Sabtu, April 20, 2024

Dukungan Sosial dan Politik atas Kebijakan-kebijakan Gusmen

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Beberapa waktu lalu, Persaudaraan Alumni (PA) 212 berdemo lagi di depan kantor Kemenag menuntut permintaan Kemenag dan bahkan mundur dari jabatan. Dengan menggunakan penistaan agama sebagai senjata, tapi pelaksanaan demo mereka malah bisa menjadi alasan pihak lain untuk menuduh mereka telah melakukan penistaan agama.

Menurut kabar media, Buya Fikri, salah satu pemimpin demo mereka, telah melakukan shalat Asar yang keliru dalam hal rekaatnya. Dia mengakuinya. Meskipun dia sudah minta maaf, namun pihak lain tetap bisa menuduhnya sebagai praktik yang sengaja dia lakukan untuk menghina Islam karena mempertontonkan kekeliruan salat Asar di ruang publik. Tapi, saya berharap tidak ada pihak yang menuntut kekeliruan shalatnya itu sebagai bentuk penistaan Islam.

Dalam demo itu, mereka mengancam bahwa mereka akan terus mereka lakukan demonstrasi berjilid-jilid sebagaimana dinyatakan oleh Novel Bamukmin dan kawan-kawan mereka. Saya melihat narasi yang mereka keluarkan sebagai bentuk gertakan saja. Mereka menginginkan plot gerakan yang mereka pakai untuk Ahok dipakai lagi untuk kasus Gusmen.

Saya kira mereka terlalu berambisius. Dalam banyak hal kasus Ahok dan kasus Gus Men itu berbeda.

Dulu, pada zaman mereka mendemo Ahok, kekuatan mereka penuh. Dukungan dari pelbagai kalangan muncul karena tindakan mereka terkait dengan soal perebutan kekuasaan di Jakarta. Sentimen keagamaan juga mereka gunakan; Ahok Kristen dan menghina Islam. Narasi seperti ini sendiri dulu sangat efektif, namun tidak bisa mereka pakai untuk Gusmen.

Dulu, mereka memiliki tokoh yang bisa menjadi penyatu suara-suara yang anti Ahok katakanlah, Rizieq Shihab. Kini mereka tidak punya. Bahkan tokoh yang mereka tampilkan seperti Buya Fikri malah menunjukkan tindakannya fatal di depan publik. Shalat Asar keliru, bagaimana orang bisa menganggapnya sebagai tokoh penggerak.

Dulu, salah satu faktor keberhasilan mereka adalah adanya legitimasi fatwa dari MUI. Namun, secara resmi MUI mendukung kebijakan yang dikeluarkan Gusmen. Kita tahu bahwa Buya Fikri memang pengurus MUI, dan masih ada elemen MUI yang mengecam kebijakan ini, namun kekuatan mereka di dalam MUI tidak sebanding dengan kekuatan yang mendukung kebijakan Gusmen.

Dukungan partai politik juga tidak begitu terlihat. Orangnya ya paling itu-itu saja, sudah bisa ditebak.

Selain itu, tokoh yang mereka hadapi sekarang adalah bukan tokoh biasa. Gusmen adalah salah satu tokoh penting dari organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia juga menjadi pemimpin ormas kepemudaan terbesar di Indonesia, Ansor. Di dalam Ansor ada Banser, Barisan Serba Guna, yang di bawah komandonya. Dari sini saja mereka seharusnya menghitung apakah gerakan mereka berhasil atau tidak.

Apakah mereka tidak berhitung hal-hal seperti ini? Mungkin mereka berhitung mungkin mereka tidak. Saya melihat bahwa bagi mereka yang paling penting adalah bergerak. Segala hal yang bisa dijadikan sebagai waktu untuk tampil (moment of appearance), maka mereka akan gunakan saja. Gerakan mereka adalah gerakan sporadis, terus mencoba, dan mencoba, sampai kemudian ketemu pada bingkai besar mereka. Namun untuk sampai pada bingkai besar ini terasa sulit.

