Beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan transaksi di Pasar Mu’amalah Depok yang menggunakan dinar dan dirham sebagai satuan alat tukar mereka. Di balik transaksi mu’amalah dinar dan dirham terdapat semacam klaim bahwa transaksi dengan menggunakan dinar dan dirham inilah yang sesuai dengan syariah.
Pihak Bank Indonesia segera memberi respon atas peristiwa ini sebagai peristiwa yang bisa dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran transaksi yang sesuai dengan aturan. Pihak penyelenggara menjelaskan bahwa transaksi di Pasar Mu’amalah mereka tidak hanya menggunakan dinar dan dirham namun juga mata uang rupiah dan lainnya sebagai alat tukar.
Terlepas dari penjelasan pihak penyelenggara pasar mu’malah, namun transaksi ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh obsesi pihak penyelenggara agar Indonesia menggunakan alat tukar dinar dan dirham. Kali ini saya ingin secara khusus melihat sejarah dinar. Saya ingin menjawab bagaimana sejarah dinar dan dirham dan apakah dinar dan dirham ini benar-benar merupakan ciri khas mata uang di dalam Islam? Sejak kapan dinar digunakan sebagai mata uang dunia Islam?
Mari kita mulai dengan sejarah asal-usul dinar. Kata dinar itu sendiri bukan merupakan kata yang memiliki akar pertama di dalam bahasa Arab. Dinar berasal dari kata dalam bahasa Latin, denarius (tunggal, singular) dan dinarii adalah bentuk jamaknya (plural). Dinar ini mata uang Kerajaan Romawi Timur (Byzantine) namun bukan satu-satunya jenis mata uang yang dipakai di kerajaan ini.
Sementara dirham yang memiliki akar kata dalam bahasa Yunani Kuno “drekhme” ini adalah mata uang perak yang dipakai sebagai mata uang pada zaman Persia pra-Islam. Ketika Rasulullah datang ke Mekkah, maka beliau tetap menyetujui pemakaian dinar dan dirham sebagai alat tukar pada masa beliau. Demikian menurut sejarahwan Muslim terkemuka al-Baladhuri dan al-Maqrizi (al-Baladhuri dalam kitab Futuh al-buldan, 1956, Cairo: Al-kutub al-arabiyah, dan, al-Maqrizi dalam al-Mawa’iz wa wa al-i’tibar bi dhikri al-kitat wa al-har, 1911, Cairo: Matba’at al-halabi).
Meskipun Nabi sudah menerima mata uang dinar dan dirham pada masanya, namun secara resmi di dalam sejarah Islam, dinar pertama kali diresmikan sebagai koin-Islami (Islamic coinage) pada abad 7 Masehi di masa Khalifah Abdul Malik, khalifah kelima dari lingkungan Dinasti Umayyah. Abdul Malik inilah yang memperkenalkan koin yang didasarkan pada model koin Yunani dan Romawi ini.
Khalifah Abdul Malik melakukan pembaharuan, namun bukan pada model koinnya namun pada tulisan (inskripsi) di mata uang koin tersebut dari bahasa Yunani dan Romawi ke bahasa Arab. Para ahli sejarah menyatakan jika adopsi mata uang koin dari model Yunani dan Romawi ke dalam dunia Arab-Islam pada saat itu dianggap sebagai salah satu gelombang Islamisasi awal.
Kenapa disebut sebagai gelombang Islamisasi karena koin model Yunani dan Romawi itu bukan bagian dari Islam dan karena Khalifah Abdul menganggap bahwa mata uang koin itu bisa dijadikan sebagai mata uang Dinasti Umayyah. Karenanya, model mata uang itu harus diberi warna Islam. Dalam konteks masa lalu itu, warna Islam adalah penambahan inskripsi di koin dengan huruf Arab karena Arab adalah bahasa politik dan masyarakat Islam saat itu.
Berdasarkan catatan sejarah itu, jika ada pernyataan bahwa dinar ataupun juga dirham itu adalah mata uang koin yang khas Islam, maka pernyataan itu sebenarnya tidak sesuai dengan sejarah Islam itu sendiri.
Dalam tradisi Yahudi Kuno dinar dan dirham juga digunakan. Ya, Nabi mengakui keberlakuan dinar dan dirham, namun Nabi tidak mengklaim bahwa itu berasal dari Islam. Pelajaran yang bisa kita ambil dari soal dinar dan dirham adalah bahwa kita, umat Islam, sering melakukan klaim akan sebuah tradisi yang pada dasarnya bukan asli keluar dari rahim Islam, namun dianggap sebagai asli Islam.
Saya pikir kasus dinar dan dirham ini adalah contoh yang jelas dari contoh-contoh lain. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah mengapa sebagian umat Islam sering bersikukuh bahwa dinar dan dirham itu asli Islam, padahal dengan mengakui bahwa kedua jenis alat tukar itu sesuai dengan fakta sejarah justru menunjukkan bahwa Islam sebagai agama itu sangat terbuka.
Islam adalah agama bisa menerima hal-hal di luar Islam jika hal-hal itu ternyata memiliki manfaat besar bagi umat Islam. Kalangan Muslim ideologis nampaknya ingin mendaku dinar dan dirham sebagai hal yang sangat Islami untuk kepentingan ideologis mereka, bukan untuk kepentingan Islam itu sendiri.
Saya kira, bersikap obyektif dalam memandang sejarah atas peristiwa dan hal apa saja dari masa lalu adalah sikap terbaik untuk dunia Islam agar kita terlepas dari jebakan ekslusivisme keagamaan. Pastinya, sikap demikian akan menguntungkan Islam.
Umat Islam di Indonesia, jika ingin mengajukan syariah sebagai bagian dari gaya hidup dan bahkan aturan negara dan masyarakat, maka hal yang tidak bisa tinggalkan adalah sikap obyektif dalam memandang fakta sejarah. Di dalam fakta sejarah kehidupan ekonomi dengan segala implikasinya adalah sejarah yang tidak hanya terkait dengan umat Islam saja, namun juga umat agama-agama lain.
Bahkan sebelum agama muncul di bumi, transaksi ekonomi sudah berjalan dan menggunakan barter sebagai alat tukar misalnya. Saya setuju bahwa ada beberapa aspek ekonomi yang diajukan Islam seperti penghilangan riba yang berlipat-lipat namun itu semua juga harus diletakkan dalam konteks sejarah secara holistik. Sekali lagi, cara demikian sangat berguna dan memberi nilai tambah pada Islam.
Sebagai catatan, pasar mu’amalah yang menggunakan dinar dan dirham itu sudah pernah terjadi ribuan waktu lalu dan yang melakukan adalah kerajaan Byzantine dan Persia Pra Islam. Jika kita mengganggap bahwa mata uang dinar dan dirham adalah mata uang yang sesuai dengan syariah Islam, maka kita jangan lupa bahwa dinar dan dirham adalah jenis model mata uang yang berasal dari tradisi non-Islam yang diislamkan. Demikian.