Kamis, Maret 28, 2024

Di Bawah Erdogan Turki Lebih Tidak Demokratis dari Indonesia

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Turki di bawah kepemimpinan Erdogan sering dibanding-bandingkan dengan Indonesia di bawah Jokowi. Perbandingan dan penghadap-penghadapan antara Erdogan dan Jokowi yang sering dilakukan oleh kelompok Islamis ini karena keduanya memang memimpin dua negara Muslim terbesar dalam waktu yang sama.

Indonesia memiliki penduduk mayoritas Muslim (87 %) dan Turki memiliki penduduk Muslim 96 %. Keduanya adalah negara yang tidak menganut sistem syariah sebagai sistem negaranya. Bahkan Turki sampai sekarang masih menjadi negara yang secara resmi menganut pemisahan antara urusan agama dan politik, atau populer dengan sebutan sekularisme.

Namun semenjak Erdogan memimpin Turki —sebenarnya berganti-ganti posisinya antara presiden dan perdana menteri—kalangan Islamis Indonesia –kalangan yang menginginkan Indonesia menggunakan sistem politik Islam– seringkali mengungkapkan bahwa Turki di bawah Erdogan jauh lebih sukses dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi.

Dalam catatan kali ini, saya ingin menyoroti benarkan benarkah Turki dalam kepemimpinan Erdogan itu lebih sukses, katakanlah lebih demokratis dan terbuka pada rakyatnya, dibandingkan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi?

Seringkali kampanye keberhasilan kepemimpinan Erdogan di Turki yang dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi didasarkan pada asumsi-asumsi ideologis. Ternyata, dalam soal kebebasan dan demokratisasi, Erdogan banyak membuat kebijakan yang tidak memberi ruang kebebasan dan demokrasi kepada rakyatnya.

Sejak zaman Kemal Attaturk sampai sekarang, Turki masih setia dengan konsep pemilahan urusan agama dan politik. Konsep pemerintahan sekularisme ini tetap menjadi pilihan Turki. Bagaimana dengan Erdogan?

Erdogan secara formal tidak memiliki keberanian untuk mengubah sistem ini, namun secara diam-diam kebijakan dia sering bernuansa pengutamaan pada aspirasi kaum Islamis di Turki. Menurut catatan Ahmet T. Kuru Erdogan dianggap sebagai pemimpin Turki yang mencoba membangun negerinya di atas ideologi Islamis-populis (lihat buku, Ahmet T. Kuru, Islam, Authoritarianism and Underdevelopment; Global and Historical Comparison, Cambridge University Press, 2019).

Jika demikian yang terjadi, maka Ketika Indonesia berusaha mati-matian mempertahankan bentuk negara Pancasila dari serangan bertubi-tubi dari kelompok khilafah dan Islamis, Erdogan berkeinginan untuk melakukan perubahan diam-diam atas pembentukan negara yang berbeda dengan aspirasi para pendiri Republik Turki, yakni mengubah Turki dari negara berprinsip sekuler ke negeri yang berdasar pada Islam. Inikah yang dianggap sebagai kelebihan Erdogan?

Beberapa hal yang sering dikemukakan oleh para Islamis dalam menggunggulkan Turki di bawah Erdogan atas Indonesia di bawah Jokowi adalah keleluasaan yang diberikan kepada kalangan agamawan. Indonesia dianggap oleh kalangan Islamis Indonesia banyak melakukan kriminalisasi ulama, menciptakan kasus hukum bagi kalangan agamawan yang kritis dlsb, Erdogan sebaliknya. Apakah benar demikian adanya? Mari kita lihat cara Erdogan menangangi kehidupan beragama, katakanlah Islam.

Di dalam sistem ketatanegaraan Turki, lembaga yang mengurusi soal keagamaan disebut dengan Diyanet. Lembaga Direktorat Urusan Keagamaan ini memang disusun berdasar pada prinsip sekularisme, di mana urusan agama memang secara khusus dibuatkan tempat tersendiri dan terlepas dari politik. Urusan masjid terutama menjadi wilayah Diyanet.

Bagaimana pada masa Erdogan ini dalam mengatur masalah masjid dan kaitannya dengan klaim kaum Islamis atas sikap demokratis dan keterbukaan Erdogan ini?

Ternyata, Diyanet digunakan oleh Erdogan untuk lebih mengontrol kehidupan keagamaan di Turki daripada membebaskannya. Bayangkan, ada 100,000 masjid yang masih dikontrol untuk menyuarakan aspirasi rezim populis-islamis ini. Seluruh masjid di Turki, setiap Jumat tiba harus menunggu teks resmi yang diedarkan oleh Diyanet untuk materi khutbah-khutbah para imam mereka. Bayangkan kalau itu dilakukan oleh Jokowi di Indonesia di mana teks khutbah dikontrol oleh Kementerian Agama, pasti kaum Islamis yang menyanjung Erdogan langsung mengatakan Jokowi anti-umat Islam.

Bahkan, Erdogan menggunakan kekuasaannya atas masjid untuk turut berkampanye mendukung dia. Jangankan mengontrol khutbah Jumat seluruh Indonesia seperti Erdogan pada Diyanet, mengusulkan adanya sertifikasi dakwah yang bertujuan meningkatkan literasi pendakwah, Jokowi langsung mendapat protes. Sertifikasi dakwah dianggap sebagai bentuk pembungkaman atas suara dan kebebasan kaum agamawan di Indonesia.

Dalam catatan Ahmet T. Kuru, model kepemimpinan Erdogan di atas telah mengadopsi sejumlah daftar dari cara kepemimpinan otoriter termasuk penguasan properti (kekuasaan) ribuan warga negara dan juga pemenjaraan ribuan orang dengan menggunakan sanksi teroris.

Tindakan-tindakan yang demikian ini dimana kalangan Islamis yang memuji Erdogan dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Jika itu terjadi, maka mereka mencarikan argumen bahwa apa yang dilakukan Erdogan adalah untuk Islam. Namun jika itu terjadi pada Jokowi, meskipun levelnya jauh sekali di bawah Erdogan, maka kaum Islamis Indonesia akan mengatakan Jokowi bengis dan menindas umat Islam.

Masih banyak contoh-contoh yang lain sebenarnya yang menyebabkan kemimpinan Erdogan di Turki tidak lebih baik dari kepemimpinan Jokowi di Indonesia saat ini. Perburuan Erdogan yang sampai saat ini terjadi atas ribuan aktivis dan juga politis Kurdhi dan juga kaum Gulen, sebuah organisasi yang dulu merupakan teman Erdogan, yang pimpin Futhullah Gulen. Dari kawan karib menjadi musuh utama. Jika ini terjadi pada Jokowi, maka jelas kaum Islamis akan mengatakan Jokowi melakukan kriminalisasi ulama, Erdogan melakukan perlindungan diri atas kepemimpinan syah dia di Turki.

Sebagai catatan, klaim-klaim Turki di bawah Erdogan lebih unggul dari Indonesia di bawah Jokowi adalah klaim-klaim yang seringkali didasarkan pada sikap inkonsisten dan cara pandang kaum Islamis. Jika mereka konsisten bagi Turki di bawah Erdogan sebenarnya tidak lebih demokratis dan terbuka dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi saat ini.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.