Saya amati bahwa gerakan 212 ini memang sedang kehilangan relevansinya. Karenanya, segala kesempatan yang memungkinkan bagi mereka untuk bisa menggunakan panggung, maka mereka akan menggunakannya. Urusan berhasil atau tidak, itu hal yang ke sekian kalinya. Karenanya, saya melihat upaya-upaya membangkitkan semangat dan emosi 212 lalu tidak terlalu berhasil.

Apakah dengan usaha yang gagal terus akan menghentikan mereka? Saya kira tidak. Mereka akan terus berjalan.

Gerakan “contentious” ini akan terus mereka jalankan tidak hanya pada level gerakan di lapangan, namun itu dicoba untuk dikaitkan dengan upaya-upaya di tingkat cyberspace. Misalnya, sekarang mereka atau bagian dari mereka yang setuju mencoba mengkonsolidasikan penyebaran disinformasi di sosial media tentang Gusmen. Dan gerakan semacam ini sudah menjadi semacam model.

Meskipun menurut perhitungan saya gerakan mereka kali ini akan gagal, namun pada masa-masa mendatang, saya melihat Gusmen dan kementeriannya akan fokus dan sasaran mereka. Hal ini bisa terjadi karena banyak agenda dan pekerjaan Gusmen dan Kementeriannya yang bersinggungan dengan isu-isu yang bisa mereka gunakan. Mereka akan mengincar isu-isu keagamaan, terutama keislaman, mana yang mereka bisa oleh untuk dijadikan sebagai modal mobilisasi mereka.

Selain itu, menjadikan Gusmen dan kementeriannya sebagai bidikan mereka, itu artinya mereka membidik dua; pertama adalah pemerintahan dan kedua adalah organisasi yang menjadi latarbelakang Gusmen, dalam hal ini NU.

Arah pemerintahan adalah upaya mereka untuk terus mendeligitimasi kebijakan pemerintahan sekarang untuk urusan politik mereka. Mereka anggap bahwa kebijakan-kebijakan kementerian agama tidak membela dan berpihak pada umat Islam. Arah organisasi Gusmen, jika gerakan mereka bisa menjatuhkan Gusmen itu artinya yang jatuh bukan hanya Gusmen namun organisasi yang menaunginya, NU. Jika NU terdelegitimasi, maka mereka anggap sebagai sukses besar.

Saya percaya pada sisi pribadi Gusmen, dia tidak akan goyah. Jika kita melihat track record menteri agama ini, maka kita tahu bahwa dia bukan tipe orang yang gampang mundur dan menyerah, apalagi untuk hal-hal keIndonesiaan dan keIslaman yang damai dan toleran. Dalam pelbagai banyak kesempatan, sikap itu terbukti, paling tidak saat ini.

Justru yang menjadi kekhawatiran saya adalah sejauh mana sebagai mesin birokrasi unsur di dalam Kemenag bisa terus solid mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh menterinya. Misalnya, pasca kejadian seperti ini, bagaimana nasib program reformasi keagamaan yang selama ini diintrodusir oleh Menteri Agama. Apakah berhenti karena ingin menenangkan masalah atau akan jalan terus?

Katakanlah sebagai contoh di sini adalah program sertifikasi pendakwah. Ini isu lama, namun pelaksanaanya oleh Kemenag tertunda karena ditentang oleh sebagian kalangan termasuk MUI pada saat itu.

Sebagai catatan, gerakan 212 yang dipelopori oleh PA 212 akan terus mencari sela dan kesempatan untuk terus mengkritik Gusmen. Ini bukan soal Gusmen saja, bagi mereka, ini adalah soal agenda besar mereka yang terkait dengan mendelegitimasi kebijakan keagamaan pemerintah dan juga legitimasi NU.

Saya melihat bahwa dukungan sosial dan politik atas kebijakan-kebijakan Gusmen dalam Kemenag itu akan solid dari level non-pemerintah. Sekarang, bagaimana dari dalam pemerintah atau mesin birokasi pemerintah itu sendiri.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.