Pada 30 November 1999 sekitar 40.000 orang turun di jalanan Seattle, Amerika Serikat. Inilah salah satu demonstrasi terbesar di negara itu. Dimotori terutama oleh aktivis sosial dan serikat buruh, mereka memprotes Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO).
Demonstrasi yang semula damai itu berubah menjadi kerusuhan besar. Diwarnai bentrok fisik antara polisi dan demonstran serta pembakaran dan penjarahan tokotoko.
Peristiwa ini diabadikan dalam The Battle in Seattle (2007). Film ini antara lain dibintangi Woody Harrelson, bintang film yang juga aktivis lingkungan dan pengecam keras perdagangan bebas ala WTO.
Demonstrasi besar di Seattle itu menandai gerakan luas “anti-globalisasi”. Demonstrasi serupa selalu mewarnai setiap sidang WTO di mana saja sampai sekarang. Juga dalam sidang-sidang World Economic Forum, pertemuan ekonomi dunia yang dimotori perusahaan-perusahaan multinasional untuk memuluskan perdagangan bebas.
Istilah “anti-globalisasi” sebenarnya kurang tepat. Para demonstran tidak menolak pentingnya kerja sama dan hubungan baik antarnegara secara global. Mereka hanya menolak format dan skema globalisasi yang disusutkan pengertiannya menjadi sekadar “perdagangan bebas antarnegara”.
Dalam tiga dasawarsa terakhir, Perdagangan bebas, atau free trade, memang menjadi tema besar WTO, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan World Economic Forum. Empat lembaga itu gigih mempromosikan deregulasi dan liberalisasi ekonomi. Mereka mendesak agar tiap negara menghapus aturan nasional yang menghambat baik aliran investasi maupun arus barang dan jasa antarnegara.
Mengapa aktivis, bahkan di negeri demokratis Barat, mengecam perdagangan bebas? Bukankah perdagangan bebas menguntungkan negeri dan warga negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat dan Eropa?
Pertanyaan itu makin relevan belakangan ini, ketika bermunculan banyak pakta perdagangan bebas di berbagai belahan dunia. Seakan WTO saja tak cukup, belakangan muncul Pakta Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Uni Eropa tak sekadar menyatukan perdagangan. Di ASEAN kita mengenal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai diberlakukan tahun depan.
Belum cukup itu semua, kini Amerika mempromosi kan Trans-Atlantic Partnership (Amerika-Eropa) dan Trans-Pacific Partnership (Amerika-Asia). Untuk yang terakhir, Presiden Joko Widodo menyatakan keinginannya bergabung, meski Indonesia di bawah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah menolak.
Presiden Joko Widodo sebaiknya menonton The Battle in Seattle dan menyerap apa sebenarnya yang menakutkan dari pakta-pakta perdagangan bebas.
Alih-alih menciptakan kemakmuran bersama, globalisasi perdagangan bebas justru memperparah kemiskinan, memperluas jurang ketimpangan ekonomi antara si kaya dan kaum miskin, mengancam umat manusia dengan kerusakan lingkungan alam yang kian parah.
Ekonom Joseph Stiglitz, pemenang Nobel dan mantan pejabat Bank Dunia, termasuk dalam barisan pengkritik perdagangan bebas model sekarang. Format perdagangan bebas sekarang sebenarnya tidak bebas-bebas amat, bahkan cenderung tidak adil. Stiglitz menulis buku terkenal The Globalization and Its Dis- contents, antara lain mengkritik kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dia nilai “neoliberal” dan hanya menghasilkan fatamorgana.
Perdagangan bebas mensyaratkan deregulasi: tiap negara harus melucuti aturanaturan yang membatasi bisnis dan investasi. Aturan yang terlalu rumit, birokratis, dan memicu korupsi memang layak dihapus. Tapi, dalam perlombaan liberalisasi ekonomi yang bertubi-tubi, banyak negara justru mengorbankan aturan yang semestinya tetap ditegakkan dalam melindungi warga negara.
Deregulasi melucuti peran negara dalam melindungi rakyat: merendahkan standar perlindungan buruh, perlindungan hak asasi manusia, perlindungan sosial, dan perlindungan lingkungan. Sebaliknya, deregulasi memperkuat peran perusahaanperusahaan swasta multinasional yang lebih mengedepankan keuntungan jangka pendek bagi dirinya.
Dalam skema perdagangan bebas, rakyat dipandang hanya konsumen, bukan warga negara. Bahkan jika mereka tetap bisa memilih dalam pemilihan umum demokratis, presiden atau perdana menteri tak bisa berbuat banyak di hadapan rezim korporasi dunia. Demokrasi sudah kehilangan esensinya.
Orang sering keliru memandang kapitalisme secara umum, atau perdagangan bebas secara khusus, berjasa mempromosikan demokrasi, meningkatkan partisipasi rakyat, mempersempit pelanggaran hak asasi, dan menghapus korupsi. The Batlle of Seattle mengingatkan bahwa bisa jadi itu semua hanya mitos dan ilusi.