Menteri Sandiaga Uno diberi tugas pokok antara lain mengembangkan wisata halal. Sebenarnya wisata halal ini bagian dari konsep besar pemerintah Jokowi tentang ekonomi halal yang sering disebut-sebut. Wisata halal dianggap sebagai penyumbang yang potensial bagi ekonomi halal di Indonesia. Karena Sandiaga adalah menteri, maka program wisata halal ini adalah program negara, program untuk semuanya.
Sebenarnya, sebagian kelompok Muslim Indonesia ini memang sudah lama ingin menerapkan norma agama dalam kehidupan ekonomi negara. Tahun 1990an, Suharto dan ICMI sama-sama dulu saling mendukung mendirikan BMI –Bank Muamalat Islam. Bank ini selama lebih 20 tahun beroperasi, sampai kemudian mengalami kebangkrutan. Penerapan konsep ekonomi Islam di Indonesia memang tidak mudah.
Perkembangan ekonomi syariah masih sangat tertatih-tatih, namun mereka yang ingin menjadi ekonomi syariah sebagai alternatif ekonomi konvensional tetap tidak putus harapan. Mengapa mereka tidak putus harapan, karena ekonomi syariah lah yang menjadi penyelamat ekonomi Islam baik di dunia maupun di akhirat Kalau tidak mengalami keberhasilan di dunia, setidaknya dengan ekonomi syariah umat Islam tidak hidup dengan riba. Demikian pandangan para penganjur pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia.
Namun sayangnya, pandangan ini tidak menyertakan bahwa sekarang ini, tanpa mengatakan ekonomi syariah, banyak bank-bank di Eropa seperti Jerman, Austria, Swizz, Jepang dlsb, yang sudah menerapkan nol bunga. Artinya, tanpa biaya. Di dalam ekonomi syariah, label non-riba tetap dimajukan, namun dalam praktinya, biaya bagi hasil atau apapun namanya yang ditanggung oleh peminjam itu ada dan nilainya tidak terlalu berbeda dengan bunga di bank konvensional.
Cerita bank syariah sudah kita lihat dan dengar bersama, dan hasilnya masih terus kita lihat bersama. Kini pada zaman Pak Jokowi, masyarakat Muslim sebagian ingin juga menerapkan norma syariah dalam pariwisata dan produk halal. Pendek kata, ekonomi halal. Dalam praktinya, semua produk harus mendapatkan sertifikat halal. Tidak hanya produk dalam bentuk barang, namun produk dalam bentuk jasa. Barang dan jasa menurut UU No. 33/2014 harus mendapatkan sertifikat halal. Jika dari 1990, sertifikat halal ini dikeluarkan oleh MUI, maka sejak tahun 2019, sertifikat halal harusnya dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyenggara Jaminan Produk Halal).
Orang bertanya untuk apa MUI dulu mengeluarkan sertifikat halal? Jelas, alasan MUI adalah untuk menjaga umat Islam agar tidak memakan dan meminum barang haram. Tujuannya adalah agama dan itu menjadi tugas MUI, paling tidak menurut MUI. Adapun jika proses ini memiliki implikasi komodifikasi, maka itu adalah dampak samping, bukan hal yang dituju oleh MUI pada mulanya.
Kini, tidak hanya MUI yang memandang jika sertifikasi halal itu penting, namun juga negara. Sembari menguatkan rezim sertifikasi halal, negara melihat ada potensi bisnis dan ekonomi yang besar di dalam sertifikasi halal. Ada potensi produk dan bidang jasa yang akan menjadi pasar yang bisa diandalkan oleh negara. Karena itu, negara menganggap penting untuk mendukung proyek sertifikasi halal.
Bahkan, negara tidak hanya mendukung, namun kini mengambil kendali bagi sertifikasi halal dengan pendirian BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal). Indonesia ingin menjadi pemain utama ekonomi halal di dunia ini: produk dan jasa. Wisata memang menjadi andalan bagi Indonesia, namun mengatur wisata halal sebagai program pemerintah itu yang akan mengundang kontroversi terutama terutama bagi obyek-obyek wisata yang memang tidak memerlukan label halal pada mereka. Katakanlah Bali dan Danau Toba. Apa kira-kira yang mereka tanggapi dengan program Pak Sandiaga Uno ini?
Memang potensi ekonomi halal ini sangat tinggi dan pemain industri halal justru tidak aktor dari negara yang mendeklarasikan sebagai negara yang memang menginginkan halal. Dari lima negara yang menjadi pemasok daging halal terbesar di dunia didominasi 5 negara non-Muslim. Mereka adalah Brazil ($ 5.19 bn), Australia ($ 2.36), India ($ 2.28 bn), Prancis ($0.8 bn) dan Cina (0.7 bn). Bagaimana posisi negara-negara Muslim? 5 negara Muslim terbesar yang mengimport daging halal adalah Arab Saudi, Malaysia, Uni Emirate Arab, Indonesia dan Mesir. Ini adalah kenyataan yang kita hadapi dengan ekonomi halal kita.
Lalu mana yang menjadi tujuan negara, apakah aspek syariahnya atau aspek komodifikasinya dalam ekonomi halal ini? Dua-duanya ada. Beberapa kalangan merasa keberatan dengan barang atau jasa yang dikasih label agama –halal dan haram—karena pelabelan agama yang diwajibkan oleh negara akan menyebabkan terjadinya benturan dengan demokrasi.
Dengan pelabelan halal pada hal-hal yang berkaitan dengan pilihan pribadi, negara seolah-olah sudah masuk ke ruang pengaturan ajaran agama. Makan, minum dlsb, diatur semuanya oleh negara. Pengaturan ini bukan didasarkan pada nilai-nilai yang disepekati bersama namun didasarkan pada ajaran dan norma agama tertentu. Mungkin kesepakatan dicapai dalam penetapan UU Jaminan Produk Halal, namun materinya adalah materi agama tertentu. Pengukuhan boleh dan tidaknya mengkonsumsi barang berdasar norma agama tertentu adalah bisa dikategorikan sebagai perwujudan aspirasi agama tertentu untuk mengatur agama lain.
Sebagai catatan, menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi halal dunia dan juga di dalamnya wisata halal tidak serta merta menjadikan seluruh kegiatan ekonomi dan wisata dilabeli dengan halal. Apa yang penting sebenarnya adalah bagaimana kegiatan ekonomi dan wisata dilaksanakan secara terbuka dan menghargai nilai-nilai yang diyakini oleh para pelaku ekonomi. Memaksakan sebuah program pemerintah dengan label agama tertentu akan menjadi pupuk bagi polarisasi berbasis agama di negeri tercinta ini. Jadi, hal ini aspirasi atau inspirasi?