Baunya harum. Rasanya pulen. Beras basmati, yang populer dalam menu Timur Tengah dan Persia, adalah beras khas Asia Selatan. Berabad-abad lamanya benih padi ini dibudidayakan petani India dan Pakistan.
Pada 1997 perusahaan Amerika, RiceTec, mengajukan hak paten atas tanaman ini. Dan berhasil. RiceTec tak hanya mendapat hak eksklusif menanam dan memasarkan basmati di Amerika, tapi juga mengekspornya ke seluruh dunia.
Kasus beras basmati adalah contoh bagaimana perusahaan multinasional merampok sumber hayati dari sebuah bangsa dan sebuah budaya untuk keuntungan egoistiknya. Vandana Shiva, aktivis lingkungan India, lantang mengecamnya sebagai bentuk kejahatan “biopiracy” , perampokan biologis.
Tiga tahun sebelumnya, perusahaan WR Grace, juga dari Amerika, mengajukan paten benih dan produk turunan tanaman neem (azadirachta indica). Tanaman perdu khas India ini menghasilkan cairan yang dipakai dalam pertanian organik sebagai pestisida alami. Minyak neem juga bahan baku sabun, kosmetik, obat, serta alat kontrasepsi.
Pengajuan paten dan penjarahan plasma nutfah (sari pati benih) oleh perusahaan multinasional makin marak bersama liberalisasi perdagangan. Standar pengajuan hak cipta dan paten untuk tanaman pangan serta obat-obatan dibuat demikian rendah, demi memuluskan “investasi” antarnegara.
Raksasa seperti Monsanto dan Unilever sangat diuntungkan. Mereka punya akses tak terbatas pada bank plasma nutfah. Juga punya laboratorium untuk mengutak-atik DNA dan menemukan “varietas tanaman baru”, yang kemudian dipatenkan.
Pada 2003 Eropa memberi Monsanto hak paten benih tanaman lain dari India, nap hal, gandum untuk roti kualitas tinggi. Monsanto diberi hak monopoli budi daya, pembenihan, dan pengolahan di Eropa, Jepang, Australia, Kanada, dan Amerika. Pemberian hak cipta dan paten atas tanaman pangan dan obat dikecam para aktivis lingkungan, bahkan ekonom kaliber dunia seperti Joseph Stigilitz.
Dalam konteks ini, kita layak khawatir atas rencana Presiden Joko Widodo membawa Indonesia bergabung dalam pakta kerja sama perdagangan bebas Lintas-Pasifik (Trans-Pacific Partnership).
Pakta Lintas-Pasifik memperluas hak kekayaan intelektual perusahaan multinasional obat dan pangan, yang memungkinkan memonopoli secara de facto industri pertanian dan kesehatan. Tidakkah itu justru melanggar prinsip perdagangan bebas?
Kepulauan Indonesia adalah salah satu gudang sumber hayati terkaya di dunia. Tapi, pakta kerja sama itu mengancam kita membeli pangan dan obat jauh lebih mahal di masa depan.
Indonesia tidak seberuntung India yang memiliki aktivis seperti Vandana Shiva. Perempuan ini gigih mempelopori gugatan hukum internasional untuk menganulir hak-hak paten itu. Shiva berhasil. Semua paten tersebut digugurkan. Dan, India tidak mau memilikinya sendiri. “Kami ingin apa yang cuma-cuma di alam, tetap cuma-cuma,” kata Shiva.
Paten kekayaan hayati tak hanya merugikan petani, juga melecehkan budaya tradisional, serta menginjak-injak konsep sakral menghormati alam.
Pemerintah kita kurang peduli. Berkat perdagangan bebas, raksasa multinasional seperti Monsanto, Cargill, Dupont, Bayer, dan Syngenta menguasai 90 persen pasar benih hortikultura Indonesia.
Pemerintah dituntut melonggarkan aturan investasi asing dalam bidang pertanian, seraya menindas petani sendiri. Petani hanya diperbolehkan menanam benih bermerek (perusahaan), tapi tak boleh menyimpan atau menyilangkan benih itu. Enam tahun silam, tiga petani Kediri, Jawa Timur, ditahan karena tuduhan melanggar aturan itu.
Tak hanya menindas petani. Perusahaan seperti Monsanto juga menguasai pasar benih hasil rekayasa genetika yang membahayakan kesehatan konsumen.
Prancis dan Rusia mengikuti negara-negara Eropa lain yang telah melarang produk transgenik Monsanto. Di Indonesia, Monsanto justru diberi karpet merah. Diizinkan menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI), membungkus kredit pertanian dengan penjualan benih transgenik dan pupuk pestisida yang merusak tanah.
Dalam draf perjanjian Lintas-Pasifik, investor asing kini punya hak menggugat pemerintah jika menerbitkan regulasi yang dipandang merugikan. Jadi, bukannya menutup Monsanto, pemerintah justru terancam membayar mahal agar perusahaan itu tidak membunuh warga dan merusak alam!
Pakta perdagangan bebas Lintas-Pasifik juga mensyaratkan anggota melucuti regulasi lebih banyak hal lagi. Dengan itu, pemerintah akan makin telanjang dan sulit menjalankan fungsi dasar: melindungi keamanan dan kesehatan warga negara, serta memelihara sumber hayati dan kelestarian alamnya.
Selamat tinggal Nawacita!