Kamis, Oktober 10, 2024

Dari Rasmus Paludan hingga Salman Rushdie

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Peristiwa yang memicu kemarahan umat Islam di Indonesia dan bahkan seluruh Indonesia terjadi lagi. Rasmus Paludan, politikus dari sayap kanan Swedia membakar al-Qur’an. Perbuatan politikus Swedia, meskipun bukan mewakili bangsanya (negaranya), itu memicu kemarahan di kalangan umat Islam di dunia termasuk Indonesia.

Peristiwa yang sejenis sebenarnya sudah sering terjadi. Kasus di Prancis, di Amerika, dan pelbagai negara, yang melecehkan al-Qu’ran terus saja terjadi. Dan setiap peristiwa seperti ini terjadi umat Islam langsung bereaksi dengan jenis reaksi yang berbeda-beda tingkatannya.

Saya bisa sangat memahami dan sepakat bahwa umat Islam perlu tersinggung pada peristiwa seperti ini. Al-Qur’an adalah segalanya bagi umat Islam, kitab suci dan jantung Islam, karenanya, jika ada yang menghina al-Qur’an, maka reaksi keras pasti akan muncul.

Dulu sebelum Rasmus Paludan, Geert Wilders, Pemimpin Partai Kebebasan Belanda (PVV) menghina Rasululah dan meminta agar al-Qur’an dilarang beredar dan masjid ditutup. Charlie Hebdo di Prancis beberapa tahun lalu juga membuat kartun yang mengina Islam. Nampaknya, fenomena seperti ini akan terus terjadi.

Pertanyaan saya dan mungkin juga banyak kalangan di sini, mengapa peristiwa seperti yang dilakukan oleh Rasmus Paludan dan Geertz Wilders ini acapkali terjadi? Ada faktor apa yang melatarbelakangi masalah ini?

Wilders yang mengekspresikan kebenciannya terhadap Islam itu ternyata tidak begitu saja benci pada Islam, namun ada hal –faktor–yang melatarbelakanginya. Wilders misalnya berpikiran jika ajaran Islam dianggap tidak sesuai dengan tradisi di negaranya, Belanda. Wilders mengecam aspek jihadisme di dalam Islam dengan perspektif dan caranya sendiri. Wilders juga melihat fenomena umat Islam yang menjadi imigran di Belanda yang dia lihat menunjukkan tingkah laku dan karakteristik yang bisa mengancam tradisi Belanda.

Rasmus Paludan yang merobek atau membakar al-Qur’an nampaknya juga memiliki kebencian atas Islam karena melihat kaum imigran Muslim di negerinya yang dianggap sebagai representasi Islam.

Pada tahun 2018, Rasmus Paludan menyatakan: “The enemy is Islam and Muslims. The best thing would be if there were not a single Muslim left on this earth. Then we would have reached our final goal”, artinya, musuh mereka adalah Islam dan Muslim. Kondisi yang terbaik jika tidak ada satupun Muslim yang tertinggal di muka bumi ini. Dan kita –partai Paludan ini—akan mencapai tujuan ini.

Semua ide yang melatarbelakangi mereka –Partai Haluan Keras Paludan—adalah ide tentang etno-nasionalisme. Paludan mengajukan ide yang gila untuk kewarganegaraan Denmark di mana yang disebut warga Denmark adalah mereka yang kakek nenek mereka dari kedua pihak asli Denmark. Ingat, tidak hanya orang tua, namun garisnya sudah sampai kakek nenek mereka.

Pada tahun 2019 Rasmus Paludan kembali berbuat ulah. Rasmus Paludan dan pendukungnya menyatakan jika semua Muslim yang hidup di Denmark harus dikeluarkan dari negeri ini. Artinya negara atau pemerintah Denmark diminta untuk ikut campur agar orang Islam tidak ada yang hidup di negeri dia. Mengapa mereka –orang Islam–harus diusir dari Denmark karena Paludan ingin untuk melindungi komunitas etnik di Denmark itu sendiri. Paludan sendiri memang berasal dari partai Haluan Kanan atau Garis Keras. Agenda utama partai Haluan Kanan adalah mengusir Islam (umat Islam).

Pada tahun 2019 ini, Paludan juga sudah membakar atau membuang al-Qur’an ke udara. Media di Denmark pada saat itu juga terkesan memberi ruang Paludan untuk mempromosikan ide anti Islam ini.

Paludan secara sengaja melakukan kampanye anti Islam justru di ibu kota Denmark di mana umat Islam banyak yang tinggal di kawasan tersebut. Menurut hitung-hitungan, umat Islam diperkirakan hidup di Denmark sejumlah 250 ribu lebih dari jumlah populasi negeri ini secara keseluruhan hampir 6 juta. Jumlah itu memang masih di bawah 5 %, namun bagi orang seperti Paludan itu sudah cukup menjadi ancaman.

Tapi ingat, atas aksi itu, banyak kalangan politisi dan tokoh yang menganggap Paludan itu bagaikan Nazi karena caranya menurut mereka kritis pada tokoh ini dan partainya persis sebagaimana yang dilakukan oleh nazi. Bahkan, Paludan pernah dijatuhi hukuman atas sikap rasismenya terhadap orang Afrika. Dia mengatakan jika orang Afrika itu less intelligent, kurang pintar.

Apakah situasi itu membuat Paludan dan atau mungkin tokoh-tokoh politisi Eropa yang Islamophobic itu menjadi jera? Jelas itu tidak menjamin jika kita melihat apa yang Rasmus Paludan lakukan. Mungkin hal yang sama juga mungkin akan terjadi pada mereka yang memang anti pada Islam.

Namun hal yang menarik adalah respon atas kejadian itu. Di Indonesia jelas, respon muncul dalam pelbagai cara dari yang persuasive dan sangat keras. Gus Yahya, ketum PBNU, menanggapi isu ini dengan bijak. Gus Yahya menghimbau agar kita berorientasi pada penguatan di dalam, iman, umat Islam sendiri. Kata Gus Yahya, al-Qur’an tidak menjadi hina karena pembakaran mereka itu.

Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, menanggapi isu itu dia ingin mencetak al-Qur’an sebanyak sejuta eksemplar untuk dibagikan ke seluruh dunia. Ini respon yang menarik karena cara ini menunjukkan kedewasaan pemerintahan Malaysia dalam bereaksi atas kehebohan ini. Mungkin mereka juga berpikir bahwa balas-membalas dengan kekerasan juga tidak menyebabkan masalah ini akan selesai, bahkan mungkin bisa mengundang hal yang negatif pada pencitraan Islam.

Namun, sekali lagi, tidak semua kalangan bisa menanggapi dengan cara Gus Yahya dan Anwar Ibrahim. Kita bisa belajar bagaimana ketika Salman Rusdhie menulis novelnya, the Satanic Verses (ayat-ayat setan), mendapat ancaman dari hampir seluruh negara Muslim di dunia ini. Bahkan, Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa mati untuk Salman Rusdhie.

Pada masa itu kita berharap bahwa Salman Rusdhie akan kapok untuk melakukan hal yang sama. Namun itu ternyata tidak demikian halnya. Sebagai catatan penghinaan atau permusuhan pada Islam, Nabi Muhammad, al-Qur’an dan hal penting di dalam Islam akan terus muncul dan mungkin sulit dicarikan ujungnya. Hal seperti ini memang terkadang muncul dari dalam mereka sendiri —Islamophobic–namun juga bisa muncul sebagai respon atas tindakan yang hampir sama yang dilakukan oleh umat Islam terhadap keyakinan mereka.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.