dan lain sebagainya, dianggap sebagai sebuah kebenaran dan memiliki otoritas. Jika kita menerima kenyataan seperti ini akan repot semua karena orang atau influencer akan menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menundukkan orang lain. Kenyataannya memang demikian dan karena social media users atau pengguna sosial media harusnya lah kritis, rasional dan tidak begitu asal menerima.
Saya mengutarakan hal ini berkaitan dengan keadaan yang menimpa Humza Yousaf, First Minister of Scotlandia. Baru kali ini posisi First Minister dari negara ini dijabat oleh seorang yang beragama Islam.
Humza Haroon Yousaf, lelaki kelahiran 1985. Yousaf lahir dari orang tua imigran Pakistan di Glasgow. Ayahnya, Mian Muzaffar lahir di Punjab dan pada tahun 1960an dia berimigrasi dengan istrinya ke Scotlandia. Di negeri barunya ini dia menjadi seorang akuntan.
Humza menempuh pendidikan dasar menengah dan tinggi negeri Skotlandia ini. Peristiwa 11 September di Amerika ini membuka matanya untuk mengerti dan belajar politik. Ketika di bangku universitas, dia pernah menjabat sebagai Asosiasi Mahasiswa Muslim Universitas Glasgow. Pertanyaan dari teman-temannya yang selalu dia ingat pada saat kejadian itu adalah mengapa orang Islam membenci orang Amerika.
Rupaya takdir untuk menjadi pemimpin Skotlandia ini bukan hal gampang, namun ini sesuai dengan apa yang sudah dilakukan selama ini oleh Yousaf. Selepas bangku S2 di Universitas Glasgow, Yousaf memang terjun ke dunia politik. Dia pernah menjadi asisten Bashir Achmad, anggota parlemen Muslim pertama di Skotlandia. Lalu Yousaf juga bekerja sebagai asisten Alex Salmond dan Nicola Sturgeon. Lalu, Yousaf menjadi anggota parlemen 2011, menjadi anggota kabinet kementerian dan menjadi Menteri luar negeri untuk negeri ini pada 2014.
Apa yang menjadi kontroversi?
Yousaf difatwa oleh Mohamad Hijab sebagai murtad dari Islam. Siapa Mohamad Hijab ini? Dia adalah influencer Inggris yang cukup berpengaruh yang memurtadkan Yousaf karena pandangan Yousaf tentang homoseksualitas pernikahan dengan pasangan sejenis.
Fatwa melalui sosial media memang sedang menjadi trend yang tidak hanya dilakukan oleh orang seperti Mohamad Hijab pada Yousaf, pemimpin Skotlandia, namun juga terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia. Jenis fatwa yang keluar dari orang yang memberikan fatwa lewat sosial media ini juga bermacam-macam, ada yang cenderung radikal dan ada yang cenderung moderat dan progresif.
Dalam konteks dunia Islam, fatwa-fatwa radikal cenderung lebih banyak bermunculan di media sosial. Sifat media sosial yang terbuka ini menyebabkan seolah-olah semua orang berhak mengeluarkan fatwa, meskipun pada dasarnya mereka tidak memiliki kapasitas dan otoritas berfatwa.
Kelompok radikal dan militan menggunakan sosial media untuk menghukumi dan menghakimi pihak yang mereka anggap lawan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Mohamad Hijab atas Perdana Menteri Skotlandia, Humza Yousaf.
Namun celakanya, mereka yang berfatwa ini tidak semuanya memiliki kapasitas dan otoritas. Kita ingatkan fatwa-fatwa yang dilontarkan oleh Sugik Nur Ganjar, Jokowi dan pada semua orang yang dia anggap lawannya. Sugik Nur menfatwakan bahwa memilih Ganjar itu haram. Bagi penfatwa seperti Nur Sugik yang penting mengeluarkan pendapatnya dan bisa didengar orang. Urusan apakah dia orang yang memang berhak mengeluarkan fatwa, artinya, ilmunya cukup, itu perkara lain. Urusan apakah isi fatwanya benar juga bukan itu perkara lain baginya.
Kembali pada masalah fatwa liar di media sosial jangan diterima begitu saja jika itu dikeluarkan oleh pihak yang tidak memiliki kepasitas keahlian dan juga tidak memiliki otoritas. Ini bukan persoalan penggunaan sosial medianya untuk berfatwa, namun soal apa isi fatwa dan oleh siapa fatwa itu dikeluarkan.
Sebenarnya mengeluarkan pendapat hukum dengan penamaan fatwa juga sebuah beban sendiri karena istilah fatwa dibawa-bawa untuk hal yang sebenarnya tidak atau belum memenuhi kriteria sebagai sebuah fatwa.
Kembali lagi pada kasus fatwa yang dikeluarkan oleh Hijab atas Humza Yousaf ini menjadi kontroversial karena memberi kesan bahwa Islam itu dipahami sebagai agama yang judgmental dan menghakimi. Posisi Humza sebagai pemimpin pemerintahan di negeri yang sekuler tidak dipahami oleh Hijab. Aturan Skotlandia sudah barang tentu bukan aturan syariah karena Skotlandia bukan wilayah syariah dan Humza adalah pemimpin pemerintahan negeri yang memang sistem politiknya sekuler. Bahkan Hijab ini terkesan membabi buta dan menciptkan sinisme sosial melalui fatwa-fatwanya.
Bagi Usaama al-Azami (pengajar studi Islam kontemporer) pada Universitas Oxford, menyatakan bahwa seseorang itu kafir itu perkara yang serius. Bagi Usaama, fatwa seperti yang keluarkan Hijab atas Yousaf itu dikhuwatirkan akan berdampak pada masyarakat. Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi apabila fatwa liar ini adopsi atau dipercaya di negara di mana sistem budayanya feodal. Masyarakat bisa main hakim sendiri untuk mengikuti fatwa tokoh yang mereka idolakan.
Wujud dari bahaya fatwa liar itu terjadi pada kasus terorisme dan esktremisme. Para teroris itu banyak yang bertindak berdasarkan fatwa dari rujukan mereka.
Fatwa seperti yang dikeluarkan oleh Hijab ini, ternyata dia tidak hanya menfatwakan kafir pada Yousaf namun siarannya juga menyerang pada siapa saja yang dia anggap layak sebagai kafir, itu akan berdampak pada kelompok masyarakat atau individual yang lemah. Mereka ini bisa menjadi korban dari kekejaman fatwa seperti ini.
Di Indonesia, hal yang demikian nampaknya sudah kerap terjadi. Musim pencapresan Pemilu 2024 ini sudah menunjukkan bagaimana fatwa liar soal kebencian beredar digunakan untuk mendukung capres ini dan itu.
Kita tidak bisa menghindar dari masalah ini. Era sekarang memang era media sosial. Ide dan fatwa keagamaan baik yang progresif maupun ekstrim berkeliaran di mana-mana setiap detik dan menit di hadapan kita. Bahkan itu sering terjadi di dalam echo chamber.
Sebagai catatan, jangan langsung percaya pada fatwa, apalagi fatwa ekstrim, yang dikeluarkan lewat media sosial. Fatwa yang seperti ini belum tentu benar. Kita harus kritis pada fatwa-fatwa ekstrim di media sosial karena dampak di lapangan bisa merusak tatanan dan bahkan membuahkan korban.