Saya tersentak atas pemberitaan media yang mensinyalemen adanya barter fatwa. Barter fatwa yang dimaksud adalah menukar fatwa halal dengan jabatan komisaris sebuah BUMN.
Majalah Tempo dalam laporan utamanya, jelas mensinyalemen jika pemerintah telah melakukan pendekatan kepada MUI agar lembaga fatwa ini mengeluarkan fatwa halal untuk AstraZeneca. Sebagai bagian lobby, petinggi organisasi ini meminta posisi komisaris pada pemerintah. Akhirnya pemerintah, menurut Majalah ini, melobby organisasi-organisasi keagamaan lokal untuk mendukung kehalalan vaksin AstraZeneca.
Semua pihak membantah. Kementerian BUMN membantah, demikian pula MUI. Bantah membantah memang sudah hampir bisa dipastikan, namun kabar sudah terlanjur beredar di masyarakat. Masyarakat kita pasti banyak yang kecewa bagaimana dalam keadaan kita yang sulit ada sinyalemen barter-barteran.
Kali ini saya tidak menyoroti apa barter fatwa itu benar-benar terjadi atau tidak. Saya ingin melihat barter fatwa dari segi hukum Islam murni yang terlepas dari sinyalemen Majalah Tempo atau media lainnya di atas.
Pertama-tama, saya melihat soal fatwa halal haram ini memang sangat potensial untuk dipolitisasi dan diuangkan. Maklum, mereka yang berkepentingan akan hal ini adalah korporasi-korporasi besar dan bahkan negara. Namun, tindakan seperti itu seharusnya dihindari. Karenanya, kalau sampai ada indikasi pada barter fatwa ini, maka siapa pun pihak yang melakukannya patut diingatkan.
Fatwa itu memang produk pendapat hukum, namun pendapat hukum soal hukum keagamaan yang bisa jadi menyangkut masalah ubudiyah dan mu’amalah. Sebagai pendapat hukum bisa salah dan bisa benar, bisa diikuti dan bisa tidak. Namun, dalam mengeluarkan pendapat hukum ini ada pelbagai macam hal yang harus dipenuhi, dari syarat yang bersifat prosedural-hukum sampai hal-hal yang bersifat etis dan moral.
Dalam negeri yang melembagakan fatwa ke dalam sistem ketatanegaraannya, seorang mufti memang diperbolehkan mendapatkan manfaat dari Baitul Mal (tabarru’). Artinya, mereka boleh dibayar oleh negara dengan uang negara tersebut. Jika sudah dibayar oleh negara, maka seorang mufti tidak diperbolehkan minta upah kepada mereka yang meminta fatwa karena fatwa yang sudah diberikannya.
Seorang mufti juga dibolehkan menerima hadiah. Baik gaji negara maupun hadiah tidak masuk dalam kategori permintaan atau barter fatwa dengan jabatan. Dalam sebuah kitab Sifat al-fatwa wa al-mufti wa al-mustafti karangan Ahmad Hamdan al-Harrani, ulama terkemuka dari madzhab Hanbali, menyatakan: “hadiah itu boleh diterima oleh mufti, namun hadiah itu diharamkan jika hadiah itu untuk menyuap mufti agar menfatwakan yang dikehendakinya.” (Lihat halaman 35).
Indonesia adalah negara dimana lembaga fatwa tidak menjadi bagian resmi dari negara. Fatwa-fatwa kita tersebar di mana-mana, di lembaga-lembaga keagamaan. Memang ada sebagian fatwa yang kemudian dijadikan sebagai unsur hukum atau kebijakan negara, namun itu hanya sebagian kecil fatwa di negeri kita.
Jika lembaga fatwa bukan bagian dari negara, maka lembaga fatwa tersebut tidak boleh menagih apa pun dari negara, termasuk meminta imbalan dari negara. Dari konsep awal, para ulama mujtahid dan juga mufti di dalam sejarah Islam memang rata-rata dari kelas sosial yang independen. Mereka yang tidak menjadi hakim atau qadi pada dasarnya adalah para sarjana dan intelektual yang independen. Hasil olah pikir mereka bukan dilakukan karena mereka dibayar tapi karena panggilan kesarjanaan mereka. Mereka menulis puluhan jilid kitab karena mereka ingin memberikan pengetahuan tentang agama dan hal-hal lain yang terkait dengan agama seperti politik, ekonomi, kebudayaan, kepada khalayak ramai yang tidak memiliki kemampuan untuk menggalinya dari sumber-sumber utama Islam.
Demikian halnya dengan para mufti, pemberi fatwa. Mereka memberikan fatwa kepada mereka yang memintanya bukan karena dorongan material atau imbalan yang akan diberikan kepadanya. Karenanya, fatwa seringkali tidak dengan mudah diberikan. Banyak ulama yang sudah menduduki maqam mufti pada masa lalu yang tidak serta dan dengan mudah menjawab setiap pertanyaan yang dimintakan kepadanya. Hal ini dilakukan karena fatwa itu harus didasarkan pada pengetahuan yang dalam atas masalah yang ditanyakan bukan didasarkan pada imbalan yang akan mereka dapatkan.
Dalam sebuah ungkapan dinyatakan, barang siapa yang memberikan fatwa tanpa ilmu, maka dosanya ditanggung oleh si pemberi fatwa (man afta bi futya bi ghayri ilmin kana itsmu dzalika ala al-ladhi aftawhu,” dan masih banyak lagi. Sekali lagi patokan pemberian fatwa adalah keilmuan agar fatwa yang diberikan itu benar. Para mufti pada zaman dulu juga mengutamakan “evidence,” dalam mengeluarkan fatwa mereka karena bukti adalah bagian dari kredibilitas fatwa mereka.
Ilmu pengetahuan dan bukti itu bagi mereka tidak bisa digantikan oleh apa-apa. Dalam hal memberikan fatwa memang mereka berdedikasi dan setia pada peran mereka sebagai sarjana dan ahli yang independen. Jika toh ada imbalan, maka negaralah yang memberikan kepada mereka dari harta publik kas negara.
Karenanya, ketika mendengar adanya barter fatwa halal dengan jabatan komisaris sebagaimana sinyalemen media, maka hal ini mengagetkan, namun bisa saja terjadi karena kompleksitas zaman sekarang. Namun jika hal itu terjadi, melakukan barter fatwa halal dengan posisi komisaris jelas bukan tindakan yang etis. Mengapa demikian?
Karena tindakan barter itu ada kemungkinan unsur raswah di dalamnya. Bagi mereka yang memiliki uang dan hal-hal lain yang bisa dibarterkan merasa leluasa untuk mendapatkan fatwa sesuai dengan mereka inginkan. Apabila hal ini dilakukan, pencideraan terhadap fatwa begitu terlihat. Pada sisi mereka yang memiliki potensi, fatwa yang harusnya diberikan berdasarkan pengetahuan yang benar, tapi bisa dibeli. Dari sisi pemberi fatwanya, kalau dia melakukan barter atas fatwanya, maka dia sama dengan jual beli fatwa. Dan jual beli fatwa itu bisa pula dikategorikan jual beli agama.
Sebagai catatan, meskipun perkembangan hubungan negara, pemberi fatwa, pengusaha dan lain sebagainya semakin rumit dan kompleks, namun sebuah fatwa harus dikeluarkan berdasarkan ilmu, bukti dan independensi. Tidak boleh dan tidak ada alasan untuk menukar fatwa dengan imbalan harta maupun jabatan. Sebagai pendapat hukum, fatwa harus dijaga oleh kita semua, oleh pihak pemerintah, ulama dan masyarakat agar tidak masuk dalam proses transaksi harta benda.