Ketika solidaritas dan upaya saling tolong menolong sesama anak bangsa sedang tumbuh dalam era pandemi seperti ini, masih ada saja pihak yang berpikiran sempit. Katanya, solidaritas dan menolong itu hanya berpahala apabila diberikan oleh sesama Muslim.
Sumbangan sebanyak apa pun yang diberikan oleh non-Muslim kepada Muslim tidak ada manfaatnya. Bantuan harus sesama agama. Orang yang berpikir demikian ini ganjil dan aneh di era Covid-19. Dalam situasi di mana satu sama lain, solidaritas sosial harus dipupuk sesama anak bangsa, tolong menolong harus ditingkatkan, namun masih ada upaya menumbuhkan sentimen kelompok keagamaan.
Dalam catatan kali ini saya akan mengulas bagaimana Islam mengajarkan tentang kasih sayang untuk semua, solidaritas dan persaudaraan antar sesama manusia?
Islam adalah agama yang luas dan penuh kasih sayang. Dalam bismillah yang kita baca sehari-hari, Tuhan adalah maha penyayang di dunia dan di akhirat (al-rahmani) dan maha penyayang di akhirat saja (al-rahim). Dalam al-rahman, kasih sayang itu bersifat universal, bukan hanya untuk orang Islam saja, namun juga untuk non-Muslim. Prinsip inilah yang harus kita ikuti dalam era Covid-19. Menolong dan mencurahkan solidaritas sosial kita tanpa melihat agama orang yang ditolong adalah cerminan sifat al-rahman di atas.
Ketika Rasulullah masih hidup, beliau juga membantu orang yang berbeda keyakinan dengannya. Rasul dalam kisah hidupnya pernah menolong orang non-Muslim serta sebaliknya. Rasul pernah menyuapi perempuan Yahudi yang buta. Rasul juga pernah minta tolong untuk diobati oleh dokter Yahudi. Rasul pernah minta tolong bantuan perang kepada Yahudi Bani Nadlir.
Hal di atas adalah riwayat dari Rasul tentang menolong dan minta tolong kepada orang yang berbeda agama dan keyakinan. Sebagai umatnya, kita sudah seharusnya mengikutinya. Kita hilangkan dari hati kita propaganda-propaganda yang mendorong sektarianisme, seperti percaya pada teori konspirasi dlsb.
Bagaimana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia? Islam mengenal konsep ukhwah (persaudaraan). Konsep persaudaraan dibagi ke dalam tiga jenis.
Pertama, persaudaraan sesama Muslim, artinya antar umat Islam dianjurkan untuk membantu satu sama lainnya. Jika ada kesulitan kehidupan, dlsb, maka kita dianjurkan untuk membantunya.
Kedua, persaudaraan antar sesama warga negara (ukhuwah wataniyyah). Sesama warga negara seluruh Indonesia pada dasarnya adalah bersaudara. Persaudaraan yang diikat oleh negara bangsa. Kesulitan yang dihadapi oleh satu warga negara adalah kesulitan kita juga. Karenanya, kita harus membantu sesama warga negara.
Dalam Islam, hal ini disebut dengan istilah ukhuwah wataniyyah (persaudaraan kebangsaan). Kini seluruh warga bangsa sedang mengalami kesulitan, maka mari kita membantu warga bangsa yang kesulitan tersebut. Di sini jelas, Islam menganjurkan kita untuk melakukan tindakan ini.
Ketiga, persaudaraan antar sesama manusia (ukhuwah basyariyyah). Ini persaudaraan yang dimensinya lebih luas. Warga negara Cina membantu warga negara Italia, warga negara Indonesia dibantu oleh warga negara Australia dan sebaliknya. Solidaritas dan bantuan ini tidak diikat oleh batas agama dan negara. Asal sesama manusia, maka di situlah solidaritas kita harus tumbuh. Kita disatukan karena kita manusia. Manusia yang kini sedang berjuang menghadapi Covid-19.
Jadi, terlalu banyak landasan keagamaan untuk menumbuhkan solidaritas bersama, membantu sesama, dan berbuat baik untuk sesama.
Namun tetap saja bagi orang yang berpikir pendek, mereka kekeh untuk menonjolkan sentimen keagamaan dan bahkan ras mereka dalam era yang sulit ini. Bahkan ada yang berkata, “apa pahalanya nyampai kalau yang nyumbang beda agama dengan kita.” Bahkan lebih sadis lagi ada yang bilang, jika “virus” itu hanya menyerang agama tertentu, biarin, itu siksa mereka, dlsb,” padahal kenyataannya, virus ini menginfeksi seluruh pemeluk agama di dunia ini.
Apa obat bagi orang yang masih berpikir kayak gini? Tidak ada, kecuali mereka sendiri yang bisa mengobatinya.
Soal apakah bantuan kita kepada non-Muslim atau bantuan non-Muslim itu diberi pahala atau tidak? Untuk apa kita sebagai Muslim memikirkan apakah mereka dapat pahala, wong mereka juga menolong bukan karena ingin dapat pahala, namun menolong karena terpanggil untuk molong sesama anak manusia. Kedua, soal pahala adalah hak prerogratif Tuhan, bukan kita sebagai manusia.
Sebagai catatan, dalam keadaan yang sulit ini, sebenarnya yang harus kita dengar adalah mereka yang berpengetahuan tentang masalah ini. Dengar dokter, dengar saintis, dengar pihak yang berwenang.
Pepatah Arab mengatakan, bersabarlah dengan penyakitmu jika engkau menjauhi dokternya, dan terimalah kebodohanmu, jika engkau menjauhi guru, ”fa ishbir lida’ika in jafauta thabibaha, wa iqna’ bijahlika in jafauta mu’alliman.” Jika mereka tidak mau mendengar ahlinya, maka solidaritas untuk sesama akan sulit tumbuh.