Yahudi, selain Kristen, adalah agama yang paling tidak disukai oleh kita, umat Islam di Indonesia atau di mana saja. Entah karena motif politik atau agama, umat Islam di Indonesia memiliki anggapan bahwa Yahudi adalah musuh terbesar umat Islam. Mungkin tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh umat Islam di dunia dunia ini.
Saya tahu, kebencian atas orang-orang Yahudi ini sebenarnya bukan khas kebencian umat Islam saja, namun juga terjadi pada umat-umat yang lain. Dahulu rezim Hitler bahkan melakukan Genosida terhadap kaum Yahudi di Jerman. Kebencian terhadap Yahudi sampai kini tetap berlangsung di pelbagai tempat. Padahal jumlah mereka kecil sekali namun bagi beberapa kalangan mereka dianggap sangat menjengkelkan. Banyak dari kita menganggap bahwa Yahudi yang menjengkelkan itu tidak akan berubah sampai akhir zaman.
Catatan ini akan mengulas benarkah semua orang Yahudi itu tidak berguna atau memusuhi Islam? Mari kita melihat sumbangan mereka terhadap perkembangan peradaban di dalam Islam.
Dalam sejarah, antara Arab dan Yahudi adalah kedekatan tersendiri. Menurut kitab yang ditulis Muhammad Lutfi Jum’ah, Tarikh Falsafat Islam fi al-Masyrik wa al-Maghrib, karya banyak kedekatan antara Yahudi dan Arab dalam banyak hal misalnya antara bahasa Arab dan Ibrani. Sistem mistisisme (tasawuf) serta filsafat dari keduanya, Yahudi dan Islam, juga banyak memiliki kemiripan. Sistem teologinya juga demikian karena keduanya merupakan millah Ibrahim. Hal yang paling terkenal adalah kedua umat beragama ini tidak dibolehkan makan daging babi.
Dalam sejarah, peran terbesar orang-orang Yahudi di dalam sejarah peradaban Islam, terutama masa Abbasiyah adalah al-naql wa al-tarjamah, memindahkan dan menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Yunani dan Siryani ke dalam bahasa Arab. Orang-orang Yahudi yang berjasa memindahkan cara berpikir logis –filsafati—ke dunia Islam lewat peran mereka dalam al-naql wa al-tarjamah. Hal ini dikatakan oleh Hasan Hasan Kamil Ibrahim dalam kitabnya, al-Ar’ai al-Kalamiyyah li Musa bin Maemun wa al-Atsar al-Islami, (2003).
Ingat, bahwa filsafat adalah kunci kemajuan Islam dan ahlinya pada saat itu lebih banyak dari kalangan Yahudi. Bahkan Musa bin Maemun di dalam kitab-kitab filsafat dianggap sebagai bagian dari filosoft Muslim karena dia hidup di era peradaban dan kemajuan Islam.
Musa bin Maemun tetap orang Yahudi secara keyakinan namun corak filsafatnya disebut dengan corak filsafat Islami. Musa bin Maemun belajar di era Andalusia Islam. Dia menguasai bahasa dengan sempurna bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di Andalusia dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Musa bin Maemun ini ahli dalam bidang ilmu matematika, teknik, perbintangan, ilmu kedokteran dlsb. Musa bin Maemun dan Ibn Rusyd hidup pada abad yang sama, abad 12 dan tumbuh di kota yang sama. Bahkan peran Ibn Maemun dan Ibnu Rusyd di lingkungan mereka masing-masing itu sama; sama-sama mendamaikan antara agama mereka dan filsafat. Ibn Maemun adalah seorang dokter yang sangat penting di dalam lingkungan dinasti Abbasiyah, terutama pengabdiannya kepada anak dari Salahuddin al-Ayyubi.
Ibn Maemun adalah contoh bagaimana seorang Yahudi pernah memiliki tempat tersendiri di era puncak peradaban Islam. Sesungguhnya, orang-orang Yahudi seperti Ibn Maemun tidak hilang, pasti ada saja dari mereka dan jumlahnya tidak sedikit di setiap zaman, terutama pada zaman sekarang, namun untuk sementara peran mereka terutama dalam kaitannya dengan dunia Islam terkubur oleh konflik dan sengketa dan perebutan tanah.
Konflik antara Israel dan Palestina, yang didukung oleh negara-negara Islam di Teluk mengubur memori-memori yang sangat untuk patut menjadi model bagi kita dalam menjalani kehidupan antar umat beragama. Sejak terjadi aneksasi orang-orang Yahudi ke wilayah Palestina, yang oleh orang Yahudi di anggap sebagai tanah impian mereka, umat Islam kebanyakan mengutuk Yahudi. Padahal, di dalam negara Isreal juga ada sebagaian orang Arab Islam yang menjadi penduduk resmi Isreal. Hitungannya jika tidak salah hampir 20 persen dari total penduduk Israel.
Artinya, sebagai sebuah negara, Israel tetap harus mempertimbangkan mereka sebagai warga negara. Terlepas dari persoalan aneksasi atau perebutan kembali tanah mereka yang dijanjikan Tuhannya, memang soal konflik wilayah dan politik Palestina Israel ini telah menguras energi dunia. Ia telah menimbulkan banyak korban, tidak hanya fisik namun juga korban akal sehat. Teori konspirasi menjadi berkembang dengan pesat dan itu semakin memperburuk hubungan Islam dan Yahudi. Bahkan, jasa-jasa para sarjana Yahudi atas kemajuan peradaban Islam zaman dulu terkubur oleh konflik saat ini.
Namun upaya-upaya menuju hubungan yang baik antara negara-negara Muslim dan Israel mulai terjadi. Saudi Arabia, sebagai negara yang paling banyak dihuni oleh kelompok yang benci Yahudi sudah memulai akrab dengan Israel.
Mesir dan Turki, dua negara Muslim di sekitar Timur Tengah, bahkan sudah lama memiliki hubungan diplomatik terbuka dengan Israel. Qatar, negara kaya minyak ini, juga memulai hubungan normalisasi dengan Israel. Seharusnya, hubungan ke arah perbaikan state to state itu diikuti juga dengan people to people.
Ya, di antara 10 negara yang memiliki kebencian tinggi atas Yahudi –bisa dikatakan antisemetismne–adalah negara-negara Muslim seperti Palestina sendiri, Iraq (92 %), Yaman (88 %), Aljazair (87 %), Libya (87 %), Tunisia (86 %), Bahrain (81 %), Jordan (87 %), dan Maroko, Qatar dan UEA (80 %).
Sebagai catatan, berdasarkan catatan sejarah, di mana inisiatif-inisiatif baik antara Yahudi dan Islam sudah terbentuk dalam sejarah manusia, maka tugas kita generasi zaman sekarang adalah mengemukakan kebaikan-kebaikan ini di permukaan hidup kita saat ini. Seharusnya konflik politik antara kedua umat beragama ini tidak berlanjut pada konflik agama. Sebaiknya kita mulai membuka lembaran baru antara Yahudi dan Islam berdasarkan modal sejarah baik yang sudah ada. Mari kita lakukan.