Kamis, Maret 28, 2024

Terorisme dan Tindakan Main Hakim Sendiri

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

Mari kita mulai tulisan ini dengan ucapan turut berduka cita atas kematian anggota polisi di Mako Brimob. Mereka bagaimanapun juga adalah pegawai negara yang gugur saat bertugas. Kita tahu, tragedi yang terjadi kemarin merupakan hal yang mengerikan. Polisi-polisi ini dikabarkan disiksa sebelum akhirnya mati karena disembelih.

Aksi brutal dan keji ini dilakukan oleh narapidana teroris yang ada di Mako Brimob. Beberapa media menyebut semua ini bermula dari protes salah satu narapidana teroris yang makanannya dibawa petugas. Lucunya, para teroris ini menyerah setelah diberi makan.

Kita tidak tahu persis apa yang terjadi di Mako Brimob. Semua informasi tentang peristiwa itu datang dari satu pihak, yakni polisi. Yang kita tahu: Tragedi Mako Brimob menunjukkan betapa panjang dan lama isu terorisme menghantui kita. Meski “war on terror” kita impor dari Amerika Serikat, perang melawan teror di Indonesia lebih panjang dari di Amerika sendiri.

Mengapa teroris di Indonesia tak juga berhenti beroperasi? Lebih dari itu siklus kekerasan tak berhenti meski telah banyak pentolan teroris yang dieksekusi mati atau terbunuh saat penangkapan. Mungkin ini penyebabnya, kematian para teroris dan terduga teroris itu sendiri.

Beberapa tahun lalu, dengan nada bangga Kapolri saat itu Bambang Hendarso Danuri menunjukkan kehebatan polisi dalam memberantas terorisme. Sebanyak 44 teroris, kata dia, telah ditembak mati dalam 10 tahun terakhir.

Pernyataan itu mengundang pertanyaan mendasar yang jarang diajukan oleh media-massa. Sebuah skandal penegakan hukum yang kita pandang sambil lalu saja. Atau kita justru bangga mendengarnya. Pernyataan ini saya rasa perlu dikoreksi: yang ditembak mati itu bukan teroris, tapi tersangka teroris, atau orang-orang yang diklaim polisi sebagai teroris.

Meneliti beberapa detail penggerebekan oleh Densus 88, kita bisa melihat ada kesengajaan membunuh tersangka teroris, bukannya menangkap mereka hidup-hidup. Coba lihat rincian penggerebegan di Malang, Temanggung, Bandung, dan tempat-tempat lainnya.

Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto punya pendapat yang lebih bernas tentang hal ini. Jika pelaku teror ditangkap hidup-hidup kita bisa mengungkap informasi dari pelaku yang bisa digunakan untuk mengejar pelaku lain.

“Penting untuk mengungkapkan yang lebih besar, dan juga memudahkan untuk mengungkap siapa biangnya dan siapa yang membiayai,” katanya.

Pernyataan itu benar kalau mereka teroris, tapi lebih benar lagi dalam konteks bahwa mereka yang disangka belum tentu bersalah. Dalam sistem hukum yang benar, pengadilanlah yang memutuskan.

Polisi bahkan tidak nampak mencoba teknik yang paling sederhana: Bukankah banyak rumah yang diduga dihuni tersangka teroris bisa diisolasi untuk memangkas logistik mereka sehingga mereka kelaparan dan menyerah atau keluar dari persembunyian?

Pembantaian 44 tersangka teroris itu bisa disebut extra-judicial killing, atau membunuh tanpa terlebih dahulu mengadili tersangka. Para tersangka itu belum tentu bersalah. Bagaimana kita bisa tahu Azahari bersalah, juga Noordin Top atau Dulmatin, kecuali hanya mendengar klaim dari polisi?

Extra-judicial killing atau tindakan main hakim sendiri ini mirip dengan pembantaian preman atau orang yang dianggap preman pada era Soeharto. Juga, dalam skala massif, pembantaian terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh komunis pada awal Orde Baru.

Tindakan main hakim sendiri oleh aparat ditiru oleh masyarakat awam. Dan kekacauan adalah hasilnya.

Tak hanya kepada teroris, kita juga sering mendengar kematian tersangka oleh polisi dalam kasus-kasus kriminal kecil lain: seperti maling motor, atau helm, ketidaksengajaan menabrak polisi, dan pencuri kecil-kecilan. (Sayangnya, jarang ada, atau tidak pernah ada sama sekali, tersangka koruptor kakap yang dibunuh dalam penggerebekan atau mati dalam tahanan).

Extra-judicial killing, atau tindakan melawan hukum yang dilegalkan dan bahkan dilakukan oleh aparat negara, memiliki dampak mengerikan: rendahnya kredibilitas hukum, dan lunturnya kepercayaan masyarakat pada hukum. Dan kita bisa lihat eksesnya dalam kehidupan sehari-hari ketika tindakan main hakim sendiri nampak sangat menonjol.

Massa memukuli dan menganiaya tersangka pencuri motor. Bahkan membakar hidup-hidup tersangka pencopet di terminal.

Atau seperti yang terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, belum lama ini. Polisi diduga melakukan tindak main hakim sendiri dengan membunuh seorang tukang ojek dalam tahanan. Ribuan orang membalas main hakim sendiri dengan menyerbu markas polisi. Tujuh orang tewas di tangan polisi dalam peristiwa itu.

Kasus Buol bukan yang pertama dan bukan yang terakhir.

Extra-judicial killing punya dampak serius. Tapi, jarang ada media/wartawan yang mempertanyakan. Kita masih ingat, para reporter justru bertepuk tangan ketika Kapolri mengumumkan polisi telah menembak mati tersangka teroris.

Publik atau bahkan pengamat jarang mempertanyakan karena sudah bertahun-tahun kita dicuci otak oleh polisi lewat media tentang “war on terror”, ketika mempertanyakan klaim dan metode polisi dianggap bersimpati kepada teroris.

Ingat pernyataan George Bush di awal “war on terror”? Either you are with us or against us?

Kita semua telah disihir untuk menerima pembantaian sebagai kebenaran hukum, dengan ekses yang makin mengerikan di masa depan.

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